Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ritual 17

Minggu, 12 Juli 2020 | Juli 12, 2020 WIB Last Updated 2020-07-12T01:48:47Z

Oleh: Lasma Farida

Malam ini, malam ketujuh, aku tidak berani tidur. Aku ketakutan dihantui oleh mimpi, yang sudah enam malam berturut-turut mengisi malamku. Aku larutkan diri, dengan membaca Alquran di kamar. Tiba-tiba Androidku berdering dengan nada panggilan khusus dari Ine, aku segera tekan tombol hijau menjawab telepon.

“Lesly, malam ini tanggal berapa? Kamu tahu dan pahamkan? Apa yang harus ... dilakukan pada Mesly cucuku?” Ine menutup teleponnya

Sudah tidak punya banyak waktu, aku harus punya keberanian untuk menyampaikan kemelut pikiranku kepada mereka tercinta. Aku harus bicara sama suamiku, kutemui dia di ruang kerjanya

“Mas, ada yang mau Adik bicarakan. Boleh kita bicara sekarang?” kataku pada suami. Dia menatapku dan tersenyum. “Sangat boleh Sayang, silakan! Tidak biasanya seperti ini, ada apa Dik?” tanyanya dengan raut wajah keheranan

“Mas, kita harus segera pulang kampung! Keluarga besar sedang mempersiapkan ritual khusus untuk Mesly. Putri sulung kita pada tanggal 17 bulan 7 tahun 2017 berusia 17 tahun. Tanggal ini, sudah lama ditunggu .... Ritual 17 ... tradisi dalam keluarga, harus kita laksanakan! Maafkan aku Mas, tidak punya kuasa untuk menjelaskan tentang ritual ini. Nanti akan ada penjelasan dari sesepuh keluarga,” jawabku

Suamiku di tempat duduknya, terdiam dan kebingungan. Aku meninggalkannya sendirian di ruang kerja. Perasaan berkecamuk rumit dan gundah gulana bak dililit oleh tujuh belas persoalan kehidupan. Ada seseorang yang sesegera mungkin harus kutemui.

“Mesly Sayang, belum tidur Nak? Tolong tutup laptopnya! Mama mau bicara. Mesly ... kamu orang pilihan keluarga, tepat di hari usiamu 17 tahun, kita harus sudah berada di kampung. Kita harus segera buat agenda pulang kampung ke kampung Mama. Untuk hal ini, nanti ada penjelasannya dari Awanmu dan sesepuh keluarga kita. Minumlah air putih ini!” ucapku sembari menyulang segelas air putih ke mulut Mesly dan kupeluk dia.

Aku sedikit lega, sudah menyampaikan rencana ritual tujuh belas kepada suamiku dan Mesly putriku. Segelas air putih dengan tujuh belas kali diaduk dengan sendok bersih yang diiringi bacaan 17 ayat suci Alquran, air itu sudah diminum oleh putriku. Sengaja menghindari diskusi dan pertanyaan dari suamiku dan Mesly. Segera kembali ke kamar menuju ranjang, aku ingin tidur. Semoga malam ini, aku terbebas dari mimpi didatangi oleh leluhur.

Alhamdulillah, aku terbebas dari mimpi itu. Tanggal 23 Syawal 1438 H, Usia Mesly 17 tahun. Kami pulang untuk ritual 17 dan silaturahmi Idul Fitri.

Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta melayani penerbangan aku dan keluarga menuju Bandara Rembele. Pemandangan alam pergunungan gunung berapi Burni Telong dan hamparan lahan kosong yang luas serta udara yang dingin menyapa kedatangan kami di tanah kelahiranku

Mata dan hidungku menangkap suasana yang asing, yang hanya bisa kuungkatkan dalam hati, “Ini areal tempat aku bermain ketika itu ... hamparan hutan pinus hijau dengan liupan dahannya yang menari kala tertiup oleh angin pergunungan, irama gemercik air dari air terjun yang sangat mendamaikan suasana hati bersama kebeningan air alur sungai dari gunung, dan aroma belerang dan arang hitam ... lenyap entah ke mana?”

