Oleh Zulfata
Negara, diperjuangkan, dibentuk, disokong dan dipertahankan dengan segala upaya untuk dapat mensejahterakan penduduknya. Peristiwa pengorbanan dan pertumpahan darah telah menjadi saksi bisu di balik megahnya suatu negara. Karena itu negara bertujuan untuk menjamin kemaslahatan seluruh rakyat dan segala aset yang melekat padanya. Berbeda dengan konsep dan pelaksanaan yang penulis sebut sebagai negara oleng, sebuah negara ilusi yang patut dijadikan dongeng, terus-terus didongengkan, dibiarkan jadi mitos disaat logos dan etos tak lagi mampu mendobrak kemunafikan yang tersistem, terstruktur dan diincar oleh hampir semua aktor lintas generasi.
Di negara oleng, kemampuan menjamin kemaslahatan dari negara hanya omong kosong, rakyat miskin dan anak terlantar hanya sekedar catatan formal untuk melengkapi isi pidato kenegaraan. Demikian pula dengan komitmen terkait tanah dan air adalah milik (dikuasai) negara, meskipun tanah dan air itu sudah dikuasai oleh negara asing. Meskipun ini cerita imajinatif, fiktif, tidak bermutu, tidak tertutup kemungkinan bahwa siapapun yang membacanya mencoba memaksa diri bahwa cerita negara dongeng ini adalah suatu kenyataan atau yang sedang terjadi pada suatu negara di masa kini.
Jika dalam teori ilmiah ada yang berpendapat bahwa tidak ada negara yang maju karena kaya sumber daya alamnya. Maka dalam konsep negara oleng, dengan adanya negara yang kaya sumber daya alamnya, selama itu pula dapat diperjualbelikan (menggadaikannya secara politik demi kebutuhan menjaga kekuatan elektoral) tanpa memperdulikan kemaslahatan rakyat secara totalitas, tanpa memperdulikan hutang negara, tanpa memperdulikan bagaimana melepas perangkap hutang dari pemimpin negara ke pemimpin negara selanjutnya.
Pada kisah negara oleng, kepala negara disebut raja, meskipun raja menganggap kepemimpinannnya sebagai produk demokrasi dari rakyat untuk rakyat. Meski negara oleng memiliki satu raja, namun raja ini terus merelakan kehadiran raja-raja lain yang membayanginya, baik sebagai pembisik dalam membuat kebijakan, maupun sebagai bentuk perpanjangan dalam mencapai target kerja dan pengabdiannya.
Demikian pula para pembantu raja yang hampir berperilaku seperti raja. Jika di alam nyata bahwa ada negara yang disebut menteri, maka di alam khayalan seperti cerita negara oleng ini, pembantu raja dapat menangani lebih dari tiga bidang sektor kementerian strategis kenegaraan. Pada saat yang bersamaan pula pembantu raja ada yang tidak konsisten mengambil keputusan dibidangnya sendiri karena sudah diurus oleh pembantu raja lainnya.
Ibarat kapal, negara oleng tidak hanya memiliki satu nakhoda yang khusus mengendalikan jalan dan arah perjalanan kapal. Dapat dibayangkan betapa uniknya ketika banyak nakhoda yang mengendalikan kapal pada ruang dan waktu yang bersamaan. Banyak tangan dan keinginan serta kepentingan dalam mengendalikan kapal. Perumpamaan ini bukanlah sesuatu yang aneh bagi pelaksanaan negara oleng. Sebab itu semua bagian dari tuntutan koalisi para elite negaranya pascapesta pemilihan raja. Demikian pula posisi tawar jabatan, semua para pendukung raja diberikan jatah jabatan meskipun jabatan tersebut tidak berguna untuk kemaslahatan rakyat.
Semua ini bukan juga sesuatu yang dipandang buruk dalam tatanan birokrasi negara oleng, karena negara ini berprinsip bahwa dalam mendesain birokrasi pemerintah adalah untuk tim sukses (timses). Sehingga jika ada yang ingin mengadopsi pola penataan birokrasi layaknya negara oleng dalam berdemokrasi, maka boleh memakai pola ini sebagai bentuk demokrasi dari timses ke timses. Rakyat cukup menonton saja, jangan banyak kritik, nanti bisa jadi diserang buzzer (pendengung) penguasa atau bahkan dapat diancaman, teror, bahkan dihadapi dengan urusan pidana.
Mengulas negara oleng dapat dilihat dari berbagai sisi. Satu raja negara diwayangkan, raja bayangan lainnya menari-nari secara misterius. Kebijakan diorderkan, kekuasaan memihak pada mata angin yang kuat. Semua orang berbondong-bondong menuju arah mata angin itu. Mulai dari anak kecil, pedagang, ilmuan, agamawan, teknokrat, seniman, terlebih para birokrat dan para perampok elite. Intensitas dalam mengikuti arah mata angin ini pula memiliki sistem komando yang rapi, terukur dalam mencapai target.
