Oleh Zulfata
Penulis buku “Bubarkan HMI?”
Tulisan ini disampaikan pada Symposium yang diselenggarakan
oleh Komisariat (P) Universitas Pertamina pada tanggal 27/02/2022
Sebagai seorang yang masih terus tertarik mengulik-ulik dan masih berusaha untuk berdamai dengan nasib Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Saya (meskipun menulis buku Bubarkan HMI?) berkeyakinan bahwa pada masa tertentu atau pada kajian tertentu HMI dapat dijadikan sebagai subperadaban Indonesia yang mesti terus disokong dengan berbagai kekuatan transforamsi Ilahiah. Semua peneliti, bahkan para pendahulu HMI paham betul bahwa HMI bukan sekedar bicara dinamika internal, tetapi HMI-Bangsa Indonesia melalui gerakan mahasiswa di dalamnya menjadikan negara Indonesia bersinggungan dengan apa yang disebut sebagai penjajahan, politik perpecahan, hingga upaya mematikan kekuatan moral kolektif umat Islam.
Sebelum berfokus pada poin pembahasan yang diberikan kepada saya oleh panitia penyelenggara terkait 3 hal dengan durasi 30 menit ( Perkaderan Ideal untuk Menjawab Tantangan Zaman (10), Perkaderan Vis a Vis SosioCultural (2), Politisasi pengkaderan (3)). Menarik untuk mencermati sekelumit kondisi dunia dan kondisi Indonesia yang sedang terjadi pada saat ini yang kemudian kita rentangkan pembelajarannya dari kemapanan moral yang terjadi pada masa lalu (sejarah perdaban Islam/dunia).
Kini, perang militer Rusia-Ukraina terjadi, di balik tragedy ini terselip makna bahwa ada keanehan komitmen yang terjadi di panggung dunia, sehingga tanggung jawab lembaga terkait internasional dalam mewujudkan kedamaian dunia, kedaulatan masing-masing negara yang secara legal telah mendapat kedaulatan ternyata saat ini masih menjadi problematika dengan tidak menyebutnya jauh panggang dari api untuk menunggu bola penyelamatan dari politik internasional.
Problematika dunia terkait bias-bias perang dagang China-Amerika Serikat (AS), Palestina-Israel, Arab Spring, Afaganistan, Turki hingga beberapa negara lainnya yang juga memiliki dinamika(problematika)nya masing-masing, namun semua itu dapat ditarik satu benang merah yaitu persoalan menjaga, membangun, mengkonsolidasi komitmen dalam bernegara atau antar bernegara, baik dalam hal ekonomi politik, diplomasi budaya dan agama, hingga konsolidasi politik internasional atas nama kemanusiaan.
Lantas apa kaitan pencuplikan diksi problematika di atas dengan arah pergerakan HMI? Kaitan pertama adalah kaitan persoalan komitmen yang mengalami turbulensi dari sektor politik, ekonomi, budaya dan agama. Kaitan yang kedua adalah bagaimana setiap organisasi (negara) mengalami perubahan pola bersikap dan perubahan pola pendekatan dalam menampakkan eksistensi dalam kehidupan dunia hari ini. HMI, Indonesia beserta negeri lain hari ini terus-terusan mengevaluasi jalan arahnya untuk menyesuaikan diri dengan cita-citanya.
Agar lebih mengerucut, HMI hari ini bergejolak atau yang cenderung dianggap mengalami problematika akut dapat dianggap sebagai sebuah kondisi yang wajar sebagai organisasi. Artinya, wajar organisasi mati atau mati suri, wajar organisasi dapat dihidupkan lagi. Demikian halnya dengan negara, wajar negara runtuh, wajar negara gagal, wajar negara sedang berkembang dan wajar pula negara terlahir baru.
