Oleh Zulfata
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
ADA GURU BESAR disidang di hadapan jabatan strategis, pegiat anti korupsi menyebutnya lahan basah. Biasanya guru besar menyidangkan calon cendekiawan, mengobrak-abrik karya promovendus agar tetap di haluan yang benar serta tidak memihak pada kepentingan politik tertentu. Seketika hujan rintik tiba, guru besar mengalami mimpi indah dalam keadaan sehat, ia mengalami reingkarnasi Niccolo Machiavelli di era pandemi. Satu kakinya masih di alam sadar, satunya lagi sudah menginjak kekuasaan, surplus relasi, menyongsong tirani akademik.
Rintik hujan sesekali terjeda, pertanda rintik mungkin turun lagi. Foto guru besar tersebar melalui telepon pintar, kapan saja publik dapat melihatnya, mulai dari hendak tidur maupun usai bangun tidur. Penyebaran foto tersebut menginformasikan bahwa ia sedang hendak membelah diri, mengalami turbulensi, tak pasti, apakah ia mengikuti arah kaki kiri atau kanannya. Penyorak berteriak dari tengah, barat dan timur Indonesia, silang pendapat pun terjadi, memicu diskusi dari hari ke hari. Ulah guru besar hampir menjadi penopang diskusi peradaban negeri ini.
Masih rintik hujan, guru besar tersenyum, menyedu secangkir kopi yang dihangatkan nuraninya sendiri. Guru besar melongok, sesekali menggeleng sambil berkata “ini mimpi atau halusinasi?” Ia bergegas mencuci muka melalui komentar-komentar tentang dirinya. Sebelum rintik hujan berhenti. Kekuatan di luar dirinya terus membuka haluan, semesta kekuasaan menciptakan karpet merah terhadap dirinya melalui revisi peraturan khusus. Arah dan maksudnya, agar tetap berada dalam keadaan turbulensi yang tidak semua guru besar dapat mengalaminya.
Rintik hujan tidak berjeda lagi, cahaya mentari terus bersinar, menghilangkan sisa-sisa rintik yang telah membasahi isi kepala kaum akademisi dan politisi. Hingga anak negeri sulit mengetahui apa perbedaan akademisi dengan politisi. Tidak mengetahui perbedaan ilmuan dengan birokrat. Generasi mengalami kebingungan, belum parah memang, sekedar berusaha berlelucon bahwa dunia ini memang sedang mengalami perubahan yang cepat. Secepat kampus berubah fungsi layaknya partai politik (Parpol).
Usut demi usut, ternyata korelasi hujan rintik kemudian dilanjutkan terbitnya mentari adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari bola kekuasaan yang bergelinding ke sana dan ke mari. Sesekali mejadi bola api, membakar apa saja yang di depan, yang menghadangnya akan mengalami kepanasan, jika terkena dengan tepat, bisa jadi terbakar dan musnah, termasuk akal sehat itu sendiri dapat lenyap menjadi abu.
Guru besar memang tak berhenti membesarkan orang lain, terlebih orang yang patuh padanya, tidak ada fungsi kritik dialamatkan padanya. Dengan berpihak pada guru besar, orang yang berada dibawahnya mendapat kekuatan khusus. Pengamat politik menyebut kekuatan tersebut sebagai sokongan politik. Lembaga atau organisasinya mudah sekali beradaptasi, lebih duluan ada dari sebelum adanya era disrupsi.
Pola kinerja, penganggaran, hingga pola koordinasi harus menyesuaikan dengan selera guru besar, sekalipun guru besar tidak selalu menginginkan berbuat kebenaran. Kaedah lama seperti kongres pendidikan Indonesia yang berlangsung di Surakarta tahun 1947 tidak lagi menjadi acuan. Justru siapa yang merapat ke rezim penguasa, di situlah terbentuknya haluan kelembagaan. Nyaris tidak ada lagi independensi, apalagi otonomi, semua terlanjur dikemas dalam bentuk komersialisasi pemuas hasrat intelek tirani.
Yang disinggung di atas bukanlah potret kampus hari ini, dan bukan pula potret Parpol. Sebab kampus dan parpol bertujuan untuk mendidik anak negeri dengan caranya sendiri-sendiri. Yang satu mengkaderkan ilmuan, cerdik pandai, dan yang satunya lagi mencetak calon pemimpin-pemimpin politik dengan menampung aspirasi rakyat. Kampus; ilmuan yang berpihak pada nalar penguasa, ilmuan menjadi pekerja politik, hingga memberi penghargaan bagi politisi yang mahir mengatur strategi terkait bagaimana merampok hasil kekayaan negeri melalui peraturan negara. Demikian halnya Parpol; mampu mempersuasif kebijakan kampus dari jarak jauh, menciptakan slot jabatan basah untuk para guru besar. Guru besar terbelah. Lantas siapakah guru besar tersebut. Baiknya dimisterikan saja.
Misteri bukan berarti mistik, bukan mitos. Mesteri juga bagian untuk menjaring penalaran bersama agar sama-sama memikirkan bagaimana menyikapi para guru besar. Dalam politik praktis ada guru besar. Sebagai pimpinan politik ada guru besar. Sebagai prajurit ada guru besar hingga pada calo jabatanpun ada guru besar. Martabat guru besar tidak akan runtuh karena adanya catatan ini. Ia justru semakin bermartabat. Khalayak tidak berhenti-henti membicarakannya hingga pergeraknnya kembali ke haluan yang semestinya.
Kecongkakan, sandiwara dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan guru besar beriringan menguat dengan muaknya rakyat melihat tingkah laku guru besar. Guru besar dianggap seperti Bunglon, bahkan lebih dinamis dari Bunglon. Peran guru besar tidak hanya mampu meyesuaikan diri dengan alam hayati, biotik atau abiotik. Tetapi juga merayap dalam senyap ke kubu kekuasaan yang mana ia harus merayap dengan tepat.
Guru besar, dua suku kata yang masih dimisterikan, guru, besar, guru apa? Besar apa? Dalam kemisteriusan ini pula menjadikan pembaca tulisan usil ini masih bertanya-tanya siapa guru besar yang sebenarnya, apakah ia ada di kampus atau di Parpol?