Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kerancuan dalam Kerancuan Pendukung SE Menag

Rabu, 09 Maret 2022 | Maret 09, 2022 WIB Last Updated 2022-03-09T12:52:14Z



Oleh Zulfata, M,Ag
Penulis buku “Agama & Politik di Aceh” 13 Jilid

Menarik memahami tulisan Ketua PW GP Ansor Aceh, Azwar A. Gani dengan judul “Surat Edaran Menteri Agama dan Gagal Pahamnya Para Pembenci” (Serambi Indonesia, 01/01/2022). Melalui tulisan tersebut tersirat seolah-olah yang menolak Surat Edaran Menteri Agama (SE Menag) adalalah pembenci, seolah-olah yang menolak SE Menag adalah gagal paham. Azwar A. Gani di awal tulisannya menyikapi fenomena pro dan kontra dengan mengajak publik untuk mampu menerima informasi secara berimbang dan cerdas menyaring berbagai informasi (tabayyun), kemudian tulisan Azwar A. Gani juga secara tidak langsung menggiring adanya gerakan buzzers yang menolak SE, kemudian ada gejala kesesatan berfikir para penolak SE Menag, kemudian Azwar A. Gani di akhir tulisannya juga mengajak publik untuk menyikapi SE Menag secara objektif.

Penulis mengapresiasi tulisan Azwar A. Gani yang menyampaikan gagasannya melalui tulisan di ruang publik. Di balik pandangan itu pula muncul beberapa pertanyaan mendasar bahwa apakah Azwar A. Gani sebagai Ketua PW GP Ansor Aceh telah benar-benar objektif melahirkan pandangannya di tengah publik telah paham terkait relasi politik GP Ansor dengan Menag Yaqut Cholil Qoumas? Kemudian apakah penolak SE dapat disamakan dengan buzzers pembenci? Apakah Azwar A. Gani lupa bahwa di negari ini kita diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat dengan rasional? Sudahkah Azwar A. Gani sebagai Ketua PW GP Ansor Aceh sudah benar-benar tabayyun dalam berpendapat di tengah posisi Aceh memiliki kekhususan dan kearifan dalam menerapkan syiar agama? Seterusnya sudahkah benar-benar sebagai Ketua PW GP Ansor Aceh, Azwar A. Gani terhindar dari kesesasatan berfikir (logica fallacy) seperti yang disarankannya di bagian akhir tulisannya?

Untuk menganalisa pemikiran dan pola komunikasi publik yang disampaikan Azwar A. Gani sebagai Ketua PW GP Ansor Aceh penting untuk sama-sama kita mengurai duduk perkara terkait SE Menag Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Alasan bertambahnya populasi penduduk, kebisingan dan toleransi sering dijadikan alasan para pendukung SE Menag, padahal pada posisi sedemikian secara tidak sadar para pendukung SE Menag dapat saja mengalami kekosongan berfikir karena khusus di Aceh SE Menag tersebut dipandang tidaklah efektif. Selain di Aceh memiliki kekhususan baik dalam bentuk syiar-kultural, juga di Aceh masyarakat masih merasa senang dan bahagia ketika masih ada suara azan lantang terdengar melalui pengeras suara (TOA) di kampung halaman mereka.

Sehingga untuk daerah Aceh dianggap SE Menag tersebut dipandang sebagai kebijakan melampaui logika syiar beragama bagi masyarakat Aceh. Ditambah lagi kondisi Aceh saat ini toleransi beragamnya masih kuat, kebisingan akibat suara azan tidak dianggap mengganggu ketentraman umat beragama. Lantas jika ada sekelompok masyarakat Aceh menolak SE Menag dengan alasan kearifan lokal dan kenyamanan dalam syiar beragama di Aceh dapat digolongkan sebagai pembenci? Atas pertanyaan inilah secara tidak langsung kita menemukan ada kerancuan dalam kerancuan para pendukung SE Menag. Satu di antara kerancuan tersebut dapat dilihat dari ketidakmampuan para pendukung SE Menag dalam memahami sisi historis syiar Islam, geografis dan kultur masayarakat Aceh, terlebih hendak memasuki bulan suci Ramadhan. Sungguh hari di Aceh belum ada hasil penelitian terkait toleransi di Aceh, terutama di kawasan Banda Aceh bahwa penganut agama tertentu merasa terganggu akibat suara azan di atas aturan teknis yang disebutkan dalam SE Menag.

