Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
Seiring kecanggihan politik yang berbanding lurus dengan kemajuan teknologi, tanpa terasa telah membuka arus narasi yang dialami Indonesia. Terjadinya gelombang narasi yang begitu padat kekuasaan saat ini mungkin tak terprediksikan oleh aktor-aktor intelektul gerakan 1998. Sebab persimpangan dari narasi kekuasaan yang muncul bukan saja menabrak etika politik normatif, tetapi juga telah menjadi kultur politik yang tanpa disadari merusak jati diri calon pemimpin bangsa (generasi).
Narasi kekuasaan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah narasi yang muncul dari berbagai pemangku kekuasaan saat membingkai jalan politik berbangsa dan bernegara. Berbagai gagasan dilontarkan di ruang publik, pencitraan sudah menjadi kebutuhan pokok, objektivitas hampir tak ada lagi dalam memahami arus gagasan yang dominan di Indonesia. Masing-masing pemangku kekuasaan mengalami letupan narasi melalui para pendukung dan penyokongnya.
Dalam kondisi ini rakyat nyaris tak dapat berbuat banyak sembari terus mengkonsumsi narasi yang disodorkan penguasa. Bahkan publik terperosok ke dalam agenda politik yang diinginkan penguasa. Peran kaum intelekual yang sejatinya menjadi penengah atau penjernih narasi yang menyehatkan publik tidak dapat berbuat banyak. Terkadang mereka justru menjadi bagian dari pendengung kekuasaan tersebut. Fenomena narasi seperti inilah yang penulis sebut sebagai adanya varian narasi kekuasaan. Secara umum, ada tiga varian narasi kekuasaan yang sedang berkembang di Indonesia masa kini.
Pertama, narasi pendengung. Varian narasi ini berusaha memberikan gagasan positif meskipun memiliki motif untuk memuluskan program penguasa (pemerintah). Ciri narasi ini sepintas lalu memang tidak banyak melontarkan nalar kritis, tetapi narasinya dibungkus dengan terus membuka harapan agar rakyat terus berfikir positif terhadap setiap kebijakan pemerintah. Gerakan ini misalnya dapat dipahami pada citra positif yang dibangun untuk menyukseskan program vaksin. Saat menggairahkan narasi pendengung ini sungguh jauh dari upaya merespons kendala vaksin di lapangan yang kacau dengan tidak menyebutnya tak peduli rakyat akar rumput.
Contoh lain misalnya bagaimana gagasan toleransi terus dikumandang meskipun praktik penjarahan sumber daya alam oleh pihak asing terus dilakukan. Meskipun narasi toleransi tersebut menyehatkan publik, namun demikian para pendengung dengan lincahnya menyelipkan kepentingannya untuk memuluskan suatu agenda politik yang ditentang oleh publik.
Kedua, narasi oposisi. Kontrol kekuasaan pemerintah di Indonesia masih dilakukan oleh kelompok oposisi. Oposisi dalam koneteks ini dimaknai bukan saja sebatas partai politik (parpol) di luar koalisi, tetapi juga dioposisikan oleh pihak-pihak yang memiliki pandangan politik yang berseberangan dengan politik pemerintah. Narasi oposisi terkadang mengalami kecenderungan kontra dengan narasi yang dimainkan oleh para pendengung pemerintah (narasi pendengung). Tak jarang pula narasi oposisi selalu berusaha untuk menciptakan ranjau atau menggiring titik kesalahan pemerintah.
Ketiga, narasi rekonstruksi. Varian narasi ini cenderung dilontarkan oleh pemikir, budayawan, akademisi, pegiat literasi dan aktivis demokrasi. Barisan kelompok ini terus berusaha membuka raung diskursus di ruang publik. Kelompok ini gencar-gencarnya melakukan narasi akal sehat yang terkadang bertolak belakang dengan narasi pendengung. Varian dari bagian ke tiga ini berusaha menciptakan strategi politik kebudayaan agar Indonesia dapat memperkuat politik etis guna mencapai cita-cita negara.
