Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

HMI Tenggelam dalam Syarat

Sabtu, 27 November 2021 | November 27, 2021 WIB Last Updated 2021-11-27T06:26:03Z



Oleh Zulfata

Cak Nur pernah bergagasan bahwa suatu pergerakan jangan sempat tenggelam dalam syarat, belum sampai ke rukun, justru larut dalam syarat. Filosofi kaedah fiqih yang dilontarkan Cak Nur tersebut mengandung makna bahwa ada suatu upaya yang hendak melaksanakan sesuatu mencapai tujuan, justru lebih awal tenggelam sebelum melaksanakan sesuatu dalam mecapai tujuan. Tanpa mengurai bagaimana posisi syarat dan rukun dalam sebuah kaedah fiqih atau ushul fiqih. Menarik untuk mencermati posisi HMI dalam bingkai pemikiran Cak Nur terkait “tenggelam dalam syarat”.

Argumentasi awalnya bahwa benarkah HMI hari ini tenggelam dalam syarat? Atau sudah sampai ke tahapan rukun namun tenggelam dalam rukun, sehingga tak jelas arah tujuannya? Atau HMI hari ini sudah tidak mengetahui syarat dan rukunnya sendiri? Sebelum menjawab tiga pertanyaan di atas, baiknya penulis menguraikan apa syarat untuk ber-HMI? dan bagai pada tahapan rukun dalam ber-HMI? Sehingga keberadaan HMI benar-benar sedang berada pada jalan menuju misi dan visinya yang telah digariskan oleh para pendiri HMI.

Syarat untuk menjadi kader HMI di antaranya adalah beragama Islam dan berstatus mahasiswa aktif dalam ketentuan tertentu. Selanjutnya disebut “rukun” ber-HMI adalah mengikuti proses training dasar yang disebut latihan kader satu atau LK-1 (basic training) dan kemudian lulus dari training. Tanpa lulus training LK-1, sungguh mustahil seseorang telah menjalani rukun HMI, sehingga meskipun seseorang mengantongi syarat, namun tidak melaksanakan rukun, maka keabsahan HMI secara formalnya tidak dapat diakui.

Training LK-1 menjadi pintu masuk seseorang untuk mengenal tanggung jawab dasar dalam ber-HMI. Pada training dasar ini diberikan pelatihan dan godokan agar masing-masing peserta sadar akan dirinya sebagai manusia yang berkepribadian muslim, sehingga kader level LK-1 mampu menemukan karakter kemuslimannya. Pada konteks ini, menguaraikan jenjang training formal di HMI bukanlah sepadan maknanya dengan rukun dalam kaedah fiqih, hanya saja kaedah fiqih disini dijadikan sebagai kerangka menjelaskan posisi efektif atau tidaknya sebuah perbuatan atau pergerakan.

Jauh sebelum formalitas jenjang training (LK-1, LK-2, LK-3, dan lain sebagainya) ini dibentuk, proses ber-HMI hanya dapat diakui ketika subjek yang ber-HMI terlibat aktif dalam agenda-agenda pergerakan HMI, baik dalam hal memperjuangkan visi keislaman maupun visi keindonesiaan. Turunan yang multisektor terkait makna visi keislaman dan keindonesiaan inilah yang menjadikan pergerakan HMI harus mampu memahami situasi dan kodisi bangsa dan negara. Artinya, pada posisi ini jelas bahwa HMI bukanlah Himpunan Mencari Istri (HMI), HMI bukan Himpunan Mengatasnamakan Islam. Bukan pula Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), dan secara tegas bukan Himpunan Mahasiswa Iblis (HMI). Meskipun demikian, masih saja saat ini kita mudah menemukan praktik HMI sesuai arti dari yang dideret di atas.

Jika pada kajian sebelumnya menegaskan bahwa yang tidak sedang ber-HMI di atas garis pendulum dan bantalan ideologi HMI, maka itu adalah HMI-HMI-an. Pada kajian saat ini secara tidak langsung ingin dipertegas bahwa ada yang mengaku sedang ber-HMI, namun tenggelam dalam syarat. Sehingga yang tenggelam dalam syarat ini juga bagian dari rumpun HMI-HMI-an. Bagaimanakah praksis HMI tenggelam dalam syarat tersebut? Jawabannya dapat ditemukan sebagai berikut.

Pertama. Merasa ber-HMI tetapi larut dalam konflik Internal. Dalam konteks ini penulis tidak ingin menguraikan bagaimana konflik internal di HMI, penulis cukup memberikan kata kunci untuk mencermati konflik internal tersebut diantaranya adalah soal dualisme, soal menghalalkan segala cara dalam mendapat jabatan struktural, hingga soal ego sentris dan perang saudara dengan kebiasaan lempar kursi atau adu fisik, mulai dari cabang hingga pengurus besar. Bagaimana dengan komisariat? Silakan pembaca sambung sendiri penalarannya.