Yang lebih menarik lagi dari tulisan Azwar A. Gani dari banyaknya argumentasi layaknya buzzers bersikap adalah mengatakan “Dari sini kita dituntut untuk berbaik sangka di atas kecurigaan yang tidak mendasar”, padahal di waktu yang bersamaan Azwar A. Gani menggiring bahkan menampakkan dirinya tidak memiliki pandangan berbaik sangka kepada para penolak SE Menag. Melalui berbagai tulisan Azwar A. Gani ini pula kita cenderung menemukan ada praktik buzzers teriak buzzers, ada praktik mendorong publik berbaik sangka dengan cara berburuk sangka. Hadirnya para penulis, pemikir, pengamat yang sedemikian bukanlah suatu keanehan di masa era pascakebenaran (Post Truth) dimana kesalahan dapat dianggap benar, kebenaran dapat dianggap salah, emosi dan kepentingan secara sepihak sangat menentukan seseorang dalam menemukan kebeneran. Di era post truth ini pula objektifitas menjadi suatu yang sulit ditemukan, terlebih dalam soal dukung mendukung menjelang Pemilu.

Kalaulah Azwar A. Gani juga mengutarakan kontroversial SE Menag dari pola sebab akibat mendukung atau penolak (bukan pembenci) berawal dari keteledoran pejabat publik dalam berkomunikasi di ruang publik. Sehingga pada saat berkomunikasi tidak menimbulkan pemicu kontroversial di tengah masyarakat. Sejatinya Azwar A. Gani juga berusaha untuk menguraikan terkait mengapa harus mencontohkan suara Anjing dengan suara TOA, meskipun Menag tidak menyamakan suara azan dengan Anjing, tanpa disadari pada posisi sedemikian Menag dapat dianggap kurang bijaksana dalam berkomunikasi di ruang publik. Sehingga keonaran terbitnya SE Menag ini bukanlah akibat dari para penolak yang rasional dan mendasar, melainkan akibat dari Menag beserta tim buzzers-nya yang sedang berusaha membela dengan berlogika aneh sembari menolak prinsip logica fallacy.

Hadirnya tulisan ini bukanlah menghadang tulisan Azwar A. Gani sebagai Ketua PW GP Ansor Aceh, melainkan upaya untuk menambah sudut pandang publik, terutama masyarakat Aceh agar dapat berfikir tabayyun dalam memahami bagaimana landasan pikir dan sikap para pendukung dan penolak SE Menag. Sehingga dengan tulisan ini ruang penalaran publik dapat hidup dan terbuka, tidak mudah mengklaim bahwa yang menolak adalah pembenci atau yang pendukung adalah yang paling paham.

Pada posisi ini pula penulis percaya bahwa Azwar A. Gani Ketua PW GP Ansor Aceh melalui kepemimpinanannya (komando) dapat menjaga identitas Aceh sebagai daerah Serambi Mekah di tengah badai kuasa oligarki yang berwajah agama mulai menguat di Aceh. Untuk itu, marilah semua kita, terutama masyarakat Aceh, apapun latar organisasinya, apakah itu NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya untuk bersama-sama berfikir secara jernih, bertindak tidak mengikut prinsip Asal Bapak Senang (ABS), tetapi berusaha menampilkan keteladanan bersikap dan berani mengatakan yang benar tetap benar, yang salah tetap salah, meskipun itu adalah atasan kita. Sebab masyarakat Aceh hari ini telah paham menilai bagaimana arah dan motif politik setiap organisasi yang bergerak di Aceh. Sehinnga praktik manipulasi kebenaran atas toleransi umat beragama demi kepentingan sekelompok elite harus dihapuskan di permukaan bumi Indonesia, terutama di Aceh, jangan sempat gelar Aceh Serambi Mekah menjadi Aceh Serambi Serakah. Hanya kepada Allah Swt kita meminta pertolongan.