Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

RUANG PUTIH

Minggu, 28 Juni 2020 | Juni 28, 2020 WIB Last Updated 2020-06-28T10:34:16Z

         Oleh
         Damay Ar Rahman

Sebuah televisi berukuran besar memperlihatkan seorang wanita berambut panjang sedang membawa berita utama.  Televisi itu terletak di atas tiang dekat ruang dokter spesialis. Seorang wanita mengelus-elus bayinya yang tertidur pulas di gendongannya. Wanita itu melihat layar televisi, sesekali Ia juga menatap awan putih yang cerah disertai asap-asap polusi yang mengepul di udara. 

Wajahnya termenung menatap sederet awan yang perlahan-lahan mulai bersatu dan membentuk gumpalan putih yang tebal. Tapi ada yang risih di benaknya. Matanya yang tadinya sayu menatap datar ke luar jendela, seketika dibuat terkejut dengan mengingat mendiang seseorang yang amat dicintainya.

Hatinya membatin, Sampai kapan kota ini akan pulih dari pencemaran udara. Gara-gara udara kotor itu, anakku menjadi yatim. Lagi-lagi ia pasrah dengan kondisi.

Sulastri Pratiwi. Seorang suster memanggil namanya. Lastri bangun dari tempat duduknya  dan segera membawa bayinya untuk diperiksa.

Lastri melewati orang-orang yang duduk berjejer. Beberapa di antara mereka memperhatikan Lastri dan anaknya. 

Bagaimana dokter dengan anak saya?” 
Gini buk, kondisi Jannah semakin parah, sepertinya Ibu harus tinggal di Jakarta untuk sementara. Soalnya Jannah harus menerima perawatan dari kami. Jika tidak kemungkinan besar tumor Jannah tidak akan hilang, tubuhnya akan semakin memburuk. Dokter menyampaikan dengan wajah berduka.

Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Suamiku baru aja meninggal. Jika nanti aku tinggalkan kampung bagaimana kedua anakku yang sekarang entah sedang apa Ucapnya pelan.

Dokter apakah tidak ada jalan lain. Sambungnya lagi.
Maaf bu, ini keputusan terakhir. Sang dokter menarik nafasnya secara pelan.
Baik dokter, saya akan berusaha yang terbaik buat Jannah. Terimakasih dokter, berarti besok jam berapa saya kembali?
Jam 10.Ucapnya singkat, sambil melirik jam dinding dihadapannya.
Baik Dokter. Saya pamit.Ucap Sulastri sambil tersenyum getir.

Lastri membuka pintu ruang dokter sambil berpikir. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kemungkinan kedua anaknya yang ditinggalkan di kampung itu harus dibawanya juga ke Jakarta. Sanak saudara di kampung sudah pada meninggal dan beberapa ke luar negeri bekerja.Wanita yang baru saja ditinggal suaminya lima bulan lalu itu, terpaksa harus pergi ke kota besar untuk membawa anak bungsunya berobat sekaligus mengambil uang ansuransi kematian suaminya Aryo.

Aryo menderita penyakit radang paru-paru sejak kepergiannya ke Jakarta tiga tahun lalu. Ia bekerja sebagai pengangkut sampah. Aryo seorang pemuda lulusan SMP menikahi kembang desa yaitu Lastri lulusan SMA. Mereka dikarunia dua orang putra dan satu orang putri.  Syukur sebagai anak pertama, adik keduanya Iman, dan terakhir Jannah.

Lastri sebagai seorang istri selalu bersikeras merawat anaknya dengan baik. Walaupun ia tidak bersekolah tinggi. Lastri rajin mengunjungi perpustakaan di kampugnya, seminggu ia meminjam lima buku, dan dibaca setelah menyelesaikan tugasnya mengurus anak dan rumah. Buku-buku itu habis di bacanya, terutama buku-buku cerita atau novel untuk menambah motivasi yang akan diceritakannya pada anak-anaknya sebelum tidur. 

Ia juga mengajarkan ilmu agama pada anak-anaknya. Si kecil Jannah sering ditidurkannya dengan membaca shalawat. Iman suka membantunya memasak di dapur. Syukur banyak menghabiskan waktunya untuk mengambar. Bergambar adalah hobinya sejak kecil. Banyak karya yang bisa ia hasilkan dan pamerkan dengan nilai yang tinggi.

