Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis melaporkan dari Banda Aceh
Untuk kesekian kalinya saya “membolak-balik” dokumen terkait peran Ali Hasjmy sebagai serangkaian kegiatan riset yang saya lakukan di tahun 2021. Pada kesempatan itu pula satu di antara serpihan temuan saya terkait peran Ali Hasjmy adalah layaknya Ali Hasjmy disebut sebagai bapak Pancasila dari Aceh untuk Indonesia. Tentunya temuan ini bukan datang dari langit, melainkan temuan ini adalah hasil dari upaya dalam memahami tulisan-tulisan Ali Hasjmy, baik dirinya saat menjabat sebagai Gubernur Aceh maupun sebagai jurnalis di suatu perusahaan pers milik Jepang.
Maka dari itu jurnalisme ini berusaha menguraikan faktor dan alasan Ali Hasjmy layak disebut sebagai bapak Pancasila. Dan reportase ini pula dapat dijadikan salah-satu pintu masuk untuk mendorong pemerintah pusat agar Ali Hasjmy dapat disandangkan gelar pahlawan nasional. Sosok Ali Hasjmy merupakan generasi Aceh yang memiliki multibakat dan multiperan. Dalam catatan sejarah, Ali Hasjmy identik dengan tokoh intelektual, politisi, ulama, sastrawan, jurnalis bahkan pejuang “kemerdekaan” di bidang pendidikan Islam masa presiden Soekarno.
Saat membaca riwayat hidup Ali Hasjmy, multibakat dan multi peran terhadap kerakternya mulai terlihat sejak menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi Islam di Sumatera Barat (Padang). Hal ini ditambah dengan banyaknya ia bergerak dalam organisasi pergerakan dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Satu di antara banyak organisasi tersebut adalah Ali Hasjmy pernah menjadi Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) cabang Montasik (Aceh Besar).
Pemuda yang diasuh oleh nenek (nyak puteh) ini ternyata mampu mengendalikan dengan bijaksana dua arus berkekuatan besar pada masa prakemerdekaan. Dua arus tersebut adalah arus nasionalis dan arus militan Islam (DI/TII). Kemampuan pengendalian arus berkekuatan besar tersebut sempat memuncak pada saat Ali Hashmy ditunjuk sebagai gubernur Aceh pada tahun 1957. Hasrat kekuasaan pemerintah pusat menunjuk Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh terkisahkan melalui peristiwa Misi Hardi sebagai upaya pengamanan Aceh.
Melalui buku yang berjudul “September Berdarah” yang ditulis oleh Ali Hasjmy sekitar tahun 1993, tetapnya lima tahun seblum ia meninggal dunia di tahun 1998. Bagi saya, buku ini merupakan intisari akhir perjuangan Ali Hasjmy yang berusaha ia simpulkan, artinya tidak berlebihan jika menyebutkan buku ini adalah buku catatan akhir dari Ali Hasjmy untuk dapat dipahami oleh generasi bangsa bahwa pada masa itu Aceh sudah mencapai tahapan keistimewaan ditambah lagi dengan adanya kesepakatan yang disebut dengan Piagam Blang Padang. Pada kesempatan ini penulis belum ingin mengurai terkait sebab terjadinya Aceh sebagai daerah Istimewa, dan belum ingin menguraikan bagaimana sebab terbentuknya Piagam Blang Padang. Upaya hemat deskripsi ini hanyalah soal keterbatasan ruang untuk sebuah jurnalisme warga.
Berdasarkan buku “Semtember Berdarah” ditemukan bahwa Ali Hasjmy siap ditunjuk sebagai gubernur karena ia ingin menjadi air, bukan menjadi minyak yang memicu berkobarnya konflik di Aceh yang waktu itu tak lepas dari pengaruh DI/TII yang masih menguat di Aceh. Sehingga dengan sikap tegas dan cara pandang yang visioner, Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh dengan beberapa kontribusi kebijakan strategisnya bagi kemaslahatan Aceh. Pertama adalah kebijaknnya mampu mengelola berbagai diplomasi, sehingga DI/TII mendapat kesesuaian dengan Misi Hardi. Kebijakan kedua adalah terbentuknya Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam (Kopelma Darussalam) yang disokong oleh tiga corak pendidikan di Aceh dalam memajukan Aceh untuk kemerdekaan Indonesia.