Kedua. Menyadari ber-HMI tetapi tenggelam dalam dinamika politik jabatan struktural. Bagian ini menjelaskan tentang posisi yang sedang berdinamika di HMI sebagai tahapan penemuan jati diri, sehingga dinamika meraih jabatan struktural di HMI yang sejatinya sebagai jalan menuju proses pendewasaan politik, justru sebaliknya yang terjadi, semakin menuju umur tua, semakin berpolitik secara kanak-kanak. Jika tidak percaya, coba perhatikan yang umurnya sudah tua-tua, tetapi masih saja ingin mencampuri proses dinamika politik dinda-dindanya, sungguh praksis ini menandakan bahwa politik di HMI seperti lirik lagu, “Terlalu indah dilupakan, terlalu sedih dikenangkan”- terlalu sulit untuk ditinggalkan… andai kau datang kembali… Jawaban apa yang kau beri… untuk kita kembali lagi, HMI oh HMI. hahahaha

Ketiga. Merasa cinta HMI, tetapi lincah menipu sana-sini, klaim sana-sini. Lain lagi persoalan klaim-sana dan klaim sini dalam dunia nyata di HMI hari ini. Hal ini dapat dilihat misalnya pada menjelang tahapan konstelasi politik internal HMI, baik di level cabang hingga pengurus besar. Banyak klaim bertebaran dan terus dimainkan tanpa merasa malu pada diri sendiri. Mengumbar janji agar yang dipersuasif tergiur, berbagai tawaran dilakukan, ada yang disektor menjanjikan kuliah Strata Dua (S-2) dan S-3 akan digratiskan jika memilih sidia (yang akan dimenangkan), ada pula yang ditawarkan pekerjaan, ada yang ditawarkan sejumlah uang dan sebagainya. Sudahlah, penulis tak ingin menguraikan lanjut terkait ini, lanjutannya penulis serahkan pada pembaca untuk menemukan sesi selanjutnya terkait godaan menjelang konstelasi politik HMI hari ini.

Keempat. Merasa sebagai penjaga HMI, tetapi merawat dan membenih praktik koruptif sesama yang ber-HMI. Konteks ini masih seputar potret silaturahmi di HMI, melalui konsep silaturahmi, meskipun konsolidasi koruptif dibangun didalamnya, para yang merasa ber-HMI terus melakukan penjaringan di setiap kader untuk lincah memainkan atau melatih kemampuan koruptifnya, baik pada saat berproses dalam konstelasi politik di internal HMI maupun di luar HMI.

Kelima. Merasa sedang ingin berproses di HMI, tetapi malas berliterasi dan inginnya ekpres dalam mencapai hasil. Penjelasan ini secara sederhananya dapat dilihat dari niat dan daya juang yang mengikuti jenjang traning pascalatihan kader satu (LK-1). Sebut saja bagi yang mengikuti LK-2, LK-3, SC, maupun yang sudah menyelesaikan semua jenjang training formal tersebut. Tidak jarang ditemukan yang merasa kader HMI pascatraining dasar di HMI bahwa dirinya sudah merasa cerdas, sudah merasa hebat, sehingga tak perlu lagi membaca dan terus belajar. Anehnya dengan sadar pula enggan mewariskan tradisi intelektual HMI (baca tradisi intelektual HMI). Padahal jenjang training bukanlah tujuan, melainkan itu sarana atau jalan untuk meningkatkan kualitas diri dalam memperkuat arah kekuatan moral di HMI. Untuk itu, mari dijawab soal quo vadis training formal di HMI?

Keenam. Ingin membenah HMI tetapi masih saja mengikuti kader HMI-HMI-an yang telah sukses menjadi sosok oligarki yang menduduk jabatan strategis di pemerintah. Point ini tidak perlu diuraikan terlalu rinci, hanya saja pembaca dapat menalar sendiri bagaimana posisi yang merasa kader HMI yang sampai detik ini masih ingin melanjutkan tradisi-trasisi diplomasi “jual diri” menggadaikan nama besar HMI kepada penguasa untuk menadapat jabatan strategis pemerintah. Yang pada akhirnya sosok yang dikagumi justru bukan menjadikan kepemimpinannya menyelamatkan negara dari sektor kekuasaan, melainkan ikut merusak negara melalui regenerasi yang tak ubahnya dengan ular, suka mengeluarkan lidahnya dan kemudian melilit dan memangsa siapapun saat ia sudah lapar.

Ketujuh. Mengikuti training di HMI hanya sekedar menambah jenjang training formal di HMI. Potret ini dapat dipahami bagi yang merasa kader dalam mengikuti jenjang training namun enggan mempraktikkan ilmu pengetahuan pada saat hendak masuk training hingga selesai training. Bagi yang sebelum masuk training, yang merasa kader HMI dengan bangga untuk tidak memantaskan dirinya sebelum masuk untuk menempa diri di dalam training. Sehingga peserta training LK-2 misalnya hanya bermodalkan nekad, olah-olah, setor wajah sedih dan banyak manipulasi dirinya di hadapan para penguji (instuktur, bukan instruktur-instruktur-an). Demikian pula yang telah mengikuti jenjang trainging lanjutan di HMI, masih adanya dijadikan untuk ajang gagah-gagahan, meraih prediket senioritas, merasa lebih paham. Padahal, sempurna apapun jenjang trainingnya di HMI, tetapi tidak berusaha menjadi manusia yang pembelajar, maka semua itu adalah proses penipuan diri yang sesungguhnya di HMI, dengan tidak menyebutnya sebagai senior yang konyol di HMI.

