Oleh Zulfata
Penulis buku “Bubarkan HMI?”
Tahun 90-an, generasi muda waktu itu cukup akrab mendengar dengan soal jurus mabuk, jurus atau seni berkelahi sambil meminum air arak atau hal yang dapat memabukkan. Dalam lakon drama itu dikemas seolah-olah musuh dapat lumpuh melalui jurus mabuk. Memang sosok yang menggunakan tenaga jurus mabuk tampak berantakan, kadang membuat musuh geram dengan perilakunya yang tak senonoh, namun sosok tersebut mengalami menang banyak. Meskipun sosok yang menggunakan jurus mabuk tersebut tampak konyol, tetapi siapapun yang melawannya tidak akan menang. Jurus mabuk, bukan dipraktekkan tanpa latihan, bukan tanpa perjuangan, dan bukan pula dapat diaplikasikan oleh semua orang.
Dalam kisah negeri oleng, sosok yang menggunakan jurus mabuk tersebut bernama Menag, panggilan dari nama lengkap Mengolok-olok Agama (Menag). Menag bukanlah sosok yang menggunakan jurus mabuknya tanpa pertimbangan, ia sungguh cakap dalam mempraktekkan jurus mabuknya. Dampak jurus mabuk Menag menggemparkan umat mayoritas di negeri oleng. Kontrovresialnya menjadi-jadi usai ia mendapat jabatan strategis di negeri oleng.
Jurus mabuknya telah mampu mengotak-atik (menggeser) hari kebesaran agama tertentu, mengeluarkan surat edaran yang hampir mengatur persoalan bagaimana cara membuat anak dan melahirkan anak, hingga membandingkan praktik yang dianggap ibadah dalam berbudaya seperti seekor hewan. Tak ada yang menyangkal, Menag bukanlah orang sembarangan orang. Ia sosok yang paling ditonjolkan dalam membangun keadaan yang penuh kenyamanan umat beragama dengan kebijakan-kebijakan yang cenderung mengundang kebencian, membuka ruang pertebatan religi, memancing ujaran kebencian publik. Jurus mabuk Menag memang top.
Sebelum Menag dipilih sebagai aktor strategis di negeri oleng tersebut, sederet kebijakan jurus mabuk juga dipraktekkan, mulai menciptakan pasar gelap rektor, menyulap anggaran kitab suci. Sayangnya para senior Menag dapat ditangkap dan dijebolkan ke dalam penjaran Keluarga Pecinta Istri (KPK). Beda dengan Menag, kini kariernya sedang berada di puncak, ia juga merasa berada di langit, seolah-olah segala isi alam raya ini, kekuatan pengendali angin, kekuatan pengendali bumi, kekuatan pengendali air, kekuatan pengendali api, hingga kekuatan opung dan nenek sakti seolah-olah meyatu dalam jurus mabuknya.
Kenyataannya memang begitu, jurus mabuk Menag melebihi jurus yang dimiliki oleh Avatar. Jika Avatar mampu mengendalikan air, api dan angin, Menag cukup mengendalikan speaker/TOA di tempat-tempat ibadah. Gemparnya bukan main, ada yang melaporkannya, ada pula yang menghujatnya, mulai dari tokoh adat, agamawan, aktivis hingga politisi pun memanfaatkan bias jurus mabuk Menag tersebut.
Disadari atau tidak, jurus mabuk Menag hampir menghilangkan kontroversial disuatu tempat di negeri leng yang disebut Wadas. Nama daerah kepanjangan dari warga yang ditindas (Wadas). Di Wadas ada aksi penangkapan yang berujung kriminalias, kini isu Wadas hampir tenggelam dengan pengaturan pengeras suara dari pusat negeri oleng yang dimainkan oleh Menag. Sungguh jurus Menag mempengaruhi kebijakan dan isu publik strategis lainnya, baik itu soal pemindahan Ibu Kota Negeri Oleng (IKNO), maupun soal pasangan calon presiden dan wakil presiden negeri oleng.
Dengan kemampuan Menag, senior jabatannya dulu digantikan karena jurus mabuk seniornya tak terlalu menggemparkan negeri oleng, jika senior Menag waktu lalu hanya heboh soal memakai cadar sambil mengumandangkan toleransi, beda halnya dengan Menag yang mampu mengelola urusan soal celeng tempat ibadah dan pengeras suara sembari menguatkan moderasi berwacana (bukan moderasi beragama).
