Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

#PAT GAMPONG? sebagai Etos Peregerakan Pemuda Aceh

Selasa, 01 Juni 2021 | Juni 01, 2021 WIB Last Updated 2021-06-01T14:13:18Z


Oleh : Zulfata, M.Ag

Hadirnya tanda pagar (tagar) pat gampong menjadi sorotan pemuda di Aceh akhir-akhir ini. Tagar tesebut utuh dengan penampakan #PAT GAMPONG? yang mengandung multi tafsir, ia tidak bermakna tunggal, dapat diseret kemanapun, tergantung hasrat para penggunaannya. Terkadang #PAT GAMPONG? mengarah pada kritikan kekuasaan, dan terkadang memperlebar jenaka karena jenuh akibat ulah penguasa. Secara etimologi memang pat gampong berasal dari bahasa Aceh yang artinya dimana kampung (desa), namun dalam terminologinya #PAT GAMPONG? bukanlah sebatas makna yang kaku.

Kehadiran #PAT GAMPONG? sejatinya bukanlah bagian dari pengembangan kajian hermeneutik dalam studi filsafat bahasa yang cenderung dibahas pada forum-forum terbatas di majelis ilmu, tetapi #PAT GAMPONG? adalah sebuah nalar pemicu dalam penggalian etos publik yang harus disadari bersama terkait bagaimana menciptakan konsolidasi masyarakat Aceh.

Kalangan yang cenderung tertarik dengan #PAT GAMPONG? dominannya diisi oleh kalangan pemuda Aceh, padahal #PAT GAMPONG? terbuka bagi siapa saja ingin memakainya. Dalam koteks ini, penulis berusaha membuka ruang kajian ontologi #PAT GAMPONG? untuk kemudian dapat ditarik benang merah atas kehadirannya. Perlu dipahami pula bahwa #PAT GAMPONG? bukan berasal dari kalimat seseorang meskipun #PAT GAMPONG? sempat viral akibat diskursus di media sosial (Medsos). Secara ontologi, unsur tampak (fisika) #PAT GAMPONG? terlihat bahwa setiap masyarakat di Aceh pasti pernah melontarkan pertanyaan pat gampong? kepada lawan bicaranya.

Pertanyaan pat gampong tersebut boleh dimaksudkan untuk mengetahui daerah lawan pembicara sebagai perkenalan, dan boleh jadi pula pertanyaan pat gampong dilontarkan karena ingin memberi jarak, baik jarak yang bersifat politis maupun geografis. Lanjutan dari pemaknaan pat gampang secara indrawi ini dapat pula didasari dengan adanya pandangan-pandangan masyarakat Aceh yang belum utuh menilai Aceh sebagai masyarakat yang solid dalam visi yang sama, terutama dalam membangun hasrat bersama dari wilayah territorial.

Diakui atau tidak Aceh hari ini masih belum mampu bersatu degan tidak menyebutnya retak dari dalam, artinya wilayah tengah, timur, barat dan selatan Aceh masih saja terbentur akut soal politik primordial, parahnya merembes ke proses pengkaderan politik kultural antar generasi di Aceh. Atas dasar inilah penulis sebut sebagai landasan ontologi-fisikanya #PAT GAMPONG?

Demikian halnya dari sisi ontologi-metafisika bahwa spririt #PAT GAMPONG? mengandung nilai egaliter, kesederajatan manusia sebagai konsekuensi beriman dan berislam, tidak tersekat kasta atau golongan masyarakat tertentu dalam memajukan peradaban. Kata gampong kemudian semakin menarik ketika dalam catatan sejarah Aceh bahwa gampong di Aceh pernah menjadi benteng pertahanan penjajahan. Sehingga makna gampong tidak selalu identik dengan ketertinggalan, justru dapat dijadikan sebagai ujung tombak pergerakan. Artinya, jika perubahan nalar dan perubahan lainnya dimulai dari kesadaran “pat gampong” maka sungguh dimungkinkan gerakan perubahan sosial di Aceh akan semakin baik.

Sederhananya, spirita #PAT GAMPONG? secara tidak langsung ingin membingkai haluan pergerakan gerenasi Aceh untuk jangan sempat membangun Aceh dari masa ke masa dengan terus memicu asas primordial atau merendahkan gampong orang dan meninggigi gampong sendiri. Selanjutnya manka #PAT GAMPONG? juga ingin mempertegas bahwa dalam upaya pemajuan peradaban Aceh semua pihak jangan pernah anti kritik, apakah ia sebagai penguasa atau sebagai tim pendengung penguasa.