Kedelapan. Berproses di HMI namun tak mengetahui arah perjuangan HMI berdasarkan historisitasnya. Bagian ini adalah rentang penyadaran bagi yang merasa kader HMI. Sejatinya yang menjadi cerminan arah perjuangan bukanlah pada sosok di HMI, melainkan komposisi posisi peran tokoh dalam rentang historisitas HMI. Artinya siapapun yang ber-HMI senantiasa tidak boleh buta sejarah perjuangan HMI atau mengapa HMI itu lahir di Indonesia. Sehingga melalui kesadaran historisitas HMI ini pula menjadikan setiap kader HMI mengetahui sejatinya proses dirinya dalam berdinamika di HMI dan di luar HMI hendak menuju ke arah mana. Kearah mengejar slot BUMN kah? Atau menyamankan diri di ujung kuku penguasa yang koruptif?

Kesembilan. Mencari keuntungan pribadi di atas keluarga besar HMI. Posisi ini menyinggung pihak-pihak yang menjadi penumpang gelap pada setiap agenda-agenda ke-HMI-an. Pihak-pihak penumpang gelap ini memilih perangkat dan modal akses terhadap setiap agenda-agenda ke-HMI-an, namun tujuannya bukan untuk memperkuat arah pergerakan HMI melalui visi HMI, melainkan untuk mudah mengendalikan HMI agar tidak fokus dan semakin tak terarah. Hasil dari ini misalnya HMI akan awet dengan keadaannya yang tenggelam dalam syarat.

Kesepuluh. Melumpuhkan kekuatan militansi HMI dengan mendekati HMI. pada bagian ini mengarah pada kehadiran era disrupsi dan era-ara lainnya yang terus diciptakan oleh sosolog atau pemikir sosial-politik, apakah itu namanya bonus demografi, post-modern, post-kolonial, post-ruth, 4.0, 5.0 dan perkembangan sera industry lanjutan sampai kiamat tiba. Artinya semua perubahan semakin cepat dihadapi oleh kader HMI. Seiring perubahan dan tantangan yang menghampiri tersebut senantiasa HMI digiring untuk melemahkan kekuatan militansinya, sehingga HMI dari yang dikenal militan dapat menjadi HMI perusahaan dan HMI pekerja penguasa, senantiasa selalu mengejar keuntungan, enggan pengorbanan dan kegotong-royongan. Untuk membuktikan kenyataan dari uraian ini, coba perhatikan adakah yang merasa kader HMI hari ini dengan sadar ia tak ingin terus militan, tetapi hanya ingin menikmati kenikmatan? Jika ada kenyataannya ada, maka apa sikap pembaca? Lebih baik HMI dibubarkan bukan?

Kesebelas. Masih banyak praksis dari HMI yang tenggelam dalam syarat, sehingga cukup sepuluh saja penulis uraikan dalam tulisan ini. Sebab tugas untuk menguraikan lebih lanjut masih dibuka kesempatan bagi yang merasa ber-HMI, apakah itu pembaca sendiri atau bukan pembaca tulisan ini, atau yang mengutuk kajian tulisan ini.

Melalui tulisan ini pula dapat ditarik pemahaman utuh bahwa saat banyak (jutaan) mahasiswa beragama Islam dikaderkan oleh HMI, namun pada akhirnya yang merasa kader HMI tersebut hanya sampai pada penguatan tenggelam dalam syarat, maka dapat dibayangkan bagaimana kontribusi HMI bagi agama, bangsa dan negara? Penalaran seperti ini sungguh harus dijawab secara jujur, meskipun kader HMI tak ingin menjawab, maka dunia, realitas-empiris akan menampakkan bukti dengan caranya sendiri. Baik itu dengan cara memperlihatkan sosok HMI yang sudah terbukti korupsi tetapi masih dijadikan isnpirasi untuk terus regenerasi koruptor, hingga tetap bersemangat untuk praqmatis dengan menipu sana-sini dalam berdiplomasi seola-olah ingin memperjuangkan HMI. Omong kosong, ingin memperjuangkan HMI atau ingin meperkaya diri dengan menciptakan berhala kepada kader HMI-HMI-an?

Sungguh yang merasa ber-HMI harus mengevaluasi sejauhhmana kemahiran praksis kemunafikan yang telah dikemas dalam bungkusan-bungkusan keislaman dan keindonesiaan. Jika benar bahwa HMI hari ini positif sebagai apa yang disebut Cak Nur “tenggelam dalam syarat” maka mengapa hari ini yang merasa dirinya sebagai kader HMI masih saja ragu atau enggan membubarkan HMI? atau jangan-jangan yang merasa ber-HMI hari ini adalah bukan HMI, melainkan HMI-HMI-an. Hanya kepada Allah Swt. kita berserah diri dan memohon petunjuk serta ampunan.

Penulis adalah provokator akal sehat yang sering masuk dalam training HMI