Bagi Menag, moderasi berwacana adalah praktik jalan tengah untuk mematikan kearifan lokal serta melemahkan militansi identitas keagamaan pengikut agama tertentu. Moderasi berencana telah mampu meninabobokkan perguruan tinggi agama mayoritas (PTAM) di negeri oleng . Hasilnya perguruan tinggi tersebut tak berkutik, mereka cukup digiring saja untuk mengeksekusi riset terkait moderasi berwacana. Masa bodoh dengan kejujuran riset dan efisiensi kebutuhan masyarakat berbasis riset yang bermartabat. Perguruan tinggi dilarang protes Menag meskipun menang kebijakan Menag irasional, sebab (PTAM) masa kini telah paham betul bahwa kemana arah jurus mabuk Menag akan berlabuh.
Melalui jurus mabuk Menag pula PTAM jinak, begitu pula guru besar, dosen dan mahasiswa di dalamnya yang juga ikut-ikut belajar jurus mabuk secara diam-diam. Mereka diam adalah salah-salah satu wujud mempraktikkan jurus mabuk tersebut. Menag cukup lincah, bukan saja PTAM yang dijinakkan, lembaga Pendidikan Kultural Berbasis Agama (PKBA) juga telah digiringnya melalui pengaturan kurikulum dan dana abadi yang dialokasikan.
Kini, presiden negeri oleng seperti masih menikmati orkestra jurus mabuk Menag. Jika ditelusuri terkait posisi pembantu presiden negeri oleng, lumayan juga julmahnya dalam mempraktikan jurus mabuk, di antaranya menggunakan jurus mabuk dengan menggarong benih hewan laut, ada pula yang menyunat Sembako untuk masyarakat masa covid 19, ada yang kerjanya marah-marah di media sosial (medsos), ada pula pemain minyak goring hingga langka, kemudian ada pula yang menjadi penceramah dengan bertemakan akhlak seiring salah satu usaha negeri oleng mengalami praktik penjarahan besar-besaran.
Pada posisi ini pembaca jangan merasa risih atau khawatir. Tetaplah orimis. Ini sekedar kisah negeri oleng, bukan kisah nyata, apalagi menyangka kondisi ini adalah Indonesia tercinta. Berbeda dengan negeri oleng, Indonesia memiliki menteri yang berakhlak, moderasi dalam beragama dan tidak ada yang korupsi terkait bansos, tidak pula ada yang mengadu domba kaum agamawan. Indonesia jauh dari praktik korupsi, terlebih masa Joko Widodo-Maaruf Amin yang kinerjanya sangat baik, hutang negara tidak begitu menyusahkan bagi pemerintah.
Di masa Joko Widodo-Maaruf Amin pula tidak ada suara mahasiswa yang dibungkam, tidak ada demonstran yang ditembak, hingga tidak ada pula aturan yang diciptakan secara ugal-ugalan. Hal ini dapat dipahami melaui keberadaan undang-undang sapu jagat (Omnibus Law) yang memang cocok untuk agenda pembangunan dan investasi guna membuka lapangan kerja di Indonesia. Demikian pula soal Jaminan Hari Tua (JHT) hingga dapat cair umur 56 tahun. Indonesia di masa Joko Widodo-Maaruf Amin penuh dengan kinerja prestasi.
Kembali ke kisah negeri oleng, Menag terus berjuang, meskipun sekelompok publik menganggapnya salah minum obat. Padahal Menag bukan salah minum obat, tetapi memang sedang gembira-gembiranya menggunakan jurus mabuk untuk mengundang partisipasi publik untuk saling sindir dan saling serang di negeri oleng, Oleh karena itu, sebagai rakyat kecil jangan terlalu berburuk sangka terhadap Menag. Sebab misteri perilaku Menag sedemikian belum siapapun yang mampu menjawabnya, termasuk presiden negeri olengpun belum mengeluarkan pernyataan yang lugas terkait perilaku Menag tersebut, apakah benar Menag salah minum obat atau sengaja diperintahkan untuk menggunakan jurus mabuk, atau bisa jadi pula Menag memang benar benar tak waras lagi. Demikianlah kisah Jurus mabuk Menag yang masih menjadi misteri di negeri oleng yang penuh ilusi dan fiksi.