Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Intelektual Menara Gading sebagai Penyakit Sosial

Jumat, 04 Juni 2021 | Juni 04, 2021 WIB Last Updated 2021-06-04T15:22:27Z


Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)


Keberadaan kaum intelektual saat ini patut disorot sebagai upaya konsolidasi perbaikan masyarakat. Hal ini menjadi penting karena varian golongan intelektual setelah reformasi terlihat banyak menghadapi persimpangan, dan terkadang gerakan kaum intelektual tak memberi dampak positif bagi kemaslahatan masyarakat. Munculnya gagasan intelektual publik secara tidak langsung memberikan sinyal bahwa kaum intelektual tidak boleh berpikir untuk dirinya sendiri, dan menjadikan permasalahan sekitarnya hanya sebatas penunjang karier pribadi.

Diakui atau tidak, adanya gerakan intelektual publik adalah antitesis dari intelektual yang fokus pada kariernya sendiri, atau sering menempuh langkah oportunis seiring meningkatkan kapasistas keilmuannya. Pada kondisi ini pula upaya peningkatakan ilmunya tidak mampu diaplikasikan di ruang publik karena ia justru lebih memilih zona nyaman dalam membela hak-hak publik. Atas keadaan kaum intelektual seperti inilah yang disering dianggap sebagai kelakuan intelektual yang berada di menara gading. Sederhananya, disebut intelektual menara gading karena gagasannya terlalu “gemilang”, sehingga tidak dapat tersentuh oleh kebutuhan sosial kemanusiaan.

Melalui kajian ini penulis berusaha membuka ruang pikir untuk menciptakan kondisi agar setiap lembaga atau majelis ilmu pengetahuan jangan sempat terus mencetak generasi intelektual menara gading. Sebab keberadaan mereka adalah bentuk dari penyakit sosial. Alasannya. Khazanah ilmu pengetahuan yang dimilikinya tidak berusaha bersungguh-sungguh untuk dihidupkan dalam proses perbaikan masyarakat.

Biasanya kaum intelektual seperti ini senang memberi ceramah atau orasi ilmiah meskipun tidak begitu relevan dengan kebutuhan pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Golongan ini merasa bangga dengan karier akademisinya tanpa menyadari bahwa karya mereka belum satupun yang dapat memberi pemecahan bagi daya pikir dan daya gerak untuk kemaslahatan masyarakat.

Justru dengan keberadaan mereka terus mendorong atau membangun stigma sosial bahwa teruslah belajar dan mengejar gelar dan pangkat agar mendapat strata sosial yang lebih tinggi di masyaralat. Padahal prinsip manusia yang berilmu pengetahuan tersebut harus berorientasi pada terbentuknya kesadaran kesederajatan umat manusia. Semakin berilmu semakin ingin membantu masyarakat. Bukan sebaliknya, semakin meningkat jumlah akademisi, maka semakin tak karuan kondisi masyarakat.

Dalam konteks ini terkadang patut kita renungkan bahwa mengapa semakin banyak sarjana yang dicetak oleh perguruan tinggi justru menjadikan faktor pendorong bagi angka pengangguran. Semakin banyak gelar profesor dan doktor pada suatu lembaga pemangku kebijakan tampak semakin mendiskriminasi produk sebuah kebijakan, atau semakin banyak yang berpendidikan, semakin tinggi pula anti politik kekuasaan. Golongan seperti ini yang diharapkan mampu menciptakan faktor pendobrak suatu kekuasaan yang tidak berpihak kepada kemaslahatan umum, justru mereka memberi jarak dan enggan berusaha memperbaiki kekuasaan.

Memang jalan liku dalam memahami peran kaum intelektual di Indonesia memiliki coraknya sendiri sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya, masa orde baru kaum intelektual memiliki kekuatan untuk mendobrak kekuasaan karena situasi rakyat mengalami berbagai persoalan. Sehingga kaum intelektual masa ini cenderung menjadi konseptor dan penggerak dalam merubah haluan kekuasaan. Produk dari kaum intelektual masa ini pun melahirkan berbagai tuntutan dan menyelamatkan negara masa itu.

Meskipun buah dari reformasi demokrasi masa kini mengalami kemerosotan, paling tidak citra kaum intelektual masa orde baru patut diparesiasi perannya. Beda halnya dengan kondisi masa kini, perguruan tinggi hampir tak ubahnya dengan partai politik (parpol), korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hampir menjadi tradisi yang diwariskan di perguruan tinggi. Demikian dengan kelengkapan administrasi dan oreantasinya seakan menjadi pemasok kebutuhan pasar, bukan mendorong penyelesaian masayarakat secara konkret.

Lemahnya funsi kontrol dan gerakan perbaikan sosial dan politik di setiap wilayah bangsa ini secara tidak langsung telah membuktikan bahwa masa kini kaum intelektual menara gading terus menjamur. Tidak ingin mengatakan bahwa banyak karya intelek yang tak bedanya dengan artefak, artinya hanya dapat dijadikan sebagai pengembang ilmu ke ilmu, dan tidak mampu menjadikan dari ilmu ke perbaikan masyarakat secara berkelanjutan.

Jika penularan cara pikir dan pola berkarier kaum intelektual menara gading ini tidak diputuskan, maka dapat dipastikan iklim ilmu pengetahuan akan menjadi timpang. Perkembangan ilmu pengetahuan dengan situasi sosial bagaikan minyak dan air jika hal ini tidak diurus secara bersama dan serius. Kaum intelektual hidup dengan pola hidupnya sendiri, dan realitas sosial terbengkalai dan liar secara alamiah. Belum lagi persoalan kaum intelektual yang lincah menjadi wayang sebagai tameng kekuasaan.

Atas kenyataan yang dialami Indonesia hari ini pantaslah arah ilmu pengetahuan dan tradisi belajar di Indonesia harus terus dijaga dan dievaluasi, jangan sempat Indonesia tanpa kawalan dan terus melahirkan manusia-manusia yang berpendidikan namun tidak memiliki nilai empati yang kuat untuk kemaslahatan bersama. Kondisi seperti ini bukan berarti Indonesia tidak memiliki falsafah pendidikan yang menjadi patron, melaikan semangat subjek yang berpendidikan harus memiliki kesadaran yang terpadu untuk memicu cara pandang bahwa gagasan bukanlah sesuatu yang mementingkan diri sendiri atau sekelompok mitra, melainkan harus mampu menabur semangat untuk terus berani bersama-sama memperbaiki daerah dan bangsa. Akhirnya, upaya kita dalam memperbaiki bangsa Indonesia melalui jalur pendidikan masih panjang dan berliku serta dihantui oleh kekuatan politik yang secara tidak langsung menginginkan generasinya sebagai generasi pembebek bagi kekuasaan yang tak normal.