Oleh Zulfata, M,Ag
Penulis buku “Bubarkan HMI?”
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kakanwil Kemenag) Aceh dukung Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Demikian judul berita yang menarik untuk dibahas sembari membuka cakrawala publik terhadap posisi Kakanwil Kemenag Aceh terhadap kearifan keislaman di Aceh (kanalaceh.com, 25/02/2022). Jika dipahami dari alas pikir Kakanwil Kemenag Aceh tampak terpaku pada persoalan tamsilan antara suara azan dengan gonggongan Anjing, kemudian Kakanwil juga beralasan bahwa masjid dengan musala dibangun saat ini secara berdekatan yang jika suara toa berbunyi saat bersamaan, maka tidak paham apa yang disampaikan, kemudian menuding ada pihak yang dirugikan.
Fokus bicara kondisi penggunaan toa di Aceh, baik di kalangan pesantren, masjid, musala hingga tukang jual obat serta toanya para demonstran. Benarkah selama ini di Aceh ada pihak yang dirugikan karena bunyi toa? Mungkin Kakanwil Kemenag Aceh lupa bahwa kondisi masyarakat beragama di Peunayong-Banda Aceh selama ini hidup tenteram dan damai sebelum SE beredar, begitu pula di bagian wilayah tengah dan pantai barat Aceh. Lantas siapakah pihak yang dirugikan secara konkret tersebut? Kakanwil Kemenag Aceh, jangan mengada-ada soal ini tanpa data. Kebijakan tidak boleh didukung dengan asumsi dan perasaan yang subjektif.
Kemudian, seberapa pentingkah Kakanwil Kemenag Aceh mendukung SE ditengah semangat masyarakat kontroversial dan bising akibat SE Menag tersebut? Kakanwil Kemenag Aceh, jangan bersikap sewenang-wenang demi jabatan sesaat, sebab ini tercatat dalam sejarah perkembangan keislaman di Aceh. Pada persoalan ini pula mungkin Kakanwil Kemenag Aceh lupa bahwa Aceh memiliki kekhususan dalam menjalan syariat Islam. Intinya, jangan pula Kakanwil Kemenag Aceh justru menambah kegaduhan akibat mendukung SE Menag. Apakah tidak lebih baik menempuh jalan win-win solution tanpa terkesan mengeluarkan pernyataan mendukung SE dengan tanpa data siapa yang dirugikan? Atas dasar pertanyaan inilah sejatinya sebagai masyarakat Aceh patut kita berikan “toa” untuk Kakanwil Kemenag Aceh agar tidak memperpanjang kegaduhan di Aceh.
Secara etimologi benar bahwa toa merupakan megafon, ampliflier yang digunakan untuk pengeras suara. Tetapi secara pemikiran dalam merespons dinamika masyarakat Aceh pascaterbit SE Menag, ditambah lagi dengan pernyataan yang unik bagi seorang menteri terkait tamsilan kontroversialnya. Artinya keberadaan toa yang berada di tempat ibadah masyarakat muslim di Aceh jauh sebelum Menteri Yaqut terpilih sudah terbiasa dan berkontribusi membangun syiar Islam di Aceh. Lihat dan pahami saja betapa gagahnya suara kumandang ayat suci Al-Quran dan lantunan azan yang berpusat di Mesjid Raya Baiturahman Banda Aceh yang kemudian bergema di seluruh Kawasan sekitar Banda Aceh, ditambah lagi sambut-menyambut suara tersebut sesama mesjid di Kawasan Banda Aceh. Selama itu pula adakah non muslim di Banda Aceh atau di Aceh merasa rugi? Ingat, Aceh adalah daerah toleran, dan Kakanwil Kemenang Aceh paham soal itu sebelum SE diterbitkan, lantas mengapa Kakanwil Kemenag Aceh setelah SE beredar seolah-olah ada pihak yang dirugikan atau tidak merasa nyaman? Kakanwil Kemenag Aceh semoga tidak sedang bersandiwara demi jabatan terkait ini.
