Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM). Email: fatazul@gmail.com
Dalam catatan sejarah, Aceh cenderung ditangani melalui kultur (kebudayaan). Perang, konflik, bencana hingga perdamaian diselesaikan melalui jalur kultur. Fakta ini dapat dipahami melalui peristiwa Ikrar Lamteh, Ikrar Blang Padang, MoU Helsinki hingga penguatan sosial setelah bencana Tsunami Aceh. Rentetan peristiwa ini semua telah meyakinkan kita bahwa menempuh jalur kultur saat mengurus Aceh adalah sesuatu yang tak boleh dianggap remeh.
Membahas Aceh memang tidak ada habis-habisnya, selain daerah ini bersifat majemuk dan terus berkembang, tantangan yang dihadapi Aceh pun terus bertambah. Posisi Aceh seperti ini mengharuskan Aceh mampu bercermin dari eksitensi dirinya di masa lalu untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam upaya membangun Aceh hari ini dan di kemudian hari.
Berbicara membangun Aceh tidak selalu berkaitan dengan pembangunan fisik seperti sektor infrastruktur, tetapi di dalamnya juga terkait bagaimana membangun mentalitas atau karakter segenap masyarakat Aceh sebagai hulu dan hilir dari proses pembangunan. Disebut hulu karena cikal-bakal terbentuknya pembangunan di Aceh berangkat dari keinginan masyarakat, dan disebut hilir karena tujuannya pembangunan Acehpun untuk masyarakat. Alur pikir pembangunan seperti inilah disebut sebagai proses pembangunan yang bersifat demokratis, dari rakyat, oleh dan untuk rakyat.
Yang menjadi catatan pinggir dalam tulisan inilah adalah bagaimana menjadikan kesadaran publik untuk terus menumbuhkan kesadaran budi dalam setiap agenda pembangunan Aceh. Pada misi ini, instrumen yang ditempuh adalah melalui penguatan kultur literasi terkait keachehan multisektor. Tanpa menempuh langkah ini, sungguh dimungkinkan pelaksanaan agenda pembangunan di Aceh akan timpang akibat kurang mendapat sokongan moral yang dihadirkan di dalamnya.
Penekanan makna literasi dalam konteks ini adalah soal memperkuat kesadaran kolektif agar melek pengelolaan Aceh tanpa mempolitisasi aspirasi masyarakat. Sehingga kebijakan pembangunan di Aceh memiliki daya lenting yang progresif. Dengan kesadaran ini pula akan memberikan perilaku mitigasi ketidaktepatan sasaran pembangunan di Aceh. Tentunya langkah ini bukan sekedar menggugah kesadaran, melainkan untuk meyakinkan semua pihak di Aceh agar cepat berbenah.
Sebelum menemukan pola penguatan kultur literasi di Aceh dalam agenda pembangunan, terdapat beberapa literasi sub-sektor yang harus terus diperkuat untuk keadaan Aceh hari ini. Literasi tersebut di antaranya adalah literasi ekonomi syariah, politik kewargaan, kewirausahaan, pertanian, perternakan dan kelautan, hingga pada penguatan literasi pencegahan pelecehan seksual.
Sederet literasi tersebut di atas mesti berbeda ruang lingkup permasalahan, namun memliki keterpaduan dalam proses pembangunan di Aceh. Sebab Aceh tidak mungkin dapat melaksanakan pembangunan secara efektif jika pejabatnya tidak anti korupsi, juga bagaimana mungkin pembangunan Aceh dapat stabil jika nilai moralitas tidak dihidupkan dalam setiap agenda pembangunan di Aceh. Pemahaman pembangunan seperti inilah yang penulis sebut sebagai membangun Aceh berbasis strategi kebudayaan.