“Mama, sepertinya Mesly pernah bermain bersama Mama di tempat ini Ma.” Ungkapan Mesly membuyarkan lamunanku. “Kenapa anakku merasakan apa yang aku rasakan? Bukankah zamanku berbeda dengan zamannya? Dia baru kali ini ke sini, ada apa ini Ya Allah?” pertanyaan, kusimpan dalam hati.

“Mesly dan Papa, kita berdua baru kali ini, ke sini Nak. Lain halnya Mama, bisa jadi ini wilayah jajahannya waktu kecil,” sela suamiku dengan candaannya. Aku hanya tersenyum kepada dua orang tercinta yang berada di hadapanku dan membelai kepala Mesly. 

“Tuh, kita sudah dijemput oleh Pamanmu Mesly,” kataku sembari menunjuk ke arah lambaian tangan adik laki-lakiku.

“Kak Lesly, Mas Brian, dan Mesly, selamat datang. Mari kita pulang! Keluarga besar sudah menunggu di rumah pitu ruang.” ucapan adikku membuat Mesly seperti kegelisahan dan kepanasan.

Aku peluk Mesly. “Kenapa Nak? Apa yang kamu rasakan? Ceritakan sama Mama!” dia hanya diam tidak menjawab pertanyaanku, matanya liar seakan mencari sesuatu. Dengan seketika suhu badan Mesly meningkat, tubuhnya terasa panas. Aku membuka baju sweater dari tubuh Mesly dan melonggarkan jilbab warna tosca dari lehernya. Tubuhnya lemas kelelahan seakan dia baru melakukan pekerjaan berat atau melakukan perjalanan yang sangat jauh, Mesly terkulai dalam pelukanku.

Mas Brian, duduk di depan samping sopir, dia dari tadi memperhatikan kami berdua. “Kenapa Mesly seperti ini Ma?” tanyanya. Aku menjawab dengan telunjuk kanan, memberi isyarat jangan ribut!

Ujang menyetir kendaraan yang kami tumpangi berkata, “Mas! Mesly baik-baik saja, sebentar lagi kita akan sampai dan Mesly segera pulih seperti semula. Saya harap, Mas jangan panik!”

Setelah melalui perjalanan yang berkelok, penuh tanjakan dan turunan berjurang, sekitar setengah jam dari perjalanan dari Bandara Rembele, kami sampai ke sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu pinus berpernis, letaknya ditengah kebun kopi. 

Aroma khas bunga kopi yang sedang mekar sangat ketara di hidung, tiba-tiba Mesly kembali pulih dari rasa kelelahan. Dia turun dari mobil, bermain dan menari guel di depan rumah besar yang tinggi, atapnya dari ijuk, dan memiliki tujuh anak tangga. Rasa gembira dan decak kagum terlihat di wajahnya, Mesly berjalan tanpa kata dia menatap ke langit-langit halaman samping yang beratap rimbunan pohon markisah yang berjalaran dan memetik bunga air beras, dahlia, dan mawar. Aku dan suami saling berpandangan menyaksikan tindakan putri kami. 

“Mama, kenapa Mesly bisa menari? Kenapa dia merasa sangat akrab dengan liingkungan ini Ma? Bukankah Papa dan dia baru pertama kali ke sini? Tolong jawab Ma! Ada apa dengan Mama dan putri kita?” serangan pertanyaan dilayangkan oleh suamiku, sebenarnya aku sangat sedih melihat dia kebingungan seperti ini. Tapi, apa dayaku? Aku tidak mampu dan tidak kuasa memberikan penjelasan kepadanya.

“Mas, maafkan aku. Nanti ada penjelasannya, yuk kita ke rumah itu,” bujukku kepadanya.