Disadari atau tidak, masyarakat Aceh hari ini telah paham terkait pola bersyiar atau menjalankan rutinitas yang mereka anggap sebagai efektifitas dalam beribadah, pada posisi ini sejatinya Kakanwil Kemenag Aceh harus berjiwa besar untuk merasakan bahwa ada keterpaduan kebudayaan syiar Islam di Aceh melalui toa. Menyangkut ada pengaturan suara pada toa dengan ukuran tertentu adalah bukti adanya over urus yang diatur dalam SE tersebut, mungkin penulis paham bahwa Kakanwil Kemenag Aceh dari lubuk hati yang paling dalam tidak juga ingin mendukung SE Menag, namun apalah dayah, demi jabatan apapun direlakan untuk diperbuat meskipun masyarakat tersenyum melihat adanya keanehan perilaku pejabat yang sedemikian.
Saat masyarakat Aceh atau yang tinggal di Aceh (muslim maupun non muslim) sudah paham terkait kondisi Aceh, maka wajar saja masyarakat Aceh cenderung menolak SE karena SE tersebut bukannya justru membawa ketentraman, tetapi justru membuka ruang perpecahan dengan tidak menyebut bahwa melalui SE tersebut dapat dijadikan sebagai instrumen adu domba antara sesama muslim atau antara masyarakat dengan Kakanwil Kemenag Aceh. Maka dari itu pula jangan sempat tradisi yang berpadu dengan penggunaan toa di Aceh dimanfaatkan oleh institusi negara yang kemudian ingin merubah kearifan syiar Islam di Aceh.
Parahnya lagi, menyamaratakan SE tersebut di seluruh wilayah desa (gampong) di Aceh menjadikan eksistensi SE tersebut tampak semakin aneh. Karena tidak semua gampong merasa dirugikan karena suara toa (baik suara kecil maupun besar), justru terdapat beberapa gampong di Aceh jika suara azan tidak sampai ke rumahnya akan mengajukan ke pihak masjid agar suara toanya harus sampai ke rumahnya. Ditambah lagi tidak lama lagi masyarakat Aceh akan memasuki bulan Ramadhan, tentu sangat bermanfaat untuk membangunkan masyarakat dari tidurnya untuk sahur. Demikian pula pada malam Ramadhan masyarakat, pemuda bahkan remaja ikut bertadarus dengan menggunakan suara toa yang besar. Jika pun dipaksa bahwa ada pihak yang tidak bertanggung jawab saat menggunakan toa, itu persentasenya terlalu kecil, sejuta banding nol koma. Jadi apa rasionalitas Kakanwil Kemenag Aceh mendukung SE tersebut?
Hadirnya tulisan ini bukanlah menyudutkan Kakanwil Kemenag Aceh, Iqbal. Jusru hadirnya tulisan ini dapat menjadi instrumen berpikir kolektif masyarakat Aceh untuk sama-sama menjaga serta memperkuat identitas syariat Islam di Aceh, baik secara kultur maupun pendekatan birokrasi pemerintahan di Aceh. Sehingga tidak kemudian instrumen pemerintah di Aceh menjadi alat keonaran bagi masyarakat terkait soal dukung mendukung kebijakan yang tidak diinginkan masyarakat. Untuk itu pula sejatinya semua pihak di Aceh termasuk para pemangku kebijakan agar mampu mengelola diri atau menahan diri ditengah jalan terjal penguatan moderasi beragama yang sedang kita perkuat hari ini. Jangan sempat bukan moderasi beragama yang kita petik sebagai akibat kelebihan aturan oleh pusat terkait kekhususan penerapan syariat Islam di Aceh, Sehingga moderasi beragama nantinya dapat berubah menjadi petaka beragama di Aceh.
Akhirnya, melalui pandangan sederhana ini senantiasa masyarakat Aceh tetap bersatu-padu, bahu membahu dalam memperkuat praktik bersyariat Islam, jika pun ada aturan yang dipandang tidak sesuai dengan kekhususan Aceh, maka tolaklah secara bijaksana. Demikian pula saat ada aturan yang tidak selaras dengan kekhususan Aceh, maka jangan dipaksa untuk diterapkan di Aceh. Sehingga konsentrasi kita dalam membangun Aceh berbasis syariat Islam tidak gagal fokus akibat aturan yang over menyamaratakan peraturan di setiap daerah di Indonesia. Bukankah kita sudah sepakat bahwa di negeri ini kita kuat karena perbedaan? Lantas mengapa kebijakan terkesan terpaksa untuk diseragamkan? Atas realitas inilah penting bagi kita masyarakat Aceh untuk terus mengawal kemana spirit moderasi beragama ini ingin dilabuhkan? Wait and see.