Oleh: Sofyan Hadi
Pertemuanku dengan Bang Fyan dimulai ketika awal kuliah di Bandung. Dia adalah kakak tingkat tetapi berbeda jurusan. Aku kuliah di jurusan Biologi, sementara dia di jurusan Bahasa Inggris.
“Aku, Mey, Bang.”
“Fyan,” jawabnya dengan suara pelan.
“Bang Fyan tinggal di mana?”
“Tinggal di Gang Manisi.”
Kami saling berkenalan di kegiatan orientasi pengenalan organisasi kedaerahan. Sebagai mahasiswi baru, selain mengikuti orientasi di kampus, aku juga mengikuti perkenalan di organisasi kedaerahan. Kebetulan kami berasal dari daerah yang sama. Dia selalu memanggilku adik, layaknya seorang kakak pada adiknya.
Semenjak perkenalan itu, pertemanan kami semakin akrab. Bang Fyan sering berkunjung ke tempat kos. Dia sering membantuku kala diminta ataupun tidak. Sikapnya yang baik membuatku bertambah dekat.
Pada awalnya, hubungan kami tidak ada yang istimewa. Namun, seiring pertemuan yang semakin sering, aroma perasaan suka mulai menyelinap dalam hati. Aku melihat sikap dan perhatian Bang Fyan, sepertinya ia juga menyimpan perasaan yang sama. Perasaan itu terasa sampai hati yang paling dalam, walaupun tak terucap. Menurutku, perasaan ini bagai kopi tubruk, kopi hitam dengan bulir-bulir kasar. Saat sudah diseduh, sensasi aroma khasnya mampu menyelinap sampai ke ubun-ubun melewati rangkaian sel yang saling bertautan satu sama lain.
Bang Fyan adalah seorang pecinta minuman kopi, khususnya kopi tubruk. Kegemaran minum kopi tubruk, telah menjadikannya sebagai seorang filsuf dalam hidupnya. Walaupun berbeda dari berbagai aspek dengan orang lain, tapi ia tidak menutup diri untuk berkolaborasi dan bekerjasama. Jangan pernah menilai orang dari bentuk dan rupanya. Filosofi kopi tubruk itu telah menjadi bagian dari visi hidupnya. Menurutnya, ketika kopi sudah diminum, sensasi tidak terbatas pada aroma khasnya saja melainkan memunculkan kenikmatan yang dapat menghilangkan kegalauan yang menghantui hati dan pikiran.
***
Suatu hari, kami pergi nongkrong di Kafe Kopma--tempat makan yang biasa menjadi tempat favorit setiap kali hangout.
“Dik, bolehkah aku mengatakan sesuatu?” tanyanya setelah menyeruput kopi tubruknya dengan raut yang menunjukan kecemasan.
“Bo-boleh. Mau ngomong apa, Bang?” kataku agak gugup dan balik bertanya. Aku melihat gelagat yang berbeda dari Bang Fyan.
“Abang jatuh hati padamu, Dik. Perasaaan ini ternyata tidak dapat disembunyikan. Hati ini tidak bisa dibohongi. Abang tidak hanya memandang adik sebagai seorang teman, tetapi lebih dari itu.”
Dug ... dug ... dug!
Jantungku tiba-tiba berdetak kencang setelah mendengar ucapan Bang Fyan. Aku tersedak. Makanan yang kukunyah hampir saja tersembur keluar. Beberapa saat, lidahku terasa kaku dan mulut seakan terkunci tak mampu berbicara sepatah kata pun. Hati ini terasa berbunga-bunga seperti kuncup yang baru mekar.
“Bagaimana jawabanmu, Dik?” tanyanya tak sabar menunggu.
Kutarik nafas sangat dalam dan mencoba menyembunyikan perasaan kaget. Aku tak menyangka Bang Fyan akan menyampaikan perasaannya. Hati ini masih belum sepenuhnya percaya, walaupun sebenarnya aku juga memendam perasaan yang sama.
“Adik … ma-mau. Tentunya dengan segala kekurangan yang adik miliki,” ucapku dengan sedikit bergetar.
“Terima kasih, Dik,” ujarnya seraya meraih tanganku dan mengecupnya dengan sepenuh hati. “Abang telah memilih Adik sebagai kekasih hati, Abang janji akan setia menjadi kekasih Adik sampai akhir hayat.”