Setiap Aryo pulang dari Jakarta, tidak ada keinginan lain selain perlengkapan menggambar untuk dijadikan bahannya bermain-main. Lastri sering tersenyum melihat tingkah Syukur yang pintar dalam membuat pola-pola gambar yang bagus dan unik. Bila anak-anak seusianya banyak bermain di kali atau di sawah, Syukur lebih memilih menyendiri dan terkadang duduk di dekat adik bungsunnya untuk meneruskan bakatnya yang tak tanggung-tanggung itu. Kehebatan menggambar menghartarkannya menjadi juara utama dalam nasional saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas dua.

Namun, setelah dua bulan membawa piala, terdengar kabar bahwa sang ayah harus di rawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal karena sedikitnya biaya untuk berobat. Sejak kehilangaan Aryo, Syukur jadi anak yang keras. Lastri sering mendapat panggilan sekolah karena ulahnya. 

Pernah suatu ketika, Syukur duduk di bawah pohon belakang sekolah. Seorang anak laki-laki dan kedua temannya memanggil Aryo dengan ucapan sinis hingga membuatnya marah besar.
Hei anak bodoh, mana bakat kunomu.

Lihatlah wajahmu seperti orang gila dan sangat lusuh.Aryo diam dan tidak menggubris. Namun hatinya merasa tersinggung tapi ia tak ingin mencari masalah.

Hei anak yatim. Ayahmu mana? Udah mati ya? Makanya jangan jadi orang miskin. Jadinya kamu ditinggal bapakmu yang penyakitan itu. Hahahaha. Anak tersebut bersama teman-temannya tertawa sambil memegang kedua pinggulnya dengan wajah angkuh.

Diam-diam Syukur mengenggam tangannya dengan keras. Hatinya mulai panas membara. Sedangkan anak-anak rusuh itu masih menertawainya. Sebuah batu besar tepat dihadapannya. Ia tatap batu itu dengan murka dan langsung brakkkkk mengenai wajah anak itu satu-persatu. Langsung saja ketiganya menjerit sambil memegang kepalanya yang membiru dan benjol. Syukur masih duduk dengan emosi yang sudah lagi tidak terkendali. Ia sama sekali tidak berpikir tentang apa yang akan menimpanya nanti. Syukur benar-benar berubah dan membuat Lastri kesusahan setiap kali menghadapinya. Sebuah surat tiba-tiba datang dari Suparno anak tetangganya, lalu diserahkaan kepada Lastri yang sedang menyapu halaman. 

Lastri membaca surat itu dengan cepat. Awalnya ia berwajah biasa. Tapi, lama-lama surat itu membuat hatinya lemah. Ia tak menyangka bahwa itu adalah surat ketiga kalinya atas perbuatan Syukur mengeroyoki teman-teman sekolahnya. Ia menghela nafas panjang. Memegang dadanya. Menatap sedih bunga-bunga yang baru saja disiramnya.

Baru pulang Syukur? Lastri bertanya dengan lembut. Namun jawaban yang diterimanya hanya diam dan wajah yang tidak menyenangkan dari Syukur.
“Apa yang kamu lakukan nak? Apa kamu berbuat masalah lagi.” Syukur terdiam dan menunduk.
“Mengapa kamu berubah nak?” Tanyanya sambil menangis.
“Syukur jawab ibu nak?” Desaknya.

Syukur menatap sejenak wajah ibunya. Syukur tak berani menjawab, ia tidak tega melihat wajah Lastri yang sedih dan seperti menahan amarah padanya. Ia tahu. Bahwa Lastri sedang mencoba kuat dan sabar. Daripada Syukur semakin sedih dan bisa membuatnya naik darah, ia pun melemparkan tasnya ke lantai dan berlari ke luar rumah dengan melewati perkebunan teh dan menuju sebuah bukit, tempatnya dan Aryo sering menghabiskan waktu untuk menemaninya menggambar. 

Aryo semakin mengeram dan wajahnya benar-benar terlihat marah. Ia tidak tahan lalu berteriak memanggil Ayah.....”

Woi serahkan semua uang kalian. Jangan berpura-pura bodoh.” Ucap seorang pria bertubuh kekar berambut gondrong.
“Serahkan uang tempat kalian pangkal di sini. Atau aku dan anak buahku takkan memberi ampun.” Ucapnya dengan wajah kasar.

“Bos ada Pak Tarjo. Kita sambat bos. Diakan udah tiga hari ngak bayar.” 
Pria bertubuh kekar itu memandang sinis ke arah pria tua yang sedang menunduk seperti ketakutan.