Pada kesempatan ini pula saya tidak mengulang lagi bagaimana komunikasi politik Ali Hasjmy untuk menghadirkan presiden Soekarno untuk meresmikan Kopelma Darussalam, karena dominan masyarakat Aceh saat ini tampak sudah banyak mengetahuinya seiring terjadi peristiwa “ribut lahan dan ribut tembok serta ribut gusur” di kawasan Kopelma Darusslam. Namun benang merah yang ingin saya sampaikan adalah mampunya Ali Hasjmy menyelipkan semangat Pancasila dalam kebijakan pendidikan Aceh yang waktu itu masih kental dengan pengaruh DI/TII. Artinya Ali Hasjmy mampu membungkus antara Pancasila dan nilai keislaman secara terpadu ke dalam kebijakan politik pemerintahan Aceh saat ia menjabat Gubernur Aceh.
Fakta sejarah sedemikian secara tidak langsung menjelaskan kepada generasi bangsa hari ini bahwa jauh sebelum moderasi beragama dikumandangkan seperti masa kini, Ali Hasjmy telah awal membumikan semangat moderasi melalui konsep pendidikan dan strategi politik kebudayaannya. Dalam hal ini jika ditarik sebuah “oasis” pemikiran politik pembangunan dari Ali Hasjmy adalah tak lepas dari Pancasila.
Lebih menariknya lagi, Ali Hasjmy tidak hanya mampu melafalkan atau mahir berpidato terkait Pancasila, namun ia mampu menciptakan sebuah karya atau kinerja nyata untuk memerdekakan Aceh dengan memperkuat spirit Pancasila yang satu tarikan nafas dengan semgat keislaman Aceh waktu itu.
Jika meminjam istilah “saya Indonesia, saya Pancasila” maka boleh jadi sama halnya dengan mengatakan “Ali Hasjmy Indonesia, Ali Hasjmy Pancasila”. Sungguh sulit dibantah bahwa tanpa peran Ali Hasjmy mungkin Aceh masa prakemerdekaan sulit menerima Pancasila, terlebih Aceh pada masa itu simpatisan DI/TII tidak dengan jumlah yang sedikit. Hasrat saya menggiring Ali Hasjmy sebagai bapak Pancasila dari Aceh bukanlah upaya sedang memperjuangkan lebel atau gelar, melainkan upaya penggiringan ini senantiasa dapat menjadi pemicu generasi Aceh agar paham eksistensi keacehannya, bahkan akan memberikan khazanah generasi Indonesasecara umum ketika hendak memahami sejauhmana berpancasilanya masyarakat Aceh masa pascakemerdekaan.
Sehingga dengan upaya penggiringan ini kita dapat melawan lupa bahwa Aceh pernah sukses melakukan berbagai diplomasi politik dalam memperjuangkan hak-hak kearifan lokalnya. Melalui spirit ini pula kita boleh bertanya apakah kegagalan Aceh dalam melaksanakan Pilkada 2022 sebagai amanah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah serangkaian tanda bahwa elite Aceh hari ini tidak cakap berdiplomasi politik layaknya Ali Hasjmy?. Tentu untuk menjawab ini saya tidak kuasa menjawabnya. Atas tidak kuasa saya dalam menjawab hal ini, maka dipandangmenarik jika permasalahan ini dilemparkan ke ruang publik. Paling tidak, semua kita dapat berpikir secara kritis terkait bagaimana Aceh masa prakemerdekaan, dan bagaimana pula Aceh masa kini dan dikemudian hari.
Selain itu, jurnalisme yang bermuatan penggiringan spirit memahami peran Ali Hasjmy ini senantiasa memicu generasi milenial untuk tertarik mempelajari tokoh-tokoh Aceh yang tak kalah nilai inspirasinya dengan tokoh-tokoh di luar negeri. Sehingga dengan upaya penggiringan kesadaran tokoh Aceh seperti Ali Hasjmy dan perannya dalam membumikan Pancasila dinegeri ini, masihkah menjadikan Ali Hasjmy tak kunjung dinobatkan sebagai pahlawan nasional? Hanya pada Allah Swt kita berserah diri.