Oleh : Zulfata
Himpunan Mengembalikan Identitas (HMI). Memang ada yang bawa perasaan (baber) ketika saya menulis terkait HMI. Kalangan baper seperti ini disebut bagian dari HMI HMI-an. Untuk itu, sudah seberapa jujurkah HMI hari ini? Atau sengaja menutupi kekeliruan di tengah publik menginginkan keterbukaan pada organisasi yang memperjuangkan nasib publik?, atau terus berusaha menjadi residu keislaman dan keindonesiaan? HMI bukan sekedar hasil kongres di Surabaya, dan bukan pula sekedar yang menolaknya. HMI juga bukan proses larut ke dalam dua haluan pergerakan klasik (DIPO/MPO) dan seterusnya tafsiran terkait HMI.
Ketika ada di balik tulisan HMI yang jujur, apakah ini bentuk memberi tanda bahwa HMI telah berbohong? Saya tidak ingin menjawab, cukup pembaca bandingkan saja idealitas dan realitasnya kekinian, atau berakhir pada kesimpulan bahwa idealitas HMI itu hanya sekedar bincang di ruang training dan seminar formalitas. Inilah HMI, himpunan mengembalikan identitas.
Mengapa harus mengembalikan identitasnya, siapa yang mencuri atau menguburkannya? Di mana identitas itu berada? Oh ya, tak usah terlalu pusing memikirkan HMI, sebab Moch Qasim Mathar pernah menulis “HMI Sudah Tiada”. Selain itu, ada yang menulis “Bubarkan HMI”, hingga “Badko HMI Perlu Dibubarkan” menurut Ibnu Arsip, seorang instruktur HMI di Medan. Di sini HMI ibarat magnet, dapat tari menarik, dapat pula tolak menolak, soal ini, telusuri proses Kongres HMI di Surabaya, sungguh mencerminkan prinsip politik Islam, jujur dan berkemanusiaan. Maafkan saya jika menggunakan logika terbalik terkait itu.
Sejarah HMI memang panjang, hampir sama umurnya dengan umur republik Indonesia, berselang beberapa tahun. Masa orde baru (orba) identitas pergerakan HMI tampil dalam upaya mendaulatkan Indonesia dari berbagai sektor, terutama dalam melakukan pengawasan kebijakan. Spirit keislaman moderat yang “berapi-api” ada padanya, hingga ia menjadi mitra kritis bagi pemerintahan. Kini, HMI? Sudahlah, tak perlu dijawab utuh, cukup memberikan kata kunci yaitu, pragmatis, politik kartel, politik sapi perah, pembodohan, perpecahan, oligarki, kapitalis, hingga manipulatif.
Sejarah pasti berulang, lirik lagu lawas mengatakan demikian. Sejarah mungkin saja dilupakan, mungkin dikaburkan, mungkin dihancurkan. Oleh siapa? Oleh siapapun yang tidak menyukai kebangkitan gerakan sejarah tersebut. Sejarah HMI masa lalu memang indah untuk dikenang. HMI masa kini, penting untuk dikembalikan identitasnya. Identitas HMI tempo doeloe menjaga prinsip integritas, islamis, militan dalam menjaga bangsa dan negara dari upaya perebutan negara oleh kekuasaan yang tidak pro dengan aspirasi rakyat.
Kini identitas itu silakan pembaca sebut dan uraikan sendiri, mungkin saja akan menyarankan untuk membubarkan HMI seperti yang pernah dilakukan Cak Nur, atau terjebak pada sikap apologi, atau sikap-sikap lainnya, termasuk anti bagi pengkritik HMI. Jika mengintip celah terkait identitas HMI masa kini, tentu akan melihat apa yang disebut aktivis HAM Munir, bahwa berada di ketek kekuasaan. Sebab keluarga besar HMI juga berada di bagian penyokong kekuasaan, apakah itu sebagai menteri, wakil presiden, mantan wakil presiden, tim sukses, atau buzzer (pendengung) dengan dalih hormat pada kanda. Mungkin begini citra identitas HMI hari ini. Mudah-mudahan saya salah.
Tidak ada yang salah jika HMI mampu dan berada di puncak kekuasaan, sebab perjuangan itu membutuhkan kekuasaan dan terus membuka jalan untuk mempertahankan kekuasaan. Namun demikian, apakah kekuasaan yang dipertahankan itu sesuai dengan lima kualitas Insan Cita? Sudah turut Al-Quran dan hadis? Dalam menjawab ini tentunya HMI harus jujur. Tidak boleh berapologi, tak perlu mencari-cari pembenaran sembari menutupi kekurangan agar tampak elegan dan bermartabat. HMI harus didialetikakan.