“Woi pria tua. Pura-pura lupa kau sama aku. Yah.” Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke hidung pria tua itu.
“Nak tolong bapak. Bapak ngak punya uang. Dagangan sepi. Susana lagi krisis.”
“Apa urusan gue. Lo tugasnya Cuma bayar uang gue atau ngak hancur semua usaha butut lo ini.
“Nak Syukur. Kasihani bapak. Cucu bapak kelaparan di rumah.” Ucapnya merintih.
“Dasar tua bangka. Hancurkan barang-barangnya.” Pria berwajah jahat itu meminta anak buahnya untuk mengobrak-abrik sayur-sayur pria tua itu. Benar saja, dalam sekejab semuanya berantakan.

Sejak Lastri membawanya ke kota. Syukur benar-benar tidak bisa diatur lagi. seminggu hingga dua bulan ia masih bisa berdiam diri di rumah. Beberapa sekolah sudah didaftarkan untuknya, tapi ia memilih bolos dan pergi entah ke mana. Kerasnya ibu kota telah membawanya menjadi orang yang kasar dan apatis dengan siapapun. Lastri sedih melihat putranya, belum lagi Jannah yang harus terus-menerus di rawat. Hingga pada suatu hari, Jannah dinyatakan sembuh dan dapat menjalani aktivitas dengan normal. Pekerjaan Lastri sebagai tukang cuci di toko Laundry tidak cukup untuk hidup di Jakarta.

 Ia berinisiatif untuk pindah ke kampung halaman. Mungkin, dengan memindahkan Syukur dapat merubahnya lebih baik dengan suasana desa tempat masa kecilnya

Namun respon Syukur hanya kehampaan pada Lastri dan adik-adiknya.
“Aku sudah senang tinggal di sini buk.”
“Ikutlah dengan ibu. Kita akan membuka usaha yang lebih baik lagi di sana.”
“Tidak ibu. Pulanglah, aku dan temanku akan merantau jauh. Aku sudah sangat benci dengan kehidupan melarat ini.”

Lastri hanya diam. Ia sejujurnya gundah dan ingin menentang keputusan Syukur. Tapi, mungkin ini jalan hidup anaknya. Hari itu juga, Lastri pamit dan menasehati Syukur untuk terus berada pada jalan kebenaran.

“Bos, sepertinya memang harus balik kampung. Kondisi Jakarta makin kacau karena virus ini. Nanti kalau kita tertular gimana?”
“Aku ngak takut. Virus bangsat itu tidak akan berani menyentuhku. Kenapa kau takut Boy?”
“Eh bukan gitu bang. Ibu saya sudah cemas sama saya. Ia ingin saya balik kampung.”
Mendengar kata-kata ibu, Syukur teringat dengan Lastri yang sudah meninggalkannya selama 12 tahun. Entah bagaimana kabar keluarganya sekarang. Pikirannya melayang pada Iman dan Jannah. Tidak berselang lama Boy pamit disusul temannya untuk bersiap-siap.

Kota Jakarta semakin sepi. Pasar-pasar tradisional sedang tidak beroperasi. Di sebuah kontrakan kecil, Syukur merasakan tubuhnya mengigil dan batuknya semakin parah. Ia hanya terbaring di kasur lusuh dengan perut keroncong selama dua hari. Terdengar serune ambulan melintas di depan rumahnya.

Syukur segera keluar dan berusaha keras untuk memberhentikan mobil itu. Seorang anak muda turun dengan baju pelindung. Syukur segera menghampiri namun ia tiba-tiba pingsan dan saat matanya di buka sudah di rumah sakit.

Syukur sakit parah akibat tertular virus corona. 
Ia melihat ruangan tempatnya dirawat. Seorang dokter mendatanginya dengan baju pelindung. 
“Apakah kamu Syukur?” Tanya dokter itu lembut.
“Apa urusannya bertanya nama gue. Kan sudah terpampang di buku yang Loe pegang.” Ucapnya kasar berwajah sinis.

“Sa..sa..ya Iman. Adik abang” Ucapnya dengan nada serak, lalu penutup mulut yang dikenakannya terlihat basah seperti tersiram butiran air yang mulai menetes di bola matanya.
“ Abang ke mana aja selama ini. Ibu selalu teringat sama abang. Kami sudah putus asa untuk mencari.” Lanjtnya. Suaranya semakin terdengar serak dan ia membuka seluruh benda yang menutupi wajahnya. 

Melihat wajah dokter itu, Syukur menerawang seluruh parasnya sambil menyipitkan mata. Syukur tercengang dan matanya merah. Ia menganga, lalu kedua manusia itu dibanjiri air mata.