Mungkin mengedepankan sikap egaliter dan kesederajatan kemanusiaan dalam kontestasi gerakan pemuda Aceh hari ini masih jauh panggang dari api, namun demikian harapan untuk mempersatukan semangat juang generasi Aceh dalam bingkai nalar merdeka harus terus dinyalakan tanpa intervensi pihak manapun. Spirit ini sejatinya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan generasi Aceh terdahulu telah mewariskannya dengan bukti historis bahwa generasi Aceh terdahulu semangat berjuang dan tidak takut intervensi.

Melalui kajian #PAT GAMPONG? ini pula seharusnya generasi Aceh harus terus disajikan ruang diskursus dengan terus melenggangkan nalar-nalar kritisnya, kepada siapa pun dan kapan pun. Karena kaum anti kritik akan selalu ada, maka mengkaderkan generasi kritis harus terus ditumbuhkan. Hanya dengan seperti ini Aceh akan melaju penuh keseimbangan, dan tidak akan oleng pada kelompok pemuda atau masyarakat yang merasa nyaman dengan semangat oportunis dan praqmatis.

Semangat #PAT GAMPONG? gampong akan terus strategis saat menghadapi dinamika global yang merambat ke Aceh, mulai varian perang pasar industri digital hingga berbagai perangai psikologi akibat medsos. Tentunya sembgat #PAT GAMPONG? berperan untuk menjaga martabat Aceh melalui memperkuat nalar bahwa generasi Aceh itu anti sogok namun solid bergotong royong, juga generasi Aceh itu religius dan militan, bukan praqmatis yang lincah menyusup untuk masuk di ketiak kekuasaan yang langgeng menciptakan kebijakan tidak pro masyarakat.

Perlu digarisbawahi bahwa semangat #PAT GAMPONG? bukanlah milik satu orang atau sekelompong orang, tetapi ini adalah gerakan kultural yang mempertegas bahwa generasi Aceh harus tampil terdepan dalam menjaga haluan dearah dan bangsa. Untuk itu #PAT GAMPONG? tidak melekat pada kekuatan personal ketokohan, melaikan sejauhmana generasi Aceh itu mampu merajut solidaritas tanpa sekat primordial.

Kajian ini menjadi menarik ketika disodorkan kepada kalangan pemuda di Aceh yang tidak ingin tertarik bicara kekuasaan. Meski bagaimanapun watak generasi muda Aceh hari ini, upaya untuk mendorong generasi muda agar terus bernalar dan berintegritas harus diperbayak. Sehingga dapat mengisi berbagai sektor guna mempercepat kesejahteraan di Aceh. Pada posisi ini pula #PAT GAMPONG? bukanlah sebuah gerakan ideologis, melainkan sebuah gerakan kultural yang patut diperjuangkan secara bersama-sama, karena semangat ini bukan diperintah atau diorder oleh seorang atau sekelompok orang, melainkan moral kultural Aceh yang menjadi panglima gerakan #PAT GAMPONG?

Salah-satu ciri gerakan #PAT GAMPONG? terlihat dari semangat membangun konsolidasi tanpa pandang umur dan daerah, melainkan diikat oleh kesadaran moral bahwa Aceh perlu dibenahi dengan akal sehat, bukan akal bejat. Aceh harus diperkuat dengan gerakan tulus, bukan akal bulus. Untuk itu, menarik kajian ini dipahami oleh aktivis-aktivis pemuda di lintas organisasi kepemudaan di Aceh. Jika organisasi kepemudaan tidak mencerminkan semangat gerakan moral keacehan, sudah dipastikan arus perjuangan gerenasi muda di Aceh mengalami kekeringan kemaslahatan, dan kekuatan pembodohan atau memberhalakan manusia akan terus terjadi di bumi Serambi Mekah ini.

Sebelum mengakhiri kajian singkat ini, semangat #PAT GAMPONG? bukanlah wujud politik identitas yang merusak gerakan kebangsaan Indonesia, melaikan gerakan ini adalah gerakan moral kolektif yang diperkuat melalui nilai kearifan lokal Aceh yang juga memberi pengaruh keadaban bagi kekuatan bangsa. Akhirnya, melalui gerakan #PAT GAMPONG? ini senantiasa kita menjaga arus gerakan akal sehat di Aceh yang tak mudah dihentikan oleh apapun dan siapapun. Semoga!