Sebab bersikap jujur dalam menilai HMI hari ini dapat mengakui kekurangannya, dan kekurangan itu dapat menjadi evaluasi untuk mengembalikan identitas HMI yang benar-benar mempercepat Indonesia mencapai cita-citanya. Sehingga tujuan hadirnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Swt meyatu dalam praktik kontestasi politik HMI, mulai dari Cabang hingga struktur ke atasnya.
Menggerakkan HMI yang tidak jujur justru terus melebarkan kebohongan. Akibatnya yang ber-HMI terperosok pada perjuangan yang tidak jujur pula, bermain seperti belut, membrending perjuangan demi kepentingan kekuasaan yang mahir menciptakan politik transaksional dan politik klientelisme. Semua tergantung selera sosok pengendali, tak perlu repot-repot memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebab nanti akan susah jika berhadapan dengan penguasa. Apakah HMI sekarang seperti ini? Cobalah dijawab dengan jujur, melibatkan hati nurani, bukan nafsu birasi kekuasaan pragmatis, menjilat, mata duitan, pengincar slot jabatan dengan menebar klaim, pembuka pintu kuatnya posisi koruptor atas nama silaturahmi, hingga pada persoalan memperkuat mata rantai pelemahan demokrasi Indonesia.
Bagaimana pula dengan peran HMI hari ini dalam merawat demokrasi Pancasila? Bergerak maju atau memukul kemajuan demokrasi Indoesia itu sendiri dengan dinamika internalnya sendiri? Jawablah dengan jujur. Sudah berapa banyak HMI sukses mengontrol kebijakan yang pro rakyat dan kemaslatan beragama hari ini? Jawablah dengan jujur. Seberapa besar perjuangan HMI hari ini dalam melakukan pencehagan korupsi? Atau justru membenihkan koruptor-koruptor muda? Jawablah dengan jujur.
HMI sudah melewati berbagai kontestasi Pemilu Presiden, Pilkada, hingga pemilihan kepala desa. Dalam pesta demokrasi tersebut dimanakah posisi HMI? Jika tak ingin jujur tak perlu dijawab. Renungkan saja, jika tak suka dengan tulisan ini, silakan keluarkan sumpah serapah dengan menyebarkan argumentasi ketidaksukaan pada penulis. Penulis mencoba berusaha mengajak bagaimana HMI jujur menilainya sendiri. Apakah HMI itu benar-benar sudah kehilangan identitas diri atau memang sudah berganti identitas menjadi organisasi kementerian, menunggu atau terus berharap menyambut program-program jangka pendek pemerintah. Sehingga HMI lupa dengan cita-cita jangka panjanganya dalam menjaga nasib Indonesia melalui laboratorium politik yang diciptakannya sendiri melalui jabatan struktur formal internalnya.
HMi harus terus diperbincangkan, dibenturkan dengan harapan mendapat pencerahan dan perbaikan untuk hari ini agar identitas HMI yang dirumus oleh pendiri HMI dapat mewarnai kondisi bernegara hari ini. Bagaimana cara mengembalikan identitas HMI itu jika benar-benar sudah dilupakan?, atau sengaja dijadikan manipulasi pengkaderan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan jujur, termasuk jujur dalam menjalankan aktivitas HMI, bukan jujur pada saat lapar, dan berbohong pada saat kenyang. Sungguh HMI menjadi benalu bangsa jika benar-benar HMI jauh dari komitmen kejujuran.
Dalam ajaran Islam, jujur adalah bagian yang terkandung dalam kategori bertakwa kepada Alah Swt. Jika soal kejujuran itu dipandang dengan sebelah mata oleh yang mengaku dirinya cinta pada HMI, di situ pula pertanda bahwa dirinya sedang ber-HMI HMI-an. Nilai-nilai ketauhidan yang seharusnya menjadi fondasi merawat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nilai-nilai ketauhidan pula yang menjadi pemersatu dan kekompakan dalam meraih tujuan HMI. Lantas mengapa modal material dan keberpihakan kepada pengusa oligarki dan kapitalis telah menjadi pemersatu dan kekompakan bagi “HMI” hari ini? HMI jujurlah, kerena dengan kejujuran itu menjadikan kita berjuang dengan prinsip tiada dusta di antara kita.
Penulis adalah seorang yang aktif menabur provokasi akal sehat di ruang training HMI