Oleh Zulfata
Sebenarnya Aceh itu Aapa? Pertanyaan ini dengan sengaja saya tujukan ke seniman Aceh yang aktif bergerak di bidang seni usai MoU Helsinki. Sederet pertanyaan selanjutnya pun berlanjut, apakah Aceh sebagai suku atau bangsa? Apakah Aceh kaku seperti apa yang disampaikan Snouck beserta peneliti negara asing lainnya? atau Aceh masih mengkristal dari titik perbincangan historis, Perlak, Barus, Fansur Hindia, Cina, Arab dan Eropa? atau pembahasan Aceh tak terbatas karena komplitnya dinamika peradaban yang telah awal melekat padanya?
Serangkaian pertanyaan keacehan itu manyatu padu dengan sebuah hipotesa bahwa Aceh adalah daerah yang memiliki prinsip berketauhidan, berkemanusiaan, berkultur dan berkeadilan. Sehingga Aceh identik dengan empat hal tersebut. Sebelum era tsunami informasi melanda (post truth), Aceh dilalui beberapa fase yaitu fase kerajaan, fase kolonial, fase kemerdekaan, fase gugatan, fase konsolidasi, fase konflik, fase Tsunami hingga fase setelah MoU Helsinki.
Setiap fase itu memiliki cirinya sendiri, misalnya di masa kerajaan Aceh identik dengan kegagahan dan ekspansif serta disokong oleh fatwa-fatwa ulama. Fase kolonial identik dengan perang berspirit kedaulatan Islam. Fase kemerdekaan memiliki semangat untuk melepas dari belenggu penjajah dan tidak ingin dikuasai oleh “kafir”. Fase gugatan bercirikan untuk menuntut komitmen yang pernah dijanjikan. Fase konsolidasi adalah berupaya membangun prinsip kepemimpinan. Fase konflik menuntut kemerdekaan atas ketidakadilan bernegara. Fase Tsunami sebagai daya lenting kemanusiaan global, hingga fase setelah MoU disebut fase tolak-tarik legislatif dan eksekutif.
Begitulah gambaran umum melihat alur kontruksi keacehan. Setiap fase di atas jika ditarik inti peradabannya bahwa Aceh sejatinya memiliki prinsip ketauhidan, berhukum syariat Islam, solid berjuang dan militan menagih janji, prinsip ini sekaligus menjadi indetitas karakter orang Aceh. Atas dasar ini terbentuknya filosofi keacehan dengan kalimat hukum dengan adat seperti zat ngon sifeut, artinya semua prinsip hidup yang terjadi di setiap fase keacehan tidak dapat dipisahkan, dari landasan hukum Allah Swt.
Apa yang disinggung di atas adalah idealitas keacehan, realitas hari ini? Sungguh Aceh sedang mengalami pembelahan sosial yang tampak jauh dari prinsip keacehan yang pernah ada. Awal pelapukan identitas keacehan itu terjadi pada fase setelah MoU. Berbagai bentuk pelapukan
terjadi di masa itu. Mulai dari hal kepemimpinan, menentukan sikap keacehan, hingga solidaritas elite Aceh dengan masyarakat.
Jika dicermati, ada dua faktor yang mengakibatkan Aceh setelah MoU dijadikan sebagai fase pelapukan identitas. Yang pertama disebabkan karena tidak terkendalinya arus kekuasaan, dan yang kedua karena problem integritas kepemimpinan di Aceh. Melalui faktor yang pertama, arus kekuasaan secara leluasa diberikan kepada sekelompok pejuang yang terlibat dalam spirit fase gugatan keadilan hingga hal tuntutan kemerdekaan. Namun demikian, keleluasaan kekuasaan yang diberikan oleh negara ternyata diluar kendali para pengelola kekuasaan waktu itu. Sehingga kekuasaan di Aceh setelah MoU menciptakan tiga haluan kelompok peguasa yaitu kelompok sedang berupaya, pengkhianat, hingga ada yang mengalah untuk sekedar menonton pergulatan.
Dari faktor yang kedua, faktor problem integritas kepemimpinan karena suasana demokrasi Aceh telah menciptakan ruang tarung bebas dalam berpolitik, Semua akses politik dibuka dengan dunia luar Aceh dalam hal penentuan siapa yang menang dan siapa yang diberikan porsi dalam menentukan kebijakan. Kondisi ini merubah Aceh dari politik kewargaan (dimasa konflik) hingga berubah menjadi politik feodal dan oligarki.