Ujang dan Ama serta Pak Cik membawa Mas Brian naik ke rumah pitu ruang. Aku bersama Ine dan Ibi menemanin Mesly bermain. 

Ine merupakan panggilanku untuk ibu, dia membisikan sesuatu kepadaku. “Kita harus bisa mengajak Mesly berada di ruangan ketujuh dari rumah itu,” ucapnya sembari menunjuk arah ruangan yang dimaksud.

“Sayang! Mama capek dan lapar. Kita istirahat yuk dan temanin Mama Makan! Setelah itu kita ke sini lagi,” bujukku. 

Mesly menggangguk dan ikut bersama kami menuju ruangan yang sudah beralas tikar pandan. Beberapa sanak keluarga sudah berada dalam ruangan itu, kami semua makan siang bersama. Tidak lama kemudian, Mesly menjerit histeris dan meraung panjang, sekali-kali dia menangis dan terkadang ketawa serta terus menari tari guel dan tari ranup lampuan. 

Mulutnya mengeluarkan kata-kata berbahasa Gayo, sementara dia tidak bisa berbahasa daerahku, “Beberuh belangi, galak dih hatiku ku anak Lesly, kumai we ku Weh Delung Bur Cempege. Hahaha ... hahaha ....” Mesly ketawa terbahak-bahak, suara tawanya menggelegar ke seluruh ruangan ketujuh dari rumah pitu ruang

“Mari segera kita laksanakan ritual untuk menyelamatkan semangat dan raganya Mesly!” ujar sesepuh keluarga kepada Amaku.

Semua yang hadir, membaca Alquran Surah Al-Fatihah dan Yasin. Mendengar bacaan ayat suci, Mesly terdiam dari tawa dan jeritan histeris, dia lemas di pojok ruangan. Mesly dirajah dan disiram pakai daun dedingin dengan air dari rempah-rempah yang sudah diracik oleh sesepuh. Mesly masih belum berdaya, dia dibawa ke lantai bawah dekat tangga belakang rumah, Mesly dimandikan dengan air perasan jeruk purut dan kembang tujuh rupa. Siraman ketujuh diguyur dengan air bening dan bersih. Perlahan tenaga Mesly kembali pulih, aku mengajaknya mengambil air wudu dan memakai pakaian serba putih. 

Ujang beserta saudara lainnya menyiapkan kendaraan, aku bersama suami mengapit Mesly di mobil. Ada enam mobil mengikuti mobil yang kami tumpangi. Sebuah lapangan yang rindang, dekat Bandara Rembele di Desa Bale Redelong kaki Gunung Burni Telong, menjadi tempat yang kami tuju.

“Assalamualaikum w.w. ahli kubur.” 

“Mari kita bersihkan kuburan leluhur! Setelah itu kita siramkan masing-masing kuburan ini dengan air bersih dan taburan bunga warna warni! Lalu kirimkan doa untuk beliau yang sudah mendahului kita,” seru Amaku kakeknya Mesly.

Mesly berjalan sendiri menuju ke bagian paling ujung dari kuburan yang letaknya di ujung. Setelah itu, dia berkeliling ke arah lainnya. Pada tempat tertentu Mesly berhenti sebanyak empat kali, aku bersama suami dan kerabat lainnya mengikuti langkah kaki Mesly. Dia berhenti di empat buah kuburan dengan nisan berukiran nama, Melia meninggal tanggal 17-07- 2000 dan Mahda meninggal tanggal 17-07-1983. Mesly membersihkan dua buah kuburan yang nisannya mulai kabur, pada nisan itu tertera nama, Mania meninggal tanggal 17-07-1966 dan Mekna meninggal tanggal 17-07-1949.

Dia menyiram kuburan tersebut dengan air bersih dan menaburkan bunga air beras, mawar, dan dahlia yang dipetiknya dari halaman rumah pitu ruang, setelah itu Mesly membaca yasin di setiap kuburan tersebut. 

