Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tradisi Intelektual HMI

Kamis, 18 November 2021 | November 18, 2021 WIB Last Updated 2021-11-18T03:15:48Z



Oleh Zulfata

Sebagai pilar atau lembaga yang pernah diharapkan sebagai penyangga peradaban di Indonesia, HMI memiliki tradisi yang patut dibanggakan (tetapi tidak untuk masa kini). Masa kepemimpinan Cak Nur, HMI dijalankan atas dasar sikap Islam universal dalam merespons situasi orde baru dan membersihkan residu politik orde lama. HMI dikemas oleh Cak Nur sebagai wadah mahasiswa Islam yang mengedepankan kekuatan moral berbasis ilmu pengetahuan dan ketaqwaan. Maklum pada masa itu jumlah mahasiwa yang melanjutkan pendidikan ke starata dua (S-2), Strata tiga (S-3) masih minim, sehingga di masa kepemimpinan HMI dalam kendali Cak Nur hingga ke masa kepemimpinan selanjutnya (masa Akbar Tanjung). Pada dua masa kepemimpinan HMI tersebut kader HMI didorong untuk memiliki kemampuan intelektual yang progresif melalui berbagai program beasiswa yang diterima oleh kader HMI.

Masa itu kader HMI cenderung mendapat kesempatan belajar ke Amerika dari pada negara lainnya, termasuk atas perjalanan Studi Cak Nur atas undangan Amerika hingga dapat mengunjungi wilayah Timur Tengah. Pada masa ini, kader HMI memang fokus dilirik oleh Amerika, sehingga berbagai beasiswa, undangan dan kekhususan lainnya dapat diperoleh oleh kader HMI. Mengapa Amerika melirik kader HMI? Apakah misi di balik lirikan itu? Silakan pembaca cari sindiri jawabannya sendiri. Singkat gambaran, pada masa kepemimpinan Cak Nur dan beberapa periode setelahnya, setiap agenda perjalanan kader HMI (baik saat menjalankan kuliah maupun sekeder berkunjung), kemudian hasil perjalan tersebut mampu memformulasikan gagasan agar dapat diimplikasikan dalam bentuk kerangka pengabdian dan perjuangan dalam rangka penyangga untuk Indonesia dari berbagai sektor.

Dari sekian banyak situasi dan kondisi Indonesia sejak awal berdirinya HMI hingga beberapa periode setelah kepemimpinan Cak Nur, HMI menjadi penyokong peradaban Indonesia melalui kekuatan intelektual yang progresif berbasis pembelaan hak-hak masyarakat sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pada situasi dan kondisi ini, HMI bergerak sesuai bagaimana situasi dan kondisi Indonesia dan potret keislaman waktu itu. Artinya, dorongan untuk memperkuat daya kapasitas intelektual kader HMI pada masa itu diyakini bahwa melalui kemampuan intelektual, kader HMI dapat menjaga alur regenerasi kepemimpinan dalam memperbaiki Indonesia secara berkelanjutan, bukan sebaliknya menusuk Indonesia dari dalam.

Masa itu, Indonesia masih berada dalam bayang-bayangan kelompok pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI), suasana berislam masih cenderung eklusif, sehingga HMI hadir untuk berusaha merubah suasana dan kondisi Indonesia agar tetap menjaga solidaritas keindonesiaan serta kekuatan keislaman mesti terus hadir dalam setiap kondisi yang dialami Indonesia. Begitu pula dengan HMI terus berupaya menggeser kehidupan berislam Indonesia yang eklusif agar mengarah paa inklusif.

Dari gambaran singkat di atas dapat ditarik benang merah bahwa HMI melalui sosok kader, spirit gerakan hingga kecenderungan gerakan dalam merespons situasi Indonesia dapat dipahami bahwa ada tradisi di HMI yang semestinya tidak boleh hilang dalam disrupsi peradaban apapun, sebab tradisi tersebut tidak lapuk karena kemajuan teknologi, dan tak lekang karena praksis politik manipulatif di negeri ini. Melalui kecenderungan gerakan HMI yang pernah mengambil posisi menajaga kedaulatan bangsa melalui berbagai sektor, secara tidak langsung HMI menciptakan dan mewariskan tradisi inetelektualnya sendiri.

Lantas bagaimanakah yang dimaksud dengan tradisi intelektual HMI? Apakah sama pola gerakannya seperti iklim intelektual kampus di masa kepemimpinan presiden Joko Widodo? Dimana intelektual kampus cenderung mengambil posisi aman di bawah tuntutan beban kerja yang administratif dan enggan berdinamika dengan penguasa negara. Pada posisi intelektual seperti inilah menariknya mempertanyakan apakah tradisi inetelektual HMI hari ini masih ada atau telah tiada.

Disebut tradisi karena sikap dan penerapan untuk memperkuat praksis intelektual di HMI pernah menjadi ciri khas, dipraktikkan secara antar masa kepemimpinan struktur HMI. Demikian pula ciri kader HMI yang dikenal dekat dengan yang namanya sebutan kaum intelektual. Oleh karena itu, semestinya kader HMI selalu menyoroti agar dirinya dapat mencapai karakter lima Kualitas Insan Cita (KIC). Tradisi intelektual HMI memiliki komponen minimal yaitu gairah membaca yang tinggi, berdiskusi substansi yang terarah dan terukur, menulis dan terus berkarya untuk perbaikan umat, bangsa dan negara.

