BERAWANGENWS – Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap dinamika menarik dalam lanskap ketenagakerjaan Indonesia. Jumlah penduduk yang memilih jalur wirausaha mandiri terus meningkat signifikan dari tahun ke tahun, mencerminkan semangat inovasi dan kemandirian ekonomi di kalangan masyarakat. Namun, di sisi lain, terjadi lonjakan yang mengkhawatirkan pada jumlah pekerja keluarga yang tidak dibayar, mengindikasikan adanya kerentanan ekonomi yang perlu diwaspadai.
Peningkatan jumlah wirausahawan mandiri terlihat jelas dari data BPS. Pada tahun 2015, tercatat 19,52 juta penduduk berusia 15 tahun ke atas yang berusaha sendiri. Angka ini terus merangkak naik hingga mencapai 26,12 juta orang pada tahun 2019, dan melonjak menjadi 31,5 juta orang pada tahun 2024. Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa semakin banyak masyarakat Indonesia yang berani mengambil risiko dan menciptakan lapangan kerja sendiri.

Sementara itu, jumlah buruh, karyawan, atau pegawai juga mengalami peningkatan, meskipun tidak sepesat wirausahawan mandiri. Dari 44,43 juta orang pada tahun 2015, angka ini naik menjadi 52,34 juta orang pada tahun 2019, dan hanya bertambah sedikit menjadi 56,12 juta orang pada tahun 2024.
Namun, yang menjadi sorotan utama adalah lonjakan jumlah pekerja keluarga yang tidak dibayar. Sempat menurun dari 16,05 juta orang pada tahun 2015 menjadi 14,76 juta orang pada tahun 2019, angka ini kembali melonjak menjadi 19,29 juta orang. Kenaikan signifikan ini terjadi terutama setelah pandemi COVID-19, menunjukkan bahwa banyak keluarga yang terpaksa mengandalkan anggota keluarga untuk bekerja tanpa upah formal demi bertahan hidup.
Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menjelaskan bahwa praktik pekerja keluarga tidak dibayar ini umumnya terjadi pada usaha mikro dan kecil (UMK). Menurutnya, UMK yang sedang mengalami kesulitan seringkali memanfaatkan tenaga kerja keluarga sebagai solusi sementara.
“Seharusnya kalau usaha saya bagus, misalnya UMKM, dia akan merekrut pekerja yang dibayar. Tapi karena usahanya lagi masalah, akhirnya menggunakan sumber daya keluarga yang tidak dibayar,” ujar Tauhid kepada berawangnews.com.
Tauhid menambahkan bahwa kondisi ini mencerminkan kerapuhan ekonomi nasional. Peningkatan jumlah pekerja keluarga tidak dibayar secara langsung meningkatkan persentase pekerja informal di Indonesia. Pekerja informal, termasuk pekerja keluarga, seringkali tidak mendapatkan upah layak dan jaminan sosial, yang pada akhirnya dapat melemahkan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Peningkatan ini menunjukkan ya pekerja informal semakin tinggi dan sisi negatifnya tentu saja mereka mendapatkan upah yang katakanlah tidak layak ataupun tidak dibayar, bahkan jaminan sosial tidak dapat,” jelasnya.
Dengan demikian, meskipun semangat wirausaha mandiri di Indonesia terus tumbuh, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih terhadap perlindungan pekerja informal dan menciptakan lapangan kerja formal yang lebih banyak untuk mengurangi kerentanan ekonomi keluarga.