Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM). Email: fatazul@gmail.com
Maraknya muncul Baliho politik 2024 di tengah amukan pandemi menciptakan kontraproduktif di ruang publik. Melalui Baliho tersebut personal branding dari beberapa sosok ditampilkan dengan membubuhkan kalimat bermuatan misi seperti “Kerja untuk Indonesia 2024” dan “Kepak Sayap Kebhinekaan”. Dari kalimat misi di balik 2024 pula menarik bagi Aceh untuk terus menumbuhkan kesadaran keacehan sebagai upaya memperkuat daerah dalam memajukan bangsa Indonesia.
Mencermati situasi dan kondisi Aceh hari ini sungguh relevan dengan kalimat yang bermuatan misi “Kepak Sayap Keacehan”. Kalimat ini bukanlah bagian dari politik personal branding calon presiden atau calon wakil presiden, melainkan kalimat yang mempersuasif masyarakat Aceh untuk terus memperkuat posisi Aceh melalui jati dirinya yang pernah ditoreh dalam sejarah Indonesia.
Dengan terus mengepakkan sayap keacehan, Aceh dimungkinkan tidak terlena dengan prestasi masa lalunya, dan tidak pula buram menghadapi masa depan. Sehingga Aceh hari ini harus terus didorong untuk mampu kepakkan sayap keacehannya. Lantas apakah yang dimaksud dengan sayap keacehan tersebut? Bagaimana pula cara mengepakkannya?
Sayap keacehan adalah semiotika yang menunjukkan sektor-sektor yang mampu membuat Aceh terbang membubung tinggi. Dalam hal ini Aceh ditamsilkan sebagai burung yang hendak menuju tujuannya. Tanpa mengepakkan sayap, seekor burung tidak mampu melanjutkan kehidupannya, bahkan ia dapat mati kelaparan secara bertahap di kandangnya sendiri.
Sektor-sektor yang mampu membuat Aceh terbang dan melaju lebih cepat di antaranya adalah sektor historis, religi, kepemimpinan, Sumber Daya Alam (SDA), regulasi (qanun) dan adat-istiadat. Enam sektor ini penting untuk terus disorot, digali, ditumbuh sadarkan bagi seluruh masyarakat Aceh.
Sektor historis telah memberikan bukti bahwa generasi Aceh hari ini harus mampu menjadikan kesuksesan sejarahnya sebagai kekuatan melentingkan daya kemajuan Aceh saat ini. Dalam catatan sejarah, Aceh mampu menguasai siklus perdagangan, wilayah perekonomian hingga memiliki kecakapan diplomasi internasional. Berdasarkan realitas inilah prestise (wibawa) Aceh masih diakui oleh beberapa negara. Misalnya Turki, Arab Saudi dan Malaysia.
Jika sektor historis Aceh tidak “dikepakkan”, maka senada seperti apa yang disampaikan oleh Bung Karno bahwa jangan sesekali melupakan jas merah, jangan lupakan sejarah. Artinya generasi Aceh hari ini harus menjadikan sejarahnya sebagai spirit dalam membangun kesadaran dan bertindak progresif untuk benar-benar memajukan Aceh. Sehingga karakter-karakter yang penuh militansi, empati dan solidaritas dari kalangan terdahulu mampu menyingkirkan karakter hedonisme dan praqmatisme yang kian marak di era kekinian.
Selanjutnya, sektor religi. Melalui rahmat Tuhan yang maha esa, masyarakat Aceh hampir seluruhnya memeluk agama Islam. Sehingga Aceh diberikan berbagai kekhususan, terutama dalam hal pelaksanaan syariat Islam. Seharusnya dengan potensi dan daya dorong keislaman yang dimiliki Aceh ini mampu menjadikan Aceh sebagai protipe daerah yang membuktikan kemajuan daerah dari masa ke masa, sehingga munculnya anggapan bahwa Aceh benar dapat maju karena faktor religinya. Atas kesadaran ini senantiasa mengkondisikan Aceh tidak menjadikan praktik keislaman sebagai citra memperkeruh Aceh itu sendiri.
