Oleh : Dewi Kartini
Matamu terbelalak ketakutan. Tubuhmu gemetar mengeluarkan keringat dingin. Kau menggigit bibirmu hingga bengkak lebam dan mengeluarkan darah. Kau meringkuk di sudut ruang tak berpenghuni itu. Ku dekatkan wajahku padamu. Kau menjerit histeris dan menyembunyikan tatapan takutmu serta menenggelamkannya di antara lututmu. Kau semakin menggigil dalam perasaan takut dan bersalahmu. Aku tertawa puas lepas. Ngakak.
Aku menang!
*
Enam bulan lalu Jainul. Masih terlintas jelas dalam ingatanku. Kau lingkarkan emas 99 karat seberat 20gram di jari manisku sebagai pengikat halal hubungan kita. Meski orang tuaku tak merestui kau menjadi suamiku, sebab mereka tau kau adalah suami dari wanita lain yang telah beranak tiga, Aku tetap melambungkan hasrat cintaku dan menjadi istri keduamu.
Cibiran dan makian orang-orang telah menjadi kicauan pemeriah hari-hariku setelah pernikahan itu. Bagaimana tidak Jainul. Aku telah menjadi orang ketiga dalam rumah tanggamu. Namun demi harapan 'indah pada akhirnya' membuatku menebalkan wajah dan telinga agar tetap bersamamu.
Taukah kau Jainul? Hatiku sakit tiap kali kau berpamit untuk bermalam di rumah istri tuamu. Tapi apalah dayaku. Aku hanya benalu yang menumpang pada singgasanamu. Tapi harapan 'indah pada akhirnya' membuatku mengalahkan ego dan menyembunyikan api cemburuku. Toh, aku paham betul posisiku yang bukan 'penguasa' sepenuhnya atas dirimu. Dan aku merelakannya karena ini risiko yang harus aku terima sebagai istri muda.
Dua bulan berlalu, dan sikapmu pun berubah padaku Jainul. Kau tak pernah lagi berpamit ketika menginap ke rumah istri tuamu. Sering kuhabiskan malam untuk menunggumu pulang hingga aku menahan kantuk yang teramat sangat, karena takut ketika aku terlelap aku tak mendengarmu mengetuk pintu.
Hari-hari berikutnya semakin berat Jainul. Ketiak dua garis merah keluar dari alat penguji urinku, kau semakin jarang menemuiku. Padahal di saat-saat seperti itu, aku sangat mengharapkan perhatianmu. Tapi aku tak mengeluh Jainul. Aku tetap berpikir waras bahwa mungkin istri tua dan anak-anakmu sedang membutuhkan kehadiranmu. Tanpa sepengetahuanmu Jainul, sering aku terkulai karena lapar. Sebab di dapur tak ada yang tersisa untuk dimakan, karena kau tak lagi memberiku uang belanja seperti bulan-bulan sebelumnya. Meminta pada orang tua? Aku tak berani Jainul. Sebab setelah ijab dan qabul yang kau ikrarkan dengan ayahku, sejak hari itu aku tak lagi mereka anggap bagian dari keluarga itu.
Hingga hari itu tiba Jainul. Karena beban lapar yang tak lagi mampu kutanggung, kuberanikan diri menjual cincin yang kau lingkarkan di jariku enam bulan yang lalu untuk memenuhi kebutuhan dapurku. Hasil menjual emas itu, kusisihkan sebagian sebagai uang tabunganku. Cemas kalau nanti aku melahirkan, kau tak memberi uang untuk keperluanku dan calon bayiku.
Hari itu, kau pulang dengan wajah lelah penuh amarah. Aku tak berani menanyaimu, sebab mungkin kau tak ingin berbagi cerita padaku. Segelas air putih kuhidangkan untukmu. Tapi dengan bengis kau banting gelas dan membentakku. "Aku tak butuh air putih, Tolol! "
Aku ternganga mendengar ucapanmu. "Cepat berikan padaku cincin pernikahan yang kuberikan dulu! Aku sedang butuh uang." nadamu semakin meninggi. Aku berdalih, aku menanyakan perihal kegunaan uang itu. Tapi dengan lihai kau cengkram erat leherku dan berteriak "Kau tak perlu tahu wanita Jalang!" "Karena kau rumah tanggaku hancur berantakan. Coba kalau waktu itu aku tak tergoda dengan rayuanmu, pasti saat ini rumah tanggaku baik-baik saja dan istriku tak minta cerai. Cepat berikan cincinnya Bangsat!" Kau menghentakkan tubuhku dengan keras. Perutku yang mulai membuncit membentur sudut meja dan darahpun membanjiri lantai. Tanpa menghiraukan keadaanku yang meringis kesakitan, kau tetap memintaku untuk memberikan cincin pemberianmu itu. Dengan tertatih aku mencoba berdiri dan menjelaskan perihal cincin itu yang telah kujual. Kau semakin murka. Wajahmu berang. Dengan bringas Kau meraih lenganku, mencengkram tengkuk leherku dan membenturkan kepalaku berkali-kali ke tembok yang tanpa plaster rumah itu. Seketika tubuhku ambruk menghantam lantai. Darah semakin membanjiri ruangan itu. Dan duniaku sirna.
Tapi kau tak tahu Jainul, Aku melihatmu gemetar ketakutan. Sambil mondar-mandir dan menggaruki kepalamu yang tak gatal, kau berusaha mencari cara menyingkirkan tubuhku yang bersimbah darah itu. Lalu aku melihat wujud lain dari dirimu. Dengan dua tanduk runcing yang berapi-api di kepalamu, kau tersenyum culas. Kau menemukan cara untuk menyembunyikan kejahatanmu. Kau mengambil sebilah pisau dan mengiris lenganku. Lalu kau letakkan pisau itu di tanganku yang lain. Kau rancang posisi tubuhku sebaik mungkin. Kau ingin mengarang cerita, bahwa Aku mengakhiri hidupku dengan cara BUNUH DIRI.
Kau tak menyadari Jainul. Ketika kau lari mencari tempat bersembunyi dari kejahatanmu itu, aku ikut bersamamu. Aku memeluk erat lehermu dan melingkarkan lengan dan kakiku yang bersimbah di punggungmu.
*
Aku bahagia Jainul. Melihatmu dengan wajah lebam babak belur dihajar warga, pelipismu pecah, dan beberapa gigi depanmu rontok, dengan darah segar menggenang dari hidung dan celah bibirmu yang pecah, serta kaki dan lenganmu patah membuatku tersenyum PUAS. Aku melihat beberapa Polisi dengan pakaian dan peralatan khusus menggotongmu dengan tertatih. Kau akan mempertanggung jawabkan perbuatanmu.
Beberapa saat setelah mereka membawamu Jainul, Aku melihat orang-orang mengankat jasad seorang perempuan dengan darah yang menggenang dari kemaluannya, pelipis yang pecah karena terbentur tembok tanpa plaster, dan sayatan pisau di lengannya.