Mencermati kondisi Aceh hari ini, masih belum ditemukan pola yang efektif dalam hal penguatan kultur literasinya, yang ada hanya agenda literasi yang terkadang syarat dengan praktik politisasi oleh lembaga tertentu. Sehingga efisiensi kegiatan literasi tidak memberi daya pengaruh yang baik bagi kesadaran dan daya dorong publik untuk mengawal agenda pembangunan Aceh. Penting juga diingat bahwa sasaran penguatan kultur literasi ini bukan saja pada lembaga-lembaga formal pemerintah, tetapi juga semua insan yang berada di Aceh untuk sama-sama membangun kejayaan Aceh melampaui yang pernah ada.
Dengan adanya kesadaran untuk memperkuat kultur literasi ini, secara tidak langsung minat baca publik akan hidup di dalamnya. Sehingga kekhawatiran Aceh terhadap banjir gelombang informasi masa kini dapat terbentengi. Jika agenda pembangunan Aceh, terutama dalam hal membangun Sumber Daya Manusia (SDM) tanpa meningkatkan minat baca publik, maka dapat dipastikan agenda-agenda pembangunan di Aceh akan lepas dari peran kontrol publik, dan berpotensi besar terjadinya kesenjangan sosial akibat pembangunan.
Adanya tulisan ini tidak ingin mengkonfirmasi sejumlah wujud pembangunan yang dilakukan pemerintahan Aceh saat mengalami ketidaktepatan sasaran, dan bukan pula ingin mengatakan bahwa proses pembangunan Aceh hari ini tidak sesuai kultur Aceh yang memiliki prinsip religius, jujur, adil dan transparan. Tetapi tulisan ini berusaha untuk menggiring publik agar jernih melihat kondisi pembangunan Aceh.
Ada banyak hal positif yang muncul ketika semangat membangun Aceh melalui penguatan kultur literasi. Beberapa di antaranya adalah solidaritas publik akan terjalin bersama pemangku kekuasaan di Aceh. Juga akan hadirnya generasi-generasi yang produktif, independen dalam bermitra atau menyokong kebutuhan Aceh di masa depan. Hal ini akan terjadi terus-menerus sebagai bentuk dampak dari kekuatan kultur literasi. Benar bahwa konsep kultur literasi ini tampak bersifat teoritis, namun saat digairahkan sebagai aktivitas publik, maka sungguh dimungkinkan kultur berliterasi Aceh akan sebanding dengan negara Filandia yang dikenal tingkat kebahagiaan warga negaranya membaik akibat minat baca dan kesadaran kebersamaannya tinggi.
Menjadikan Aceh sebagai daerah yang bebas dari dampak kemiskinan terstruktur adalah sebuah keharusan yang tidak saja menunggu solusi dari program pemerintah. Kreatifitas publik juga harus dinyalakan melalui berbagai pergerakan, boleh saja pergerakan tersebut datang dari masyarakat, generasi muda Aceh, atau datang dari negara asing. Keharusan membangun Aceh melalui kultur literasi ini senantiasa tidak hanya sebatas tawaran gagasan strategis, namun harus mampu mewujud dalam gerakan kolektif tanpa dibayangi dengan agenda politik elektoral menjelang Pemilu/Pilkada.
Upaya mengelola Aceh sebagai provinsi yang dikenal multipotensi, sungguh tidak elok melihat ketimpangan literasi terus menganga di ruang publik. Sebab salah-satu fungsi sebuah daerah adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai perpanjangan tangan negara menuju cita-citanya. Oleh karena itu, memahami kualitas pembangunan Aceh tidak saja dipandang dari sisi jumlah anggaran atau bangunan fisik, tetapi juga sejauhmana alokasi anggaran dan bangunan fisik tersebut dapat menunjang kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat Aceh. Dengan bercermin pada kultur kejayaan Aceh masa lalu, maka kita akan menemukan bahwa faktor penyebab kejayaan Aceh sejatinya bukanlah terpaku pada jumlah anggaran yang membengkak dari periode ke periode, melainkan terletak pada sejauhmana praktik kejujuran, adil dan transparan itu menjadi komitmen awal dari setiap agenda pembangunan di Aceh.