Kondisi sedemikian menjadikan petugas pencatatan amal buruk terheran-heran. Tugasnya mencatat perilaku buruk telah mengalami kekurangan bahan baku catatan. Demikian pula petugas pencatat amal baik, kolom kebaikan bidang pencitraan kelebihan isi dari pada kolom kebaikan yang didasari oleh keiklhasan. Semua ini berlaku hampir pada semua level perilaku kenegaraan oleng. Iklim politik negara oleng pun sudah dianggap wajar dengan ketimpangan, sudah dimaklumi untuk berperilaku korupsi, siapapun yang mengkritik akan dihujat balik atau ditantang untuk berurusan dengan persoalan pidana, bahkan ada yang berujung pada kriminalitas secara elite, dan sunyi tanpa suara untuk menegakkan keadilan sebagi bukti bahwa negara memang kuat dan berkeadilan.
Dari sisi keberadaan kampus, negara oleng mendesain kampus untuk bersikap layaknya partai politik pada sistem demokrasi liberal. Kampus digiring untuk mengikuti kajian oleh raja-raja negeri oleng meskipun kajian itu tidak mengarah pada upaya preventif atau mitigasi pelemahan negara secara internal. Kampus terus didorong untuk berinovasi ditengah pembungkaman insan akdemik yang terus dipertontonkan. Soal etika dan sopan santun dijadikan tameng untuk membungkus kebrobokan politik penguasa disaat mahasiswa sedang berlatih untuk bersikap merdeka sebagai bekalnya nanti untuk mengelola negara agar lebih baik.
Akhirnya, semua kebijakan kampus untuk berperan menyelamatkan negara oleng terperangkap pada persoalan birokratis untuk tetap memuja raja-raja negara oleng. Raja-raja negara oleng haram untuk dikritik dan disalahkan, meskipun dalam dunia nyata bahwa kritik terkadang menjadi obat bagi raja agar dapat mengevaluasi diri sebagai tindak lanjut bahwa ia sebagai hamba Tuhan.
Demikian pula dari sisi penguatan mental patriotisme calon penguasa negeri oleng yang telah berada dalam sistem komando raja negeri oleng. Praktik patriotisme berselingkuh dengan praktik perampokan. Rakyat negeri oleng sulit menandakan mana sang patriotik birokratis, dan mana pula birokrat perampok. Kelompok ini memiliki kecakapan dalam mengatur program, mengalokasikan anggaran, menyusun rancangan undang-undang agar mudah merampok secara elite atas nama kebaikan rakyat dan negara.
Pada persoalan ini, para pejabat atau birokrat negeri oleng mengalami peningkatan harta disaat negara dan rakyat mengalami serangan wabah yang bernama wabah krisis keadilan Hak Azasi Manusia (HAM). Uniknya, pada situasi dan kondisi negara seperti ini, para pembantu raja negeri oleh malah dijebolkan ke penjara akibat ketidakmampuan bersandiwara pada saat ingin menjarah harta negara.
Sekelumit dari cerita kelebihan negara oleng dapat dipahami bahwa pembantu raja tidak perlu risau ketika kedapatan saat merampok negara, sebab raja-raja negara oleng sudah sepakat dalam bersikap santun terhadap para penjarah. Siapapun yang tertangkap dalam misi merampok uang negara, kemudian perampok tersebut menadapat celaan dari rakyat, maka pengadilan raja oleng akan mengurangi hukuman perampok, karena pertimbangan perampok telah dicaci maki oleh rakyat sebagai bentuk sanksi sosial dari darkat karena mencuri uang negara.
Negeri oleng dikenal sangat tegas, disiplin hukum, cepat medapat kepastian hukum. Idealitas penegakan hukum ini cepat berlaku bagi kalangan kelas bawah, seperti pencuri hasil tanaman karena dirinya tidak mendapat jaminan hidup yang layak oleh negeri oleng. Apa yang diuraikan dalam tulisan fiktif ini adalah sebuah potret pelaksanaan negara yang jauh dari kondisi Indonesia hari ini. Sebab negara Indonesia hari ini tampak kuat dengan komitmen dan perwujudannya terhadap demokrasi Pancasila.
Maka dari itu tulisan ini secara tidak langsung ingin menyampaikan kepada presiden republik Indonesia atau para pembantunya, jangan sempat negara Indonesia bernasib sama seperti cerita negeri oleng, yang menjadikan negara untuk benar-benar menjamin kedaulatan negara dari multisektur. Tidak membutakan mata atau mematikan nurani di saat Indonesia telah berpotensi dikuasai oleh negara asing, dan telah berpotensi bahwa negara sedang berpura-pura menjamin kelayakan hidup warga negaranya sembari memperlebar kesenjangan kepercayaan antara pejabat negara dengan warga negara.
Ingat, ketika negara oleng, maka penanganannya tidak sama seperti kapal oleng di tengah lautan. Mungkin kapal bisa oleng karena ketidakseimbangan beban atau nakhodanya ugal-ugalan. Maka bisa jadi negara oleng karena ketidakseriusan semua kita untuk berani mengatakan yang salah tetap salah, yang salah jangan dibenarkan, yang benar harus diperjuangkan tanpa rasa takut. Sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat, negara yang kuat menjadikan negara kuat. Sebaliknya, raja-raja yang muslihat menjadikan negara sekarat.
Penulis adalah pemikir kebudayaan dan kebangsaan