Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Badan Riset Keagamaan dan Kedamaian Aceh (BARKKA)
Adanya hiruk-pikuk politik anggaran pada suatu daerah merupakan suatu dinamika yang lazim dalam berdemokrasi. Untuk itu, banyak strategi dan teknik dalam memperkuat demokrasi bangsa. Salah-satunya adalah memperkuat demokrasi Pancasila dari sektor daerah. Dalam konteks ini penulis mencoba memahami dinamika gerakan kepemudaan di Aceh yang akhir-akhir ini memanas terkait quo vadis gerakan kepemudaan di Aceh. Suatu kelaziman pula adanya pembelahan arus gerakan generasi muda, misalnya ada yang mengarah pada hasrat oportunis, dan ada yang mencoba terus membuka jalur tengah sembari berupaya mendulang kesadaran generasi muda untuk memperkuat fungsi kontrolnya.
Makna fungsi kontrol di sini bukanlah seperti fungsi kontrolnya legistatif yang terkadang bisa rapuh akibat tarik-menarik kepentingan tertentu, tetapi funsi kontrol ini adalah bahasa lain dari tanggung jawab generasi muda dalam memperkuat gerakan akal sehat demi adanya proses berdemokrasi yang mengedepankan sikap integritas dan transparansi. Dua pilar sikap (integritas dan transparansi) bisa saja muncul melalui upaya saling membuka ruang diskursus bersama tanpa bermotif kebencian, melainkan sebatas membuka kerangka pikir bersama untuk kemudian terdorongnya saling ingat-mengingatkan.
Sudah menjadi konsekuensi pula bahwa di celah fungsi kontrol tersebut terselip “provokasi akal sehat” yang sekelompok orang tidak menyukainya. Dan tidak lebih kurang pula banyak yang membutuhkan kehadiran dari “provokasi akal sehat tersebut”. Urgensitas memperkuat fungsi kontrol kepemudaan di Aceh muncul seiring dominannya aliran anggaran yang dikucurkan pada provinsi yang khusus ini. Dengan kekuatan pikir dan jaringan serta solidaritas kepemudaan Aceh yang dimiliki sungguh strategis menjadi wadah aspirasi rakyat di segala program yang mengatasnamakan rakyat. Daya lenting fungsi kontrol ini paling tidak dapat memberikan efek pencegah agar penyalahgunaan anggaran tidak menjadi-jadi. Apakah itu anggaran yang dikuasai oleh pemerintah sendiri atau lembaga kepemudaan dengan berbagai coraknya.
Di balik hadirnya tulisan ini bukan ingin sedang mengatakan bahwa potensi gerakan kepemudaan di Aceh sedang mengarah pada anti kritik, atau mengarah pada menghambakan diri pada senioritas tanpa mengedepankan nilai integritas dan transparansi untuk sama-sama membangun Aceh. Sebab kondisi Aceh hari ini tidak dapat ditopang pada satu upaya pembenahan saja, ia membutuhkan berbagai sektor pembenahan. Apakah itu pembenahan karakter pemuda atau pembenahan laju gerak organisasi kepemudaan.
Sudah menjadi tesis bersama bahwa rusaknya mentalitas pemuda, maka akan mempengaruhi kekuatan kontrol civil society pada suatu daerah. Dimana pemuda memiliki berbagai kesempatan untuk mengawasi arah negara atau daerah dalam mencapai cita-citanya. Konkretnya, dengan semangat darah muda, boleh saja pemuda menagih janji politik yang disodorkan dalam setiap program kerja pemerintah atau suatu organisasi kepemudaan. Jika sesama organisasi kemudaan alergi dalam hal pengawasan, maka bagaimana pula jadinya jika organisasi kepemudaan tersebut mampu mengawas arah pemerintahan daerah atau nasional? Sungguh dengan berbagai upaya pencegahan dini dalam memperkuat fungsi kontrol kepemudaan tidak boleh melemah dengan berbagai intervensi apapun.