Aceh nyaris berubah, prinsip atau identitas keacehan yang pernah mapan pada masanya, namun saat ini cukup dijadikan untuk kisah dan praktik seremonial adat. Harapan pengendalian kultur keacehan sebagai alat sebar penguatan identitas masyarakat Aceh yang diserahkan pada fungsi Lembaga Wali Nanggroe (LWN) justru terjebak pada politik golongan yang hanya mengurus hal politik praktis. Akhirnya garapan kepemimpinan kebudayaan mengalami kekosongan. Kondisi seperti ini kemudian kultur keacehan terus dihantam oleh budaya asing melalui digitalisasi yang lebih persuasif dan instan dalam mempengaruhi masyarakat. Masyarakat terus berubah menentukan rasa keacehannya sendiri tanda sadar nilai apa yang terkandung di balik setiap fase keacehan.
Sejatinya dengan mempertahankan prinsip keacehan tidak menjadikan orang Aceh tidak mampu beradaptasi, dan tidak pula dengan menjadikan identitas keacehan sebagai patron karakter setiap orang Aceh menjadikan orang Aceh akan tergilas zaman. Meskipun demikian hari ini berbicara identitas keacehan itu dipandang tidak strategis seiring propaganda politik pasar ekonomi global yang tanpa disadari akan terus mengkaderkan generasi kapitalistik atau predator manusia melampaui era kolonial.
Hajatan politik lima tahunan turut memperparah kondisi Aceh, lembaga sosial khas Aceh seperti dayah tak mampu membentuk pelapukan keacehan tersebut, bahkan lembaga sosial ini juga terseret ke dalam kendali intervensi program politik lima tahunan. Dayah nyaris terseret dalam skema politik dari agenda-agenda politik lima tahunan. Padahal problem mendaulatkan prinsip keacehan terletak pada spirit dayah layaknya di masa fase kolonial dan konflik.
Lantas bagaimana dengan kampus, saat ini kecil peluang untuk kampus sebagai lembaga terdepan dalam menjaga identitas keacehan, terlebih kontribusi akademis yang dilakukan kampus masih berada diseputaran riset dan publikasi dengan tidak menyebutnya orderan riset yang diinginkan rezim. Kampus belum mampu mendobrak apalagi melakukan perlawanan arus dengan agenda politik lima tahunan. Kampus hari ini nyaris tak ada bedanya dengan mekanisme kerja partai politik.
Kondisi Aceh seperti ini tentunya tidak boleh dibiarkan, terlebih diperparah untuk dihilangkan prinsip dan identitas keacehannya. Seiring dengan penguatan identitas keacehan ini pula, perlu disadari bahwa kita harus menahan diri untuk tidak merasa paling dirinya Aceh, paling dirinya yang merasa paham tentang Aceh, sehingga saling berbentur sesame kita dan sulit menciptakan konsolidasi keacehan. Proses penguatan identitas keacehan harus dilakukan di berbagai sektor, bukan saja dari sisi literatur (karya tulis), juga diperkuat dengan keteladanan politik Aceh yang syarat dengan keadilan dan militan.
Tanpa mewujudkan kekuasaan yang berprinsip keacehan, maka kultur dan identitas yang pernah ada di ruang masyarakat Aceh diyakinkan akan semakin luntur bahkan tenggelam. Kesadaran seperti ini berangkat dari peradaban Aceh yang tersirat di setiap fase keacehan. Aceh menjadi cemerlang karena adanya kepemimpinan yang tegas dan berkeadilan tanpa mudah dinegosiasi dengan menjual diri (menjual marwah Aceh). Tetapi hari ini telah terbalik, pemimpin Aceh mudah diintervensi oleh sekelompok elite politik, pemimpin Aceh mudah terpengaruh oleh hasrat politik koalisi, bukan berpegang teguh pada prinsip keacehan. Sungguh ciri politik Aceh itu sudah menjadi yang tabu untuk dibahas hari ini.
Kepada masyarakat Aceh tentunya harus terus dipersuasif melalui generasi muda Aceh untuk kembali menyuarakan prinsip dan identitas keacehan itu di berbagai sektor dan setiap kesempatan, apakah itu sektor politik, budaya maupun birokrasi. Kacaunya realitas keacehan hari ini adalah pekerjaan rumah kita semua sekaligus tanggung jawab kolektif. Jika tidak ada upaya kuat membenahi Aceh, kita siap-siap menghadapi perang sosial atas nama Aceh. Mengakhiri diskusi saya dengan seniman Aceh ini, kami menarik satu benang merah bahwa Aceh di tahun 2021 sedang mengalami kacau-balau dan harus diperbaiki melalui gerakan generasi muda Aceh yang progresif dan militant serta memiliki visi keacehan yang terang. Tidak ada solusi lain.
Penulis adalah Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)