Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Politik Ancam

Selasa, 21 September 2021 | September 21, 2021 WIB Last Updated 2021-09-21T13:13:11Z



Oleh Zulfata

Ancam adalah satu kata (perilaku) yang digunakan untuk menekan seseorang atau suatu golongan dengan berbagai motif. Perilaku ancam-mengancam bukanlah perilaku baru di republik yang bernama Indonesia. Mulai zaman kolonial, orde lama (oral), orde baru (orba), reformasi hingga pascareformasi dikorupsi. Masig-masing rentang peralihan kekuasaan tersebut memiliki cerita dan sejarahnya sendiri terkait siapa, mengapa dan bagaimana ancaman itu dimainkan. Ancaman dapat digunakan oleh siaapun, ia pada dasarnya tidak memiliki tuan, namun saat ancaman bersentuhan dengan strategi politik, ancaman menjadi bola liar yang dikendalikan oleh tuan. Tuan selalu menjaga subjek yang diancam dengan salah satu dalihnya untuk menampakkan kekuatannya.

Misalnya, masa orla kolonial mengancam kaum pribumi ketika tidak mengikuti kebutuhan pasar politik mereka. Sehingga siapapun yang memberontak akan mendapat ancaman dari kaum kolonial, baik berupa pembunuhan atau penculikan keluarga. Lebih terkenal lagi pada masa orba, nama lain ancaman digeser pemaknaannya oleh sekelompok publik dengan sebutan “disekolahkan”. Makna ini menjadi ganda, siapapun yang disekolahkan mungkin dapat bertahan hidup, mungkin saja hilang tanpa jejak. Selanjutnya, kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) juga pemiliki keterkaitan erat dengan perilaku ancam.

Sepanjang sejarah politik Indonesia, trend ancam telah mengkristal hingga dijadikan sebagai seni berpolitik bagi kaum tertentu. Mengancam dapat menjadi dasar pembelaan. Ancam juga memiliki fungsi untuk menjaga kekuasaan, baik di bidang menjaga aset pasar, hingga pola menjaga stabilitas kekuasaan. Dalam bernegara, ancam bukan saja datang dari dalam negeri, tetapi juga berasal dari luar negeri. Hal ini dapat dilihat bagaimana presiden Soekarno pernah menyebut “ganyang Malaysia”.

Saat ancam menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari strategi politik, saat itu pula peluang berkembangnya politik kebinatangan terus berkembang. Sebab ancam-mengancam itu sejatinya hanya terjadi pada ekosistem hewan. Kerena hewan bertubuh manusia masih diberikan peluang dalam berpolitik, maka terjadilah politik ancam, dimana kemampuan mengancam dijadikan sebagai instrumen mencapai tujuan kekuasaan.

Ibarat praktik induk ayam, saat suatu hewan hendak mencuri telur yang dieraminya, atau ingin memangsa anak-anaknya, maka sang induk melakukan bentuk perlawanan dengan cara mengancam, melakukan perubahan gestur tubuhnya, hingga mengeluarkan suara yang berbeda seperti biasanya. Semua ini dilakukan oleh sang induk ayam karena ingin menakuti atau melawan siapa yang menggangu keluarganya.

Demikian pula praktik perpolitikan, misalnya apa yang dialami oleh pejuang HAM Indonesia Munir Said Thalib, ia mendapatkan ancaman-teror dari penguasa yang merasa terganggu dengan karier kemanusiaannya. Dari berbagai bentuk ancaman yang disematkan pada Munir, satu di antaranya adalah ancaman penangkapan oleh sekelompok militer pada masa itu. Demikian pula dengan tokoh-tokoh pembela masyarakat kecil seperti Wiji Thukul yang dianiaya karena menyuarakan keadilan bagi masyarakat akal rumput. Dua sosok ini masih hangat diruang publik bahwa peran militer waktu itu sungguh identik dengan praktik ancam demi membela kepentingan sekelompok elite yang kini masih dimisteriuskan.

Lain lagi kasus bom Molotov di berbagai lembaga bantuan hukum. Penyiraman air keras seperti yang dialami oleh penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, meskipun di tahun 2021 ia termasuk sebagai salah-seorang yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Meski pembiayaan kesehatan satu mata Novel Baswedan ditanggung negara untuk kemudian menjadi matanya tersebut sebagai lambang kacaunya penegakan hukum di Indonesia. Aktor intelektual di balik pelaku tersebut pun masih menjadi misteri di ruang publik. Demikian halnya aktor intelektual pelaku pembunuhan Munir dan Wiji Thukul.