Demikian halnya dengan sektor kepemimpinan, beberapa sosok pemimpin Aceh (gubernur) terbukti mampu mendorong kemajuan pembangunan Aceh di berbagai sektor. Di antara sosok gubernur Aceh yang sukses memimpin pada masanya adalah Gubernur Ali Hasjmy. Faktor kepemimpinan sungguh signifikan dalam menakhodai Aceh untuk mampu melewati berbagai rintangan yang dihadapi Aceh. Sehingga jangan sempat sektor kepemimpin pula yang menjadikan Aceh terperosok dalam jurang kemiskinan. Untuk itu, problem kepemimpinan harus terus dikepakkan dengan cara berusaha untuk menghadirkan pemimpin yang berintegritas dan kredibel.
Terkait SDA juga sektor yang menjadikan Aceh tak hentinya dilirik oleh investor internasional. Posisi ini menciptakan peluang yang tidak akan tertutup sampai kapanpun selama SDA Aceh masih potensial. Persoalan tatakelola SDA ini tentunya memiliki dampak yang berbanding lurus dengan hasilnya. Jika SDA diurus dengan terampil, maka ia akan menunjang bagi kemajuan Aceh. Sebaliknya, jika SDA keliru urus justru akan mengakibatkan kesenjangan sosial bahkan bencana alam.
Tidak terhenti di situ, faktor regulasi juga menentukan maju atau tidaknya Aceh. Setelah peristiwa perdamaian Aceh melalui adanya morandum of understanding (MoU Helsinki), Aceh diberikan beberapa kewenangan khusus, termasuk dalam menciptakan peraturan yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah pusat (qanun) dalam mengatur rumah tangganya sendiri (tanpa bertentangan dengan UUD 1945). Dengan keberadaan regulasi yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia, seharusnya menjadikan Aceh paling terdepan dari pada daerah lainnya se-tanah air.
Keberadaan adat-istiadat pun menjadikan Aceh mampu menjaga solidaritas masyarakat. Dengan nilai adat-istiadat, masyarkat Aceh tidak dapat kehilangan jati diri daerahnya. Berbagai pesan moral yang disampaikan dalam simbol praktik adat-istiadat Aceh senantiasa terus mengingat masyarakat untuk memperkuat daerah berbasis adat-istiadat. Atas dampak dan potensi adat-istiadat inilah senantiasa faktor adat-istiadat di Aceh jangan dipandang sebelah mata dalam misi kemajuan Aceh.
Berdasarkan enam sayap keacehan yang disinggung di atas seyogyanya terus diperbincangkan dan diwujudkan dalam menghadapi tangangan Aceh. Tanpa mengepak enam sayap keacehan di atas, Aceh dipastikan akan kehilangan jati dirinya dan mengalami kehilangan arah dalam menata masa depannya. Banyak strategi yang dapat dilakukan dalam mengepakkan sayap keacehan tersebut. Misalnya dapat menempuh strategi kebudayaan, politik kewargaan mupun jalur birokrasi pemerintahan Aceh itu sendiri.
Di balik hadirnya semangat kepak sayap keacehan ini adalah pertanda bahwa Aceh hari ini mengalami beberapa sayap keacehannya telah patah. Dua di antara sayap yang patah tersebut adalah persoalan kepemimpinan Aceh yang tersandung kasus korupsi, dan memimpin Aceh dengan kekosongan wakil gubernur. Demikian pula dengan regulasinya yang sejatinya Pilkada Aceh dilaksanakan pada tahun 2022 sesuai qanun Aceh, namun demikian Pilkada Aceh digeser pada tahun 2024.
Dua sayap keacehan yang patah di atas tentunya bukan pertanda biasa, butuh sinergitas untuk tidak mengulangi agar sayap keacehan tidak lagi patah. Pada posisi ini pula Aceh butuh solidaritas untuk mampu memulihkan sayap keacehan yang telah patah. Semua pihak di Aceh harus berani berkomitmen dengan diikuti kinerja yang mengarah pada kemajuan Aceh tanpa terjebak politik yang menguntungkan sekelompok elite.
Jika praktik politik yang hanya menguntungkan sekelompok elite semakin kuat, percayalah bahwa yang mematahkan sayap keacehan itu bukanlah orang asing, melainkan elite Aceh itu sendiri. Atas kesadaran inilah semua lapisan masyarakat Aceh mari kepak sayap keacehan dari masa ke masa, bukan sekedar untuk 2024.