Oleh : Zulfata
Aceh dikenal dengan serambi Mekah, kaya sumber daya alam, kaya khazanah konflik dan bencana alam. Tidak terhenti di situ, Aceh juga disebut sebagai tanahnya para aulia, daerah tempatnya paru-paru dunia.
Singkatnya keberadaan Aceh secara territorial dan historis sungguh strategis. Potensi laut-kemaritiman hingga pertambangan mulai dari minyak bumi, emas, biji besi, sampai kerikir dan pasir, bahkan perkayuan dan rempah-rempah. Memahami nalar lanjutan dari singgungan deskripsi potensi di atas sungguh kecil kemungkinan Aceh tidak dapat melaju lebih cepat dibandingkang dengan daerah lainnya di Indonesia.
Disamping itu pula, Aceh pernah melakoni berbagai pergerakan yang melibatkan banyak negara dalam agenda perdamaian dari perseteruan ekonomi politik. Perdamaian (MoU Helsinki) menjadi kata kunci bagi Aceh untuk bangkit kembali. Sejalan dengan itu, modernisasi perpolitikan di Aceh melaju kencang, aktor-aktor politik baik yang telah matang maupun setengah matang atau tak layak matang dipaksa masak untuk disajikan di prasmanan perpolitikan Indonesia (lokal-nasional).
Hilirisasi politik melaju kencang, masyarakat Aceh pun ikut terseret dari arus politik yang kencang tersebut. Sehingga kini perpolitikan Aceh menjadikan arus tersebut bukannya dapat menciptakan tenaga listrik, melainkan terjadinya konslet politik di antara sesama. Akibatnya ada yang terbakar hangus dan ada pula tersengat cedera hingga mati setengah badan.
Peralihan dari masa perang-konflik menuju perdamaian bukannya menjadikan Aceh semakin kuat dan otonom, bukannya menjadi tuan di daerahnya sendiri, bukannya menjadi lokomotif di relnya sendiri. Tetapi Aceh berubah apa yang tidak disangka bahkan tak direncakan oleh pengikut-pengikut pejuang Aceh yang katanya sangat heroik dan militan itu. Kini Aceh tak ada ubahnya dengan etalase. Oh tidak, kata etalase terlalu halus untuk Aceh, sebab Aceh adalah daerah keras, yang cocok untuk sebutan Aceh hari ini adalah pasar, pasar di mana semuanya ada dan dapat diperjual belikan asal sesuai dengan ketentuan harga yang disepakati oleh bandar politik Aceh melalui sales-sales politik Aceh yang berhasil mengelabui masyarakat.
Bagi Aceh saat ini masih jauh panggang dari api terkait penerapan pasal 33 UUD 1945. Demikiannya dengan kekayaan alam, fakir miskin, janda, anak yatim dijadikan sebagai pintu memperkaya diri para penguasa. Aceh memang kaya bahkan serba kaya, meski terus dijual, ia tidak akan pernah habis, termasuk menjual tanah masyarakat ke korporat, termasuk pula mengambil tanah daerah untuk aset para pejabat.
Layaknya pasar, tentunya ada masa di mana transaksi itu dilakukan. Beberapa transaksi menjual Aceh dapat dipahami melalui proses Pemilu/Pilkada hingga penentuan siapa pimpinan legislatif/eksekutif beserta para pembantunya. Keberadaan bandar-bandar politik tidak sulit untuk ditemukan, buka-bukaan untuk memenangkan posisi gubernur, bupati/wali kota hingga pimpinan DPRA mensyarakatkan harus mampu bekerja santun dengan kepentingan bandar-bandar politik tersebut.
Pada kondisi ini pula tidak keliru rasanya sebutan Aceh yang katanya serambi Mekah harus jujur diganti menjadi serambi pasar yang semua dapat diobral dan didagangkan. Suara didaganggkan, pemilihan pimpinan lintas instansi pemerintah pun tak luput dari dagangan. Sungguh Aceh memang mahir berdagang. Sanking mahirnya, tanah, agama, “ulama”, laut, sejarah, orang mati dapat menjadi barang dagangan. Sehingga untuk mendapat kekuasaan harus mahir berdagang.