Tak perlu mengurai kasus dan nama aktivis pembela HAM yang sudah terbiasa bersarang di tubuhnya sebagai efek perilaku politik ancam (meskipun kolom tulisan ini tak mungkin cukup untuk menyebut nama dan uraian masalahnya). Yang penting untuk dipahami adalah sampai kapan politik ancam itu berhenti? Atau terus menjadi seni dalam memperkuat politik penguasa, baik dari sisi pola kepemimpinan birokrasi maupun politik pemerintah yang diwayangkan pengusaha? Atas dua pertanyaan ini mungkin generasi Indonesia patut mengevaluasi dirinya apakah ia akan menjadi pengganti untuk mewariskan perilaku politik ancam?

Makna sederhananya, politik ancam adalah suatu perilaku politik yang berusaha menampakkan kekuatan politik dengan cara mengancam, apakah ancaman itu bersifat soft maupun terang-terangan. Politik ancam juga dapat menyusup atau disulap agar mendapat kekuatan hukum, sehingga hasrat politik ancam seolah-olah bentuk dari ketentuan hukum yang menjadi pedoman dalam berpolitik secara hukum.

Pada posisi ini pula permainan pasal karet terjadi, “penyeludupan” dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) terus diupayakan yang beriringan dengan politik klientelisme. Perang lapor-melapor semakin gencar seiring meningkatnya fasilitas media sosial (medsos) dalam melakukan dalih pencemaran nama baik, bahkan diseret demi menjaga nama baik pejabat publik yang bobrok moralnya. Pada akhirnya, politik ancam dapat seolah-oleh berwibawa jika menempuh jalur hukum. Kondisi ini tentunya mengangkangi prinsip bahwa hukum ditegakkan adalah untuk kemaslahatan seluruh rakyat, tapi pada kenyataannya perjuangan kepastian hukum bagi korban ancaman masih menjadi misteri direpublik ini.

Di masa pascareformasi dikorupsi ini, ancaman bukan saja diciptakan oleh aktor intelektual yang tidak benar-benar berkomitmen dengan prinsip Demokrasi Pancasila, justru ancaman sekarang telah masuk ke dalam kesadaran post truth, di mana cara merespon praktik ancaman mengalami pembelahan. Yang satu pihak mengapresiasi praktik ancam karena memiliki kepentingan yang sama dengannya, demikian pula yang menolak ancaman karena sesuai dengan kesadaran untuk menolak praktik politik ancam. Dua arus ini terus bersaing hingga publik kebingungan memilih siapa yang benar dan siapa yang betul dalam bersandiwara.

Benar bahwa dengan adanya ancam dapat menciptakan ketertiban sebagai prinsip berkeadilan. Namun jangan dilupakan bahwa dengan mempolitisasi praktik ancam dapat memperlebar kesenjangan sosial politik bahkan hajat hidup banyak manusia. Dengan mencermati kondisi perilaku politik Indonesia hari ini yang tampak ramah dengan motif-motif politik ancam, tentunya masyarakat, terutama bagi generasi muda agar mendapat pengetahuan dan kesadaran bertindak untuk terus memberantas politik ancam sebagai upaya menciptakan stabilitas politik secara berkelanjutan.

Karena pada dasarnya ketika praktik politik ancam mendapat hak keistimewaan politik, atau penguasa membentang karpet merah untuk berkembangnya politik ancam, justru misi untuk kehidupan yang adil serta sejahtera akan menjadi sesuatu yang jauh panggang dari api bagi Indonesia. Untuk itu, wajah Indonesia hari ini dan kemudian hari harus mampu memotong anak tangga bagi siapapun yang ingin melangkah ke politik ancam. Hal ini tentunya diperjuangkan tanpa pandang bulu, apakah ia pejabat, rakyat jelata, petinggi militer/mantan militer atau abdi negara lainnya. Semuanya harus mendapat kepastian hukum yang sama. Hanya dengan itu martabat keadilan bangsa dapat diakui oleh seluruh rakyat Indonesia. Dari Aceh sampai Papua.

Penulis adalah Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)