Gagasan di atas tidak memberi sinyal sedikitpun untuk merasa pesimis dalam memahami organisasi yang disebut HMI. Meskipun HMI hari ini melekat potensi kekaburan arah, namun upaya penyelamatan itu belum tertutup pintu untuk itu. Terlebih bicara perkaderan HMI, yang namanya kader adalah proses kaderisasi yang mensyaratkan adanya pergantian orang (subjek/kader), pergantian peran, perubahan pola pengkaderan hingga pergantian tipe permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh setiap kader.
Pada kesempatan ini penulis mengajak untuk memahami situasi dan kondisi HMI secara terbuka, objektif, kritis dan kemudian solutif tanpa terjebakn pada perdebatan kusir dengan tujuan membangun egoisme kader. HMI hari ini berhadapan dengan yang namanya kekuasaan oligarki yang bersarang kuat pada pemerintah, partai poloitik, organisasi massa, hingga ke masyarakat jelata. Modal finansial atau praktik kapitalisasi dalam menggerakkan sosial, politik dan ekonomi telah menjadi satu-satunya pembicaraan hangat bagi seluruh lapisan rakyat hari ini.
HMI hari ini disadari atau tidak juga ikut tersungkur dalam problem itu. Jejaring ektrastrukturnya melalui kekuatan silaturahmi pada HMI justru membuat pergerakan HMI tampak semakin lumpuh. Sehingga kesan HMI hari ini tidak berada pada arah perjuangannya. HMI tidak berkomitmen pada cita-citanya, HMI bersandiwara, perkaderan HMI lepas kendali. Khazanah yang ditanamkan dalam ruang-ruang training HMI melapuk dan terleburkan oleh tuntutan hidup berkebinatangan saat keluar dari forum-forum training.
Apa yang penulis singgung di atas boleh jadi dapat disebut sebagai kutukan bagi HMI, bisa jadi sebagai tantangan bagi HMI. Pembaca silakan menambah perspektif lainnya, sebab setiap kader HMI selalu terbuka ruang untuk membangun khazanah konstruksinya terkait bagaimana menyikapi HMI. Tetapi ingat. Jika ingin memperkuat HMI, maka ini adalah tanggung jawab kolektif kader. HMI tidak dapat diperbaiki secara personal. Ia butuh konsolitasi yang utuh berlandaskan nilai-nilai perjuangan HMI yang universal (Nilai Dasar Perjuangan/NDP). Dalam konteks ini menarik untuk menguraikan tiga pembahasan sebagai berikut.
Bagaimana konsep dan praktek perkaderan ideal HMI untuk menjawab tantangan zaman?
Secara fondasinya memang konsep dan praktek pengkaderan HMI terletak sejauhmana proses kader HMI dalam mengartikulasikan, mengejewantahkan pemaknaan Al-Quran dan Hadist. Karena Al-Quran dan Hadist dijadikan pembakar pengkaderan, maka selama itu pula HMI mampu menjawab tantangan zaman. Benar bahwa untuk membumikan fondasi konsep pengkaderan HMI sedemikian tidak semudah membalik telapak tangan, ia membutuhkan kerjasama lintas sektor, pengormanan lintas generasi, keteladanan kader lintas daerah, hingga iktibar para pejabat HMI yang bersarang di struktur organisasi HMI.
Ada banya strategi, ada banya konsep, ada banyak persepktif untuk melihat dan memahami serta menemukan konsep pengkaderan HMI yang mampu menjawab tantangan zaman, di antaranya melalui pola keteladanan pejabat/kader aktif HMI, pola mentoring HMI maupun pola pengkaderan training formal HMI. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menguraikan dari sisi pengkaderan training formal seacra sederhana. Bahwa penggaderan HMI harus bersifat dinamis meskipun ia tak bebas nilai (Al-Quran & Hadist). Pola mengelola training tidak mesti banyak aturan hingga keanekaragaman kearifan lokal training di setiap wilayah HMI tidak mendapat ruang. Artinya selama training formal yang dijalankan tersebut sesuai dengan tujuan dan target training, yang dilakukan.
