Oleh: Richad Indra Cahya
Kondisi ekonomi-politik Indonesia kurang stabil, Sejak awal 2018 lalu, dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, telah terkunci dalam perang dagang yang sengit. Terhitung sejak Maret 2018 hingga 20 Juni 2020, AS telah memberlakukan 11 kali penyesuaian tarif dagang. Total tarif AS yang diterapkan secara eksklusif untuk barang-barang China adalah sebesar 550 miliar dolar AS. Sedangkan, China telah menerapkan 14 kali penyesuaian tarif dagang. Total tarif China yang diterapkan secara eksklusif untuk barang-barang AS adalah 185 miliar dolar AS.
Hasil studi UNCTAD (6/11/2019), mengungkapkan, perang dagang membuat kawasan ASEAN menjadi pihak yang diuntungkan termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu anggota G20 dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia dan disebut sebagai newly industrialized country. Indonesia merupakan negara dengan nominal Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-7. Pada 2019, nilai PDB Indonesia mencapai 40 miliar dolar AS, dan diperkirakan akan melampaui 130 miliar pada 2025.
Namun demikian hingga saat ini banyak perusahaan Amerika yang keluar dari China enggan berinvestasi di Indonesia. Ada beberapa faktor tidak diliriknya Indonesia, di antaranya tidak adanya strategi yang jelas untuk menarik investasi asing yang dimiliki Indonesia.
Berbeda dengan Vietnam yang memiliki cetak biru strategi investasi yang dijalani dengan konsisten seperti adanya kepastian regulasi, perizinan yang tidak berbelit-belit, pemberian insentif yang besar dari tax holiday, tax allowance. Selain itu faktor kemampuan diplomasi para menteri di bidang ekonomi Indonesia sangat lemah. Akibatnya realisasi investasi yang masuk Indonesia menurut BKPM berdasarkan Lokasi dan sektor Periode Januari - Maret (Triwulan I) Tahun 2020 jumlah proyek hanya 11.623 dengan nilai investasi 6.803,6 dolar AS Jika Indonesia meniru apa yang dilakukan Vietnam, setidaknya Indonesia memiliki empat peluang untuk memetik keuntungan dari perang dagang AS-China. Pertama, meningkatkan investasi langsung, terutama karena potensi relokasi bisnis perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dari China. Kedua, meningkatkan investasi langsung, terutama karena potensi relokasi bisnis dari China. Sejauh ini di China beroperasi ribuan korporasi global. Di Shanghai saja, menurut Komisi Perdagangan Kota, terdapat 701 korporasi global per akhir Agustus 2019.
UNCTAD menyebutkan korporasi global yang kini berpusat di China mungkin akan merelokasi bisnisnya ke ASEAN. Sektor-sektor yang berpotensi direlokasi ke Indonesia di antaranya adalah IT, otomotif, dan garmen. Lihat Foto Ilustrasi perang dagang AS-China.(SHUTTERSTOCK) Ketiga, Indonesia dapat meningkatkan ekspornya, karena AS dan China merupakan negara eksportir terbesar.
Ketika AS menghambat perdagangan untuk produk ekspor China, maka memberi peluang bagi produk ekspor Indonesia ke pasar AS. Produk ekspor yang dapat memanfaatkan peluang pasar AS terutama tekstil dan alas kaki. Menurut data BPS, China adalah tujuan utama ekspor Indonesia selama periode Januari-Desember 2019 dengan pangsa 16,68 persen senilai 25,85 miliar dolar AS, diikuti AS dengan nilai 17,68 miliar (11,41 persen), dan Jepang dengan nilai 13,75 miliar (8,87 persen). China masih menjadi tujuan ekspor utama pada periode Januari-Mei 2020, dengan nilai 10,39 miliar dolar AS atau 17,04 persen dari total ekspor 64,45 miliar. Nilai ekspor Indonesia ke China sebagian besar disumbangkan oleh komoditas mentah seperti mineral (besi atau baja, batubara, dan lignit) dan hasil perkebunan, terutama CPO.
Nilai perdagangan Indonesia dan China dapat digenjot lebih tinggi lagi karena melalui Visi Kemitraan Strategis China-ASEAN 2030 kedua pihak sepakat mewujudkan target sebesar 1 triliun dolar AS dalam volume perdagangan dua-arah pada 2020 ini. Negara tujuan ekspor terbesar kedua selama periode yang sama adalah Amerika Serikat dengan nilai 7,22 miliar dolar AS. Komoditas unggulan yang diekspor ke AS adalah alas kaki, komponen kendaraan bermotor, dan furnitur. Keempat adalah menarik makin banyak wisatawan China ke Indonesia. Peluang ini sangat prospektif karena selama 2013-2018 jumlah kunjungan wisatawan asal China tumbuh 275 persen. Periode Januari-September 2019 terdapat 1,61 juta kunjungan wisatawan China, atau 13,14 persen dari total 12,27 juta kunjungan.
Tiga langkah strategis Menurut penulis, Indonesia dapat menempuh tiga langkah strategis dalam memanfaatkan peluang untuk meraih keuntungan dari perang dagang AS-China. Lihat Foto Ilustrasi perang dagang(Thinkstock.com/andriano_cz) Pertama, Menteri Perdagangan dan para diplomat hendaknya tidak hanya sebagai marketers, tetapi juga sebagai opportunity seekers guna meningkatkan kerjasama ekonomi/investasi, perdagangan dan turisme. Kedua, mendorong upaya alih teknologi dan lahirnya ekonomi kreatif. Untuk itu kementerian dan lembaga terkait perlu lebih gesit mengambil langkah strategis guna menggenjot ekonomi kreatif dan melakukan alih teknologi. Ketiga, kementerian dan lembaga terkait serta pemerintah daerah hendaknya lebih responsif dan bekerja lebih serius mempercepat pemerataan pembangun infrastruktur dan peningkatan kwalitas sumber daya manusia, terutama di kawasan Indonesia timur yang memiliki potensi wisatawan yang besar. Dengan konsisten menerapkan tiga langkah strategis di atas, maka tak mustahil Indonesia dapat memetik banyak keuntungan dari perang dagang AS-China, yang belum ada tanda-tanda akan usai.