Benar bahwa yang namanya upaya pembenahan tidak selalu bersifat apresiasif dengan asesoris pujian di dalamnya, karena tak semua yang dipuji itu berujung pada kemaslahatan. Bisa jadi yang memuji bagian dari upaya merusak, dan yang “memprovokasi” bisa jadi bagian dari rambu-rambu penyelematan. Dengan pemahaman seperti ini secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa dalam memberikan fungsi kontrol tersebut jangan terlalu takut pada cemooh sekelompok orang, atau dikritikan balik. Sebab hal ini sifatnya alamiah. Karena dalam hidup tidak mungkin semua menyukai yang memberikan gagasan, begitu pula sebaliknya.
Walau bagaimanapun situasi gerakan kepemudaan Aceh hari ini, gerakan tanpa membenih kekuatan politik oligarki harus terus ditumbuhkan, pembenihan mentalitas pemuda Aceh yang berfikir merdeka harus terus dipacu seiring mendorong penguatan inovasi dalam membangun kemandirian hidup dan beraktivitas. Pada posisi ini setiap gerakan kepemudaan harus dibuka ruang diskursus sebagai proses pembentukan jati dirinya dalam bergagasan di ruang publik, sehingga pada kesempatan inilah publik secara lokal dan nasional mampu melihat sejauhmana seorang atau sekelompok orang dalam menjalankan gerakan atau kepemimpinan gerakannya.
Kesadaran untuk memperkuat generasi muda dalam tulisan ini sejatinya bukanlah kajian baru, melainkan spirit seperti ini telah dilakukan oleh generasi terdahulu di Aceh, misalnya gerakan pemuda atau pelajar bagian dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Sosok seperti ini dapat kita pahami bagaimana peran Ali Hasjmy di masa mudanya yang mampu menabur gagasan kontrolnya melalui literasi yang ia sajikan di ruang publik Aceh-Indonesia masa itu. Pada masa ini pula terlihat adanya publik yang memberi penilaian bahwa pergerakan Ali Hasjmy tidak semuanya disukai, bahkan masih menuai kontraproduktif bagi generasi masa kini.
Tidak ingin bermaksud untuk menyamakan semangat gerakan pemuda Aceh hari ini dengan gerakan Pemuda/Pelajar PUSA di masa lalu, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa pemuda Aceh hari ini dapat mengembalikan kekuatan kontrol kebijakan daerah dengan benar-benar membela kepentingan masyarakat, bukannya menjadi pemuda yang mahir mempolitisasi aspirasi rakyat demi kepentingan sekelompok orang.
Dengan terus-terusan menabur benih kewarasan berpikir dan bertindak bagi pemuda Aceh hari ini sama halnya kita sedang menanam kecambah bagi tumbuhnya kesejahteraan terhadap seluruh masyarakat Aceh sebagai akibat dari menguatnya integritas dan transparansi yang melekat pada sebagian besar generasi muda di Aceh. Mungkin suatu yang dianggap nihil bagi kondisi hari ini untuk menemukan adanya sekelompok pemuda yang betul-betul tulus berjuang demi kepentingan rakyat, tetapi berdasarkan pemikiran penulis bahwa pasti ada waktu akan hadirnya sekelompok pemuda Aceh yang dalam “sunyinya” terus berbuat memperbaiki kekeliruan dan mengembangkan setiap potensi yang telah ada di tanah serba syariah ini.
Akhirnya, melalui kajian ini senantiasa dapat mendorong kaula muda di Aceh untuk terus maju tanpa gentar memperkuat fungsi kontrolnya, dan tidak pula keluar dari koridor visi memperbaiki nasib daerah dan menyelamatkan generasi Aceh agar jauh dari penguatan politik-politik kaum oligarki. Sayangnya untuk kondisi seperti ini, iklim pelaksanaan syariat Islam belum mampu disadari oleh beberapa pemuda di Aceh sebagai panglima dalam mencapai cita-cita keacehan yang syarat dengan nilai keislaman dan elegansi kemanusiaan.