Oleh Zulfata
(Lanjutan dari bagian satu ) Tanpa mengurai panjang terkait konsepsi idelogi dan penguraian faktor pengembangan internal dan eksternalnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam suatu ideologi akan mengiring, mendorong, mengkreasikan sang ideologi atau praktisi ideologi dalam menciptakan startegi. Tanpa mengurai startegi dari sisi etimologi. Strategi merupakan suatu upaya yang berkaitan dengan menjadikan gagasan yang dapat dituangkan dalam kehidupan nyata (empiris), memiliki daya praktik, baik berbentuk perilaku maupun sistem secara dinamis berikut dengan estimasi waktu yang ditentukan dengan maksud pencapaian tujuan ideologi secara terukur.
Melalui pilar strategi inilah suatu ideologi terus digaungkan. Ideologi yang memberikan “cahaya” gagasan, namun ruang perwujudannya ada pada ranah strategi. Sehingga ada banyak strategi yang muncul dari satu ideologi. Misalnya ada strategi politik, strategi persuasif elektoral, strategi ketahanan pangan, strategi ekonomi, strategi kebudayaan, strategi pendidikan dan seterusnya.
Kemudian, bagaimana memahami ideopolstratak HMI?. Pada kajian sebelumnya penulis telah menyinggung terkait politik ketauhidan HMI. Secara tidak langsung pada pembahasan ini penulis menyampaikan bahwa ideopolstratak HMI membentuk rel melalui perwujudan politik ketauhidan tersebut. Artinya, HMI tidak lagi bimbang pada pilihan apakah berpihak pada Pancasila atau ke islamisme, sebab melalui NDP/NIK kemudian yang diikat dengan spirit dan kesadaran politik ketauhidan HMI. Hal ini menjadikan HMI dapat merentang peta strateginya untuk meluluh-lantakkan praktik atau perwujudan selain dari nilai politik ketauhidan. Ideoplolstratak HMI bukan ideopolstrataknya komunis, bukan pula kapitalis, feodal dan lain yang serumpun dengannya.
Persoalan ada persinggungan yang sama dalam hal strategi antara strategi ideal HMI dengan komunis atau kapitalis adalah sebuah tataran praksis yang memiliki niat dan nilai berbeda dengan nilai ideologi HMI. Jika ingin dipersempit untuk mengetahui strategi HMI dari sejak terbentuk hingga saat ini, strategi HMI akan kuat jika menempuh strategi kebudayaan. Mengapa harus strategi kebudayaan? Mengapa tidak dengan strategi ekonomi atau strategi religi simbolik? Jawabannya adalah karena strategi kebudayaan memiliki daya keberadaban manusia yang mesti menjadi pertimbangan utama dan yang paling utama dalam agenda perjuangan. Melalui strategi kebudayaan pula, hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, politik, pangan, hukum, sosial, kesehatan dan religi, tidak digiring menjadi ekonomi untuk ekonomi. Tidak menjadikan politik untuk politik. Tidak menjadikan kesehatan untuk kesehatan. Tidak menjadikan pangan untuk pangan. Tidak menjadi religi untuk religi. Tidak menjadikan hukum untuk hukum. Dan seterusnya. Tetapi strategi kebudayaan menjadikan semua hal yang diperjuangkan untuk memperkuat kekuatan manusia yang berkeadaban. Manusia yang berkeadaban adalah cerminan manusia yang bertauhid sebagai akar dari ideologi HMI.
Lantas bagaimana strategi HMI yang tidak menampilkan keberadaban? Maka hal sedemikian bukanlah stretegi HMI, melainkan strategi selain HMI yang mengatasnamakan HMI. Praktik yang seperti ini dapat disebut sebagai monopoli strategi HMI dengan tidak menyebutnya memperkosa ideologi HMI. Setelah mengetahui duduk persoalan dan posisi ideologi HMI dengan strategi HMI, maka pada tahapan kajian ini dapat dikemas bahwa wahana ideopolstratak HMI adalah melalui strategi kebudayaan dengan diikuti taktik yang sesuai dengan situasi dan kondisi dimana agenda perjuangan HMI itu dijalankan.
Pada saat kader HMI ingin mengetahui taktik politik kebudayaan HMI, maka ia harus memahami alur dari hulu hingga hilir terkait ideologi HMI yang berkaitan dengan strategi HMI, sehingga dengan pemahaman ini akan memberikan sebuah kesadaran dan daya lenting aksi untuk merumuskan sebuah taktik sebagai ujung tombak perwujudan ideologi sesuai tujuan HMI dan visi HMI.
Tanpa menguarai arti kata taktik secara etimologi. Taktik merupakan ancang-ancang, rencana berlanjut menjadi tindakan yang memiliki sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan. Untuk menciptakan sebuah taktik membutuhkan ketepatan data di lapangan, baik hal yang berkaitan dengan wilayah perjuangan, subjek perjuangan, objek perjuangan, material berjuangan, fasilitas perjuangan, pilihan alternatif berjuangan, kualitas yang melakukan perjuangan, menyambut akhir perjuangan, hingga batas waktu yang ditempuh selama menjalankan taktik.
Taktik ada yang memiliki jangka waktu pendek dan ada pula jangka waktu yang panjang, demikian pula wilayah ditempat taktik ingin diluncurkan dapat bersifat lokal, nasional maupun internasional. Demikian pula perangkat yang digunakan, dapat bersifat perangkat lunak maupun non-lunak. Efisiensi taktik sangat ditentukan melalui mekanisme musyawarah yang substantif, sehingga di HMI tidak menjadikan sistem pengambilan keputusan bersifat komando atau seperti politik dagang sapi. Kesadaran inilah yang akan menghantarkan kader HMI bahwa organisasinya berbeda dengan partai politik atau organisasi plat merah.