Tak perlu marah saat membaca tulisan ini, yang perlu dikedepankan adalah nurani dan kejujuran dalam memahami Aceh masa kini. Daerahnya tidak begitu luas, namun kekayaan alamnya hampir diisi oleh seluruh sisi daeranya. Potensi pertanian, perkebunan, perminyakan, pariwisata, perikanan bahkan perindustrian. Aceh memang kaya, tapi miskin dan akan terus dimiskinkan, oleh siapa? Oleh pejabatnya sendiri. Aceh memang daerah bersayariah tetapi hipokrit. Aceh memang negeri bersejarah, tetapi selalu jatuh pada lubang yang sama. Situasi dan konsisi Aceh seperti ini memang mendekati makna teori yang mengatakan tidak ada kemanjuan bagi daerah yang dilanda konflik selama puluhan tahun, dan tidak ada kesejahteraan bagi daerah yang kaya potensi alamnya. Teori ini memang teori klasik, tetapi patut dicurigai dalam tatakelola Aceh hari ini.
Memang ada jalan yang harus ditempuh untuk tidak menjadikan Aceh yang akan terus-terus dijual, jalannya adalah menghadirkan pemimpin yang kuat bersama kehendak rakyat. Tetapi jalan ini masih berbentuk retorika dan harapan. Elemen-elemen masyarakat Aceh belum begitu menguat untuk menghadirkan pemimpin yang kuat. Sebab jika tidak ada uang lebih maka tidak ada yang dapat meraih tampuk pimpinan. Kondisi masyarakat Aceh sedemikian terbentuk bukan tanpa sebab, salah-satu sebabnya adalah sudah kenyang ditipu pemimpinnya sendiri. Katanya usai berjuang di hutan akan mensejahterakan masyarakat, eh rupanya saat berjuang di parlemen dan berjuang melalui tanda tangan rupanya mengkhianati masyarakat.
Maka dari itu jangan heran jika ada gubernur Aceh beserta segerombolan DPRA melakukan kunjungan kerja ke luar negeri dengan menghabiskan anggaran Aceh yang tidak sedikit. Demikian pula dalam hal penggunaan alokasi anggaran Aceh, jangan terlalu berharap untuk mendongkrak perekonomian masyarakat menengah ke bawah di Aceh. Catatan ini secara tidak langsung ingin mengatakan kepada masyakat Aceh bahwa masyarakat harus bersyukur dan banyak bersabar. Bersykur karena masih hidup meskipun terus dimiskinkan oleh efek penjualan Aceh oleh pejabatnya, dan banyak bersabar sembari terus berusaha untuk memutuskan mata rantai Aceh yang terus diobral-obral di hadapan pemerintah pusat maupun dunia global.
Lantas di mana peran partai politik di Aceh, baik partai lokal maupun nasional dalam hal Aceh yang dijual? Terus di mana keberadaan Perguruan Tinggi memeberikan solusi nyata terkait problem keacehaan ini sementara pemilihan rektor harus sungkem terhadap pimpinan partai politik? Kemudian bagaimana pula dayah/pesantren mampu independen dari intervensi politik pemerintah melalui penganggaran badan dayah di Aceh? Di mana pula peran peguyuban, mahasiswa/OKP memberikan peran kontrolnya terhadap pemerintah di saat tren generasi muda untuk menjadi aktor oligarki semakin meningkat? Belum lagi soal dana hibah?
Meski Aceh masih di atas rel untuk selalu dijual-diobral atau dalam bahasa internasionalnya Aceh for Sale sampai kapan akan menjadi ilusi dan cerita dongeng bagi Aceh hari ini dan kemudian hari. Meski harapan Aceh lebih baik harus tetap menjadi mimpi kolektif bagi masyarakat Aceh, sikap kemandirian dan egaliter sebagian mesyarakat harus terus disemai dan dibentuk. Pada sebagian masyarakat inilah nantinya akan menjadi juru selamat untuk menyingkirkan bos-bos/bandar politik beserta mandor dan seluruh buruh “perusahaan” yang menjual Aceh demi melanggengkan kekuasaannya. Sebab kekuasaan di Aceh hari ini bukan untuk menuntaskan janji-janji yang disodorkan ke masyarakat, tetapi untuk menumpuk kekayaan pribadi dan mitra bisnis. Kekuasaan di Aceh merawat bisnisnya pejabat.
Untuk itu tidak berlebihan rasanya mengatakan bahwa tidak ada lagi golongan pejuang Aceh hari ini, yang ada adalah golongan menjual Aceh. Praktik liberalisasi politik di Aceh telah nyata-nyatanya kita tonton dan dipertontonkan hari ini. Agar dapat diperbaiki, tentunnya tidak dengan waktu yang singkat, butuh dirajutnya rasa saling percaya antar masyarakat, antar tokoh, antar generasi muda yang benar-benar serius dan berkomitmen merebut kekuasaan Aceh dari tangan-tangan bandar politik yang selalu membelai dan membisik di telinga Gubernur Aceh dan DPRA.