“Aku sedang menempati rumahmu dan menemuimu di sini. Alam kita berbeda, Tolong jangan ganggu hidupku dan jangan ikuti langkahku!” ucap Mesly entah sama siapa ucapan itu dituju olehnya

Setelah salat Magrib berjemaah, sanak keluarga masih berkumpul di rumah pitu ruang Ama mengisahkan, “Mesly adalah orang pilihan keluarga dan Mesly adalah generasi ketujuh yang merupakan generasi penutup dari dilema kutukan 17 dari leluhur zaman entah berantah. Menurut cerita dari Datu, sudah enam anak gadis dari keluarga kita, sejak zaman dulu, meninggal ketika berusia 17 tahun tepat di tanggal 17 bulan 7 dan berlanjut kembali pada 17 tahun berikutnya. Pada saat bersamaan di tanggal tersebut ada kelahiran seorang anak gadis yang akan tutup usia ketika usianya 17 tahun. Kita sudah menemukan empat buah kuburan itu. Sementara dua buah kuburan yang meninggalnya sebelum kemerdekaan negara kita ... kuburan itu berada jauh dalam hutan wilayah Samar Kilang. Alhamdulillah kita sudah menjalankan ritual 17 dan Mesly Cucuku, hari ini berusia 17 tahun 7 hari. Alhamdulillah dia sehat dan kembali ceria seperti semula. Rumah ini, milik keluarga besar, kita harus membuat agenda piket rutin untuk merawatnya!” uraian Ama berhenti sejenak, Ama meneguk segelas air putih dan melanjutkan cerita.

“Hikmah yang dapat dipetik dari kejadian ini adalah, perlunya keseimbangan alam, kehidupan ini terus berlanjut maka kita perlu melestarikan alam dan menjalin hubungan komunikasi dengan alam kubur yaitu mencari dunia untuk akhirat! Mesly seorang anak yang mempunyai jiwa yang baik serta rajin beribadah, melalui dia Allah titipkan amanah kepada kita untuk mengirim doa kepada leluhur yang sudah mendahului kita,” ungkap Ama mengakhiri kisah tentang ritual 17.

Aku tersenyum dan paham kenapa ketika di Bandara Rembele, saat itu Mesly merasa seakan berada dalam kenangan masa kecilku yang sedang bermain di kebun kopi kampung Rembele bersama sepupuku yang bernama Melia dan Mahda. Mataku bertatapan dengan Mas Brian, sepertinya dia sudah memahami keadaan Aku dan Mesly dan pertanyaannya selama ini, sudah terjawab. 

Mas Brian dan aku memeluk Mesly, “Terima kasih Nak, tanggal 17 Agustus genap 17 hari kita di sini, hari kedelapanbelasnya baru kita kembali ke Jakarta,” ucapku disambut dengan suara gelak tawa dari semua anggota keluarga

Bener Meriah, 10 Oktober 2019

***

Arti dari penggunaan beberapa kata dalam bahasa Gayo:

Ama: Ayah, Ine: Ibu, Anan: Nenek, Awan : Kakek, Ibi: Bibik, Pak Cik: Paman

Rumah pitu ruang: Rumah tujuh ruang

Daun dedingin: Daun cocor bebek

Beberuh belangi, galak dih hatiku ku anak Lesly, kumai we ku Weh Delung Bur Cempege: Anak gadis cantik, hatiku sangat suka pada anaknya si Lesly, akan kubawa dia ke sungai Weh Delung Bur Cempege.

***

Bionarasi:

Penulis bernama Lasma Farida, profesinya sebagai seorang guru IPA di MTsN 2 Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh. Lahir 40 tahun yang lalu di Kabupaten Abdya, memiliki satu putri dan dua putra. Kesehariannya bergelut dengan hobi dalam dunia pertanian kopi dan literasi. Temui dia di FB/IG: Lasma Farida, email lasmafarida78@gmail.com