Kondisi wilayah harus diperinci sedetail-detailnya pada saat ingin dijalankan. Semua subjek yang melaksanakan taktik selain harus aktif melakukan koordinasi juga harus memiliki daya banting dan daya improvisasi agar tidak terjebak ke dalam taktik yang direncanakan. Sehingga yang menjalankan taktik tidak menjadikan senjata makan tuan, atau mati dalam rencana yang diciptakan sendiri, atau dapat membedakan apakah taktik dirancang untuk gagal atau tidak.
Seiring dengan perkembangan zaman, kehadiran gelombang industri keempat (4.0) menjadikan wilayah perjuangan tidak lagi menjadi terpisah, melainkan menjadi suatu kesatuan. Ia telah meretas yang namanya lokal, nasional dan internasional. Wilayah negara tanpa sekat. Konsep geopolotik dan cara pandang geopolitik terus terseret paradigma liberalisme universal. Liberalisme tersebut bisa saja datang dari mekanisme pasar, gaya hidup, tren pendidikan, bahkan kendali suatu perjuangan terkadang juga larut dalam kondisi terperosok ke dalam propaganda pasar.
Pada kondisi geopolitik yang dihadapi sedemikian sejatinya HMI harus mampu mempertegas posisinya agar tidak terombang-ambing dengan gelombang industri yang kian hari kian bertambah komponennya. HMI jika masih ada (mungkin saja sudah mati) harus bergegas mengformulasi ulang konsep gerakannya. Jika tidak, ia akan menjadi kenangan rasa nyata, sehingga para HMI-HMI-an terus beranggapan bahwa perjuangan yang dilakukannya akan memperkuat kekuatan umat sebagai manusia yang berpolitik demi tuhan, yang sebenar-benarnya demi Tuhan sebagai bentuk nyata dari komitmen ketaqwaan. Perjuangan HMI adalah wahana implementasi ketaqwaan.
Untuk itu HMI harus mampu menciptakan dan menjaga kompas perjuangannya sendiri melalui regenerasi atau pengkaderan yang dilakukannya. Kepastian untuk menjaga “kesucian” kompas perjuangan HMI harus semakin gencar seiring pengkaderan di HMI yang juga aktif menjaring “mahasiswa-mahasiswa polos” sebelum diberikan kesadaran dan tanggung jawab untuk mengemban amanah keislaman dan keindonesiaan.
Dalam upaya menjaga “kesucian” kompas perjuangan HMI menuju visinya, seluruh kader HMI (termasuk juga para HMI-HMI-an) maupun para merasa sebagai yang pernah menjadi kader (KAHMI) harus dituntut mengedapankan spirit pembelajar, berketeladan sebagai hamba Allah Swt dalam mengelola negara dengan lintas profesi dan jabatan dalam rangka mencapai tujuan HMI.
Jalan panjang perjuangan HMI tersebut benar bahwa tidak dibebankan pada satu orang kader HMI, tetapi satu orang kader HMI mesti mendorong kesadaran kolektif bahwa HMI harus terus dikobarkan mencapai tujuan mulianya. Dengan upaya saling dorong kesadaran ini (bukan saling dorong atau lempar kursi saat konfercap, musda atau kongres) HMI tidak boleh atau menjadi bagian penumpang gelap yang semakin hari menjadi benalu bagi negara, mejadi lintah yang selalu menghisap tubuh ibu pertiwi.
Rentang kesadaran ini tidak boleh keluar dari pendulum HMI yang hulunya adalah panggilan ilahiah, dan hulunya adalah masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Swt. Hulu dan hilir ini senantiasa tidak sekedar menjadi pemanis bibir belaka, tidak sekedar asesoris topeng perjuangan yang menjadikan kader HMI sebagai kader munafik di hadapan manusia, bangsa dan negara.
Untuk itu perlu dipahami bahwa ber-HMI memang dapat dipahami secara sederhana, namun sederhana bukan berarti HMI tidak memiliki tanggung jawab besar dihadapan Tuhan, bangsa dan negara. Dapatkah HMI menjadi garda penyelematan keislaman dan keindonesiaan? Sebelum menjawab, perhatikan bagaimana konfercab, Musda, hingga kongres dilakukan. Cerminan sederet kenduri transformasi kepemimpinan tersebut dapat menjadi indikator untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Jika masih menganggap HMI masih ada, jika masih menganggap HMI dapat diperbaiki, maka harus disadari bahwa HMI seiring perkembangan akan terus menabung tantangan. Mulai dari tabungan tantangan dari dalam HMI hingga di luar HMI, dari motif satu ke motif lain terus menjadi pekerjaan rumah HMI sebagai organisasi yang katanya memiliki lima kualitas insan cita.
Suka atau tidak, upaya penguatan perwujudan idelogi HMI mesti terus dikobarkan secara konkret. Baik melalui memperkuat literasi intelektual publik, pengesahan mentalitas kader yang tidak mengedepankan nafsu birahi seiring terus mengasah mentalitas pembelajar. Kader HMI harus terus digiring untuk jujur mengatakan kepada praksis yang bathil, dan jujur mengatakan salah pada diri sendiri jika terbukti salah, termasuk harus jujur bagaimana perannya dalam upaya penyelamatan bangsa dan negara dari berbagai strategi yang mengancamnya. Jika tidak ingin sadar terkait tui, mari kita bubarkan HMI.
baca juga