Oleh : Agustiyara, S.IP., MPA
Chairman FCA dan Peneliti di Jusuf Kalla School of Government (JKSG)
Menanggapi keadaan pencari suaka, ada 90an imigran Rohingya terdampar di Aceh Utara bukanlah yang pertama kalinya. Hal yang sama terjadi juga ada tahun 2018 silam imigran Rohingya terdampar di Aceh Timur. Walaupun sebelumnya sudah ada informasi dari Satgas 125 PPLN menyatakan akan ada 500 Imigran Rohingya Masuk Perairan Aceh. Pada dasarnya, Aceh, Indonesia tidak meratifikasi masalah pengungsi antarnegara, tetapi yang perlu dikawatirkan adalah meminalisir munculnya masalah baru, apalagi saat ini situasi pandemi Covid-19. Tentu harus menyiapkan penanganan yang tepat, termasuk upaya pencegahan seperti untuk tidak diarahkan ke daratan sebelum terpenuhinya prosedur kesehatan, dan pelayanan yang lainnya seperti kebutuhan logistik, obat-obatan dan tempat penampungan sementara yang dapat di lakukan pemerintah setempat.
Mengingat masyarakat Aceh memiliki rasa solidaritas begitu tinggi yang didasari oleh pertimbangan kemanusiaan terhadap penderitaan etnis Rohingya, tidak baik rasanya jika harus menolak terdamparnya para imigran yang masuk ke perairan Aceh, atau membiarkan puluhan orang yang sedang membutuhkan bantuan. Walaupun nantinya, tren kedatangan ini bisa jadi meningkat dikarenakan pengaturan dan ketentuan pengungsian tidak sepenuhnya otoritas pemerintah Aceh, juga harus melibatkan pemerintah pusat dalam isu hubungan politik antar negara, termasuk dalam menyelidiki penyebab terdamparnya imigran Rohingya.
Secara hubungan politik antara negara, dalam pustaka “pustakahpi.kemlu.go.id” menyatakan bahwa imigran Rohingya dikategorikan sebagai sebagai pengungsi. Pada prinsip “nonrefulment” yang menjadi pertimbangan hokum internasional, dimana negara-negara yang menjadi transit para pencari suaka tidak boleh untuk menolak dan mengembalikan pengungsi yang sedang terdampar ke negara asalanya, baik negara yang telah menjadi bagian Konvensi 1951 maupun tidak. Negara seperti Bangladesh, Indonesia, Malaysia, Singapura menjadi negara-negara tujuan pelarian dari etnis Rohingya, meskipun negara-negara ini bukan bagian Konvensi 1951 atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Bagian konvensi merupakan negara yang diminta untuk mempromosikan equity dan membangun perdamaian diantara kelompok etnis yang berbeda, termasuk negara yang rentan terhadap konflik etnis, kejahatan HAM, sehingga untuk dapat membuat penanganan yang dapat menghilangkan praktik diskriminasi dan rasisme.
Dalam kasus Rohingya, Etnis Rohingya adalah etnis minoritas di Myanmar dan mendapat perhatian serius pada diskriminasi terhadap mereka. Pemerintah Myanmar tidak memberi mereka status kewarganegaraan sehingga mereka tidak mendapatkan perlindungan nasional atas kekerasan apa pun bagi mereka. Tentu hal ini bukan masalah sederhana yang harus di hadapi pemerintah Aceh, Indonesia, mengingat harus adanya bentuk penanganan tidak hanya dalam sekala nasional tapi juga secara global terhadap isu pelanggaran HAM, Rasisme hingga identitas kewarganegaraan. Jika dilihat dari sisi teoritis, dalam isu kewarganegaraan, Kewarganegaraan adalah hak asasi manusia dan landasan identitas, martabat, keadilan, perdamaian, dan keamanan. Menjadi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan berarti tidak memiliki perlindungan hukum atau hak untuk berpartisipasi dalam mendapat akses yang memadai serta kerentanan terhadap identitas sosial. Sehingga, dalam hal ini, Pemerintah Indonesia dan UNHCR harus bekerja lebih kuat dalam penanganan pengungsian luar negeri, mengingat Indonesia telah melakukan penandatanganan kerjasama dengan UNHCR pada tahun 2016 silam. Singga kebijakan dan solusi jangka Panjang layak untuk di formulasikan dengan melibat semua stakeholder yang terlibat untuk membangun kerjasama penanganan atau pengungsian di Aceh, Indonesia.