Tradisi intelektual HMI ini merupakan jalan bagi penguatan pergerakan HMI. Tradisi intelektual bukanlah bentuk dari kewajiban konstitusi HMI, tetapi berangkat dari tradisi penguatan HMI sejak himpunan ini diciptakan. Intelektual dijadikan sebagai pengobar semangat, mengkristalkan militansi kader (bukan nekat), mengendapkan nilai dasar perjuangan HMI. Tanpa memperkuat sisi intelektualnya, struktural HMI akan liar, oleng, dapat pula menjadikan struktural HMI sebagai wahana predator kemanusiaan yang mengatasnamakan Islam atau disebut sebagai Himpunan Merusak Islam (HMI). Jika dikelompokkan secara umum, ada lima tradisi intelektual HMI yang patut diperjuangkan ekistensinya. Lima tradisi intelaktual tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama. Tradisi Literasi. Sektor ini adalah sektor dasar bagi siapapun saat ingin ber-HMI. Kesadaran berliterasi dalam konteks ini bukan sekedar membaca, menulis, menganalisis berdiskusi atau bekarya. Tetapi berliterasi kader HMI terus menggirig untuk melakukan aksi untuk menuntaskan gagasan yang diformulasikan dari setiap benuk pelaksanaan literasi tersebut. Artinya setiap apa yang dipahami dari bacaan, atau apa yang dipahami dari yang didiskusikan atau dikaryakan, maka harus diperjuangkan untuk diimplementasi. Pada kesadaran tradisi sektor ini menandakan kader tidak etis apabila tidak gemar membaca, menulis, dan sebagainya terkait literasi publik yang progresif.

Kedua. Tradisi Pemikiran. Sektor ini adalah tradisi dimana kader HMI dipatutkan untuk mengenal berbagai sosok dan corak pemikiran para pemikir di dunia, baik itu dari kalangan muslim maupun non-muslim. Tradisi penulusuran pemikaran ini adalah jalan menuju pemupukan praksis visioner di tubuh kader HMI. Melalui studi person pemikiran hingga studi komparasi pemikiran ini secara tidak langsung menjadikan kader HMI dapat bersikap merdeka, terlepas dari belengku ketergantungan berbagai pasar dan kepentingan politik golongan. Melalui tradisi pemikiran ini pula kader HMI akan sadar posisinya bahwa ia bukan sekedar bagian dari lebel mahasiswa Islam yang berhimpun, melainkan pelanjut visi pemikir yang selaras dengan garis perjuangan HMI.

Ketiga. Tradisi Pengawasan (Kontrol). Sisi ini mengarah pada perwujudan tanggung jawab kader HMI agar tidak lengah untuk tidak mengawal arah perkembangan eksekutif dan legislatif. HMI sebagai mesin civil society di Indonesia yang terus berusaha mencapai negara yang adil makmur. Sisi ini menjadikan HMI memilki cara kontrolnya sendiri, baik secara kontrol berkebudayaan, maupun kontrol konstitusional. Bentuk dari kontrol berkebudayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari pola kader HMI yang terus mencerahkan generasi antar generasi melalui dialog, diskusi berbagai bentuk soft konsolidasi di HMI. Selanjutnya, bentuk dari kontrol konstitusional dapat dilihat peran kontrol HMI melalui rapat dengar pendapat hingga demonstrasi yang semua bentuk ini telah dijamin oleh prinsip berdemokrasi di Indonesia. Artinya, demonstrasi tidak dilarang, dan demonstrasi bukan identik dengan HMI.

Keempat. Tradisi Perlawanan. Bagian ini sejatinya ingin mempertegas bahwa pendidikan adalah perlawanan dalam segala hal yang bersifat rumpun praksis kolonial. Melalui tradisi sektor perlawanan ini bukan menandakan HMI bersifat brutal atau membabi-buta dalam hal melakukan perlawanan. Hanya saja perlawanan ini tetap dilakukan selama praktik penindasan dari penguasa atau pembodohan mengatasnamakan pendidikan masih ditelurkan oleh penguasa. Oleh karena itu, HMI tak etis jika menghentian tradisi perlawanannya.

Kelima. Tradisi Kepemimpinan. Dalam konteks ini menampilkan bahwa kader HMI harus menjadi pemimpin dari semua bentuk dan level kepemimpinan. Semua kader HMI yang tersebar di berbagai wilayah dan pelosok dihadap dengan segala dinamika serta benturan yang didapatnya selama ber-HMI secara tidak langsung hanya untuk menanamkan kekuatan kepemimpinan. Oleh karena itu, kader HMI (bukan kader HMI-HMI-an) didorong untuk mengambil jabatan kepemimpinan yang strategis guna mencapai tujuan HMI yang telah digariskan.

Kelima tradisi tersebut di atas diikat dengan sebutan rumpun tradisi intelektual HMI. Saat HMI hari ini tidak melestarikan tradisi tersebut, maka itu menandakan HMI tidak lagi memiliki kebudayaannya sendiri. Pada kondisi seperti ini pula HMI telah kehilangan jati dirinya akibat menanggalkan tradisinya sebagai pengobar dan pelanjut/pewaris agenda perjuangan HMI tanpa terpengaruh atau terintervensi oleh presiden/pembisik/pendengung presiden di republik Indonesia yang sedang “sakit” ini.

Penulis adalah provokator akal sehat yang sering masuk dalam training HMI