Saat tiga narasi di atas mengalami benturan, tidak jarang ada pihak-pihak yang tersandung kasus pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Keadaan seperti ini proses penciptaan Undang-Undang seakan ingin mengakomodir bagaimana menyikapi tiga narasi di atas ketika mengalami benturan. Pada posisi ini secara tidak langsung gagasan yang diekpresikan oleh publikpun sewaktu-waktu dapat melanggar hukum.
Demikian halnya keberadaan gagasan publik, baik itu ditelurkan oleh generasi muda maupun kaum tua yang melek kekuasaan. Publik terbelah tanpa memiliki benang merah untuk sama-sama menyelamatkan Indonesia dari praktik politik dagang sapi. Justru yang terjadi adalah perang narasi. Narasi pendengung berbenturan dengan narasi oposisi, kemudian narasi rekonstruksi membenturkan dirinya terhadap kedua narasi di hadapannya, bahkan narasi rekonstruksi tampak ingin terus mewujudkan idealitas dalam kekuasaan. Sehingga varian narasi ini terus membentuk lingkaran yang saling bersinggungan.
Perang varian narasi kekuasaan tersebut kemudian memberi warna tersendiri di ruang publik. Lembaga pers atau “pers” kewargaan pun tak ingin kalah dalam menampilkan narasi kekuasaan sesuai dengan pikirannya. Pada tahapan inilah secara tidak langsung Indonesia mesti terus-terusan diajak mengeja pelaksanaan demokrasinya. Sungguh tidak mungkin ketika perang narasi kekuasaan membabi-buta akan melahirkan pelaksanaan demokrasi Pancasila.
Prinsip demokrasi Pancasila seharusnya menjadi filter bagi bagaimana varian narasi kekuasaan tersebut disikapi rangkat. Namun upaya membingkai narasi kekuasaan oleh para subjeknya justru juga mengatasnamakan demokrasi Pancasila. Sungguh Indonesia hari ini surplus gagasan namun minus kemaslahatan.
Sampai saat ini, dampak benturan antar narasi kekuasaan telah menciptakan dinamika karakter berpolitik oleh generasi muda di Indonesia. Masing-masing aktor pemain narasi kekuasaan terus membenihkan gerakan yang guna mendapat berbagai dukungan dan sokongan. Artinya varian narasi kekuasaan tersebut telah menciptakan haluan pandangan politik generasi muda di Indonesia.
Potret perkembangan narasi sedemikian secara bertahap akan menjadi instrumen tempur politik generasi. Tidak satu lembaga atau perseorangan pun yang mampu membendung benturan tiga narasi kekuasaan ini. Kondisi ini kemudian berdampak pada peradaban Indonesia yang tidak hanya bicara masa lalu atau tamat membicarakan masa lalu. Tetapi juga bagaimana kondisi gagasan ini dapat mempengaruhi konfigurasi politik Indonesia hari ini masa depan.
Mencermati benturan narasi kekuasaan di Indonesia semakin tajam saat warga menumpahkan gagasan secara bebas melalui berbagai media sosial. Diakui atau tidak, kehadiran media sosial telah mempengaruhi pandangan politik generasi muda dalam menentukan sikap politiknya. Akibat benturan narasi kekuasaan ini pula Indonesia telah menciptakan haluan baru dalam berpolitik selain bersentuhan langsung dengan parpol. Karena warga atau generasi muda dapat mempraktikkan politiknya sesuai narasi yang diminatinya, apakah itu narasi yang dimainkan oleh pendengung, oposisi atau rekonstruksi.
Dengan adanya penciptaan haluan politik itu pula barang kali generasi muda Indonesia dapat menentukan langkah politiknya untuk benar-benar berpolitik secara etis atau non-etis. Karena jalan dan kenderaan politik di Indonesia hari ini semakin bervarian, hanya saja niat dan komitmen politik tersebut ingin hendak kemana dilabuhkan, apakah untuk memperkuat bangsa atau menghancurkannya secara bertahap dengan varian narasi kekuasaan yang terus dikemas dari masa ke masa.