Setiap instrumen, indikator, hingga aspek pendekatan yang dilakukan dalam training saat memberikan kapasitas bagi kader harus memiliki progres yang jelas. Sehingga setiap kader HMI yang ditraining (pada level training tertentu) dapat merdeka dan menjadi agen pencerahan dalam proses perjuangan HMI (tidak menjadi pengikut berhala di HMI). Demikian juga dialektika dan materi yang disampaikan harus selaras dengan memupuk kemampuan visioner untuk benar-benar berposisi sebagai kader umat dan kader bangsa, bukan kader istana, bukan kader pengusaha, apalagi binaan korps militer yang banyak warnya.
Ruang training HMI harus lepas dari intrik-intrik politik perpecahan, harus lepas dari politik belah bambu, hingga harus lepas dari politik konco dan primordial. Sebab training formal HMI adalah ibu kandung yang melahirkan kader yang kompeten, bertanggung jawab, dan berketeladanan. Demikian juga para instruktur/fasilitaror yang dipersiapkan untuk melanjutkan estafet pengkaderan, meraka harus betul-betul memiliki kemampuan pembelajar berkelanjutan, baik dalam meningkatkan kemampuan intelektual maupun daya lenting moral (integritas).
Bagaimana posisi perkaderan vis a vis sosiocultural?
Hari ini HMI didesak untuk menciptakan pengkaderan secara dinamis, kreatif, visioner dan terukur (bukan pesanan DON). Semua itu dilakukan untuk mengisi kekosongan peran negara yang sesungguhnya. Pola mengkaderan HMI harus mampu menciptakan kader yang siap dan bertahan dalam kebenaran meskipun banyak yang lain telah menggadaikan kebenaran tersebut. Demikian memaknai perkaderan bukan saja sebatas training formal, tetapi mempraktekkan gerakan HMI dengan bergerilya pun harus menjadi pertimbangan untuk menyikapi sosiokultur Indonesia dan dunia hari ini. Masa kini, Indonesia mengindap budaya kemunafikan elite, korupsi, politik padat modal, birokratisasi yang menuhankan tuan, hingga memuluskan kekuasaan dengan embel-embel agama. Untuk itu perkaderan HMI harus bersifat elastis, lentur namun terukur untuk mematikan penyakit yang kemudian merusak Indonesia.
Bagaimana pula terkait politisasi pengkaderan yang terjadi di HMI?
Praktek nyata politisasi pengaderan HMI hari ini dapat dilihat dari proses Kongres, Musda, Konfercab, bahkan ke RAK. Tanpa menguraikan makna fakta-operasionalnya. Pemerintah hari ini telah mampu berkolaborasi dengan HMI dan menjadikan HMI lumpuh tak berdaya secara struktur. Gurita yang mempengaruhi politisasi terhadap HMI tersebut dapat melalui partai politik, kementerian, institusi militer, hingga institusi strategis pemerintah dan swasta. Kondisi politisasi pengkaderan HMI adalah tantangan abadi di HMI, sebab ia terlahir secara politik, dan berjuang melalui jalur politik. Oleh karena itu, HMI harus mampu berselancar bahkan harus mampu menakhodai kekuasaan di negeri ini melalui politik keislaman dan keindonesiaannya yang dapat dipraktekkan dengan wujud politik kebangsaan atau politik kebudayaan. Akhirnya, berbicara HMI secara substansial tidak aka ada habis-habisnya.
Jika terus fokus mencarikan keburukan dan mempraktekkan keburukan di HMI, maka HMI itu akan benar-benar buruk, bahkan mesti dibubarkan. Sebaliknya, jika fokus memberbaiki dan mengkonkretkan praktik misi HMI, maka HMI benar-benar akan membawa Indonesia mencapai kemerdekaannya yang sebenarnya, dann semua itu nantinya akan membuktikan kepada dunia melali gerakan HMI bahwa Islam memang rahmatalil’alamin. Untuk itu, HMI adalah organisasi misterius, HMI keramat. Maka ia akan terus membuka ruang penalaran bagi manusia-manusia yang berfikir dan beriman.