Saat itu, Bang Fyan menatapku tanpa berkedip sedikit pun. Tatapannya membuat hatiku luluh lantak.
“Iya, Bang.” Aku mengiyakan janji suci yang diucapkannya.
Itulah janjinya sebagai seorang kekasih pujaan hatiku. Janji itu telah mengikat dua hati yang berbeda ini. Bagai kopi dan gula, berbaur menjadi satu dan saling melengkapi satu sama lain. Menanggalkan warna dan rasa yang berbeda, menjadi satu cita rasa jiwa yang saling memberikan kesempurnaan.
Langit dan bumi menjadi saksi rajutan dua irisan hati manusia yang terhinggapi aroma cinta yang wangi semerbak, seperti aroma kopi tubruk yang memenuhi ruang dan relung hati. Ya, Tuhan. Berilah keteguhan pada kami sehingga kami terus bersama sampai akhir hayat, doaku.
***
Tahun ini, Bang Fyan terpilih menjadi salah satu ketua wilayah di organisasi kedaerahan. Aku mencoba ikut mendampinginya di berbagai kegiatan manakala sedang tidak kuliah atau ada kegiatan yang lain. Selama setahun menjalani tugas sebagai ketua organisasi, kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu. Hubungan kami tetap terjalin dengan baik.
Namun, kami mengalami sedikit kesalahpahaman disaat Bang Fyan memberikan laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatannya sebagai ketua organisasi. Kala itu, aku bertindak sebagai peserta musyawarah dan ikut serta dalam voting untuk memutuskan apakah laporan pertanggungjawaban Bang Fyan diterima atau tidak.
“Dik, kok tadi kelihatan ikut menolak laporan pertanggungjawaban abang?” tanyanya dengan wajah kelihatan sedikit marah.
“Nggak, Bang. Tadi adik tidak menolak LPJ Abang.” Aku mencoba memberikan penjelasan. “Pada saat penghitungan suara yang menolak, teman yang duduk disamping memberikan suara dengan mengangkat tangan adik, sehingga seolah-olah adik yang memberikan suara.”
Wajah Bang Fyan terlihat kesal setelah adanya penolakan hasil akhir pada laporan pertanggungjawabannya sebagai ketua.
“Bang, sabar ya. Ini hal yang biasa terjadi. Jangan dijadikan beban.” Aku berusaha menenangkannya.
“Iya, terima kasih,” jawabnya agak dingin.
***
Sudah dua minggu ini, Bang Fyan belum menampakan batang hitungnya. Aku sangat khawatir dengan keadaannya. Walaupun aku memahami perasaaanya yang sedang mengalami situasi yang tidak enak, kekalutannya menjadikan diriku ikut merasakan kecemasan. Jangan-jangan bukan karena belum bisa menerima kondisi kemarin? Apakah karena sikapku atau ada orang lain yang menjadi penghalang hubungan kami?
Seorang temanku memberikan kabar bahwa dia melihat Bang Fyan seperti menghindar disaat Bang Fyan melihatku sementara aku tak melihatnya. Bahkan, Mila--sahabatku--juga pernah melihat Bang Fyan sedang berjalan dengan perempuan lain. Ah! Pikiran negatif itu segera kubuang jauh dalam pikiran. Aku masih belum percaya dengan informasi yang diberikan teman-teman.
Setelah selesai kuliah, aku segera berjalan ke tempat kos Bang Fyan. Ternyata dia sedang keluar. Menurut teman satu kos-nya, dia hanya keluar sebentar saja. Kuputuskan untuk menunggunya. Benar saja. Tak berselang lama, Bang Fyan muncul.
“Dik, sudah lama nunggu, ya?” tanyanya.
“Belum lama, Bang. Bagaimana keadaan, Abang?” Kuberanikan diri untuk bertanya. “Ini adik bawakan kopi tubruk kesukaan Abang.”
“Terima kasih, Dik. Abang baik-baik saja. Dua minggu ini hanya ingin istirahat untuk menenangkan pikiran,” ucapnya. Di sudut matanya masih terlihat raut kesenduan.
“Syukurlah jika Abang baik-baik saja, tapi kenapa Abang tidak pernah menghubungiku?” tanyaku lagi.
Hatiku terasa sedikit lega mendengarnya. Namun, tetap saja aku tak berani bertanya tentang informasi yang disampaikan oleh teman-teman.
“Abang hanya ingin menenangkan pikiran saja.” Jawaban yang sama meluncur begitu saja dari mulutnya.
Menurutku, dalam setiap hubungan, warna dan rasa yang berbeda akan saling bertolak belakang jika tidak dipadukan dalam balutan komunikasi yang mengedepankan kejernihan berpikir dan kesamaan visi hidup. Keterpaduan rasa tidak akan terwujud bila egoisme masing-masing mulai saling menyalahkan. Kali ini, Bang Fyan terlihat dingin dan acuh dengan diriku. Diam-diam, aku mulai mengkhawatirkan hubungan kami. Aroma dan rasa cinta nan indah itu terasa mulai mengendap. Namun, aku akan terus berusaha meyakinkannya bahwa aroma dan rasa cintaku masih tetap ada hanya untuk dia.
***
“Abang, kapan berangkat ke tempat program kuliah kerja nyata?”
“Kenapa, Dik?” Dia balik bertanya.
“Tanya, aja. Ya, setidaknya Abang memberitahuku,” jawabku dengan nada agak tinggi.
Ada perubahan sikap pada diri Bang Fyan. Beberapa hari yang lalu, aku mendengar informasi dari temannya bahwa Bang Fyan akan berangkat KKN, tapi ia sama sekali tidak memberitahuku tentang kegiatan tersebut.
“Iya maaf, tapi tidak semua yang abang lakukan harus diinfomasikan, ‘kan?” Kali ini jawabannya membuatku lebih kesal.
Sebenarnya, aku sangat marah dengan sikap Bang Fyan. Namun, aku tetap menyembunyikannya. Akhir-akhir ini, perhatiannya padaku berkurang dan sikapnya semakin dingin. Semoga filosofi kopi dalam hati dan pikiranya tidak pernah luntur, karena filosofi itulah yang telah meluluhkan hatiku untuk berlabuh dalam aroma cinta kopi tubruk kegemarannya, doaku.
***
“Mey, ini ada surat dari Bang Fyan. Tadi dia titip padaku.” Teman satu kos sekaligus sahabatku menyampaikan sebuah titipan surat.
“Terima kasih, Mila,” ucapku dengan wajah menunduk, berharap Mila tidak mengetahui perasaan tidak enak yang kucoba sembunyikan.
Aku terduduk sambil menyandar ke tembok sesaat setelah kubaca surat dari Bang Fyan. Kaki terasa lemas dan tak berdaya menopang tubuh. Buliran bening mulai berjatuhan dari sudut mata. Perasaan marah mulai memuncak sampai ke ubun-ubun dan pikiran pun menjadi kacau. Ingin rasanya mengakhiri hidup ini. Aku sangat marah dengan perlakuan Bang Fyan. Dia sungguh tak berperasaan, memutuskan ikatan cinta suci yang dirajut dengan aroma kopi tubruk hanya melalui sepucuk surat. Pikiran terus meracau hingga aku jatuh pingsan.
***
Beberapa hari berselang, saat kondisiku mulai membaik.
“Aku tahu kamu bisa melewati kondisi ini, Mey,” kata Mila memberikan motivasi. Dialah yang selalu mendampingiku saat mengalami depresi.
“Sungguh aku tidak percaya, Mil. Orang yang selama ini kubanggakan dengan filosofi kopi tubruknya yang kuat telah pergi, seperti tertelan oleh filosofinya sendiri,” kataku dengan tatapan yang kosong.
“Sabar. Kamu harus tahu satu hal, jadikan ini sebagai pelajaran untukmu. Terkadang, belum tentu semua hal yang dianggap baik, itu berakhir baik. Juga sebaliknya. Tetapi kamu juga harus memiliki komitmen yang kuat untuk memperjuangkan yang baik itu dengan cara-cara yang baik pula. Kalaupun belum berhasil, setidaknya kamu sudah berjuang. Jangan menyalahkan proses atau perjuangan itu,” ucap Mila.
Aku termenung mendengar nasihat Mila. Sampai saat ini, aku masih belum menemukan jawaban kenapa cinta Bang Fyan tiba-tiba berubah menjadi dingin dan tak berasa seperti ampas kopi tubruk.
--END--
“Cintamu bagai ampas kopi tubruk, mengendap dan tak berasa. Awalnya nikmat dan harum, tapi pada akhirnya hilang dan tak beraroma.”
(Bojongmangu Bekasi, 26 Februari 2020)