Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pancasila Bertanya, Rakyat Menjawab

Rabu, 01 Juni 2022 | Juni 01, 2022 WIB Last Updated 2022-06-01T06:50:11Z



Oleh Zulfata

Wakil Sekretaris Bela Negara Republik Indonesia (FBN-RI) Provinsi Aceh

Pancasila dan rakyat Indonesia ibarat dua sisi matang uang yang tak dapat dipisahkan, meskipun gara-gara uang Pancasila dan rakyat sepeti minyak dan air. Jauh dari itu tren kampanye Pancasila dari tahun ke tahun justru mengarah pada sikap kesadaran kosong yang tak berbanding lurus dengan realitas kerakyatan Indonesia masa kini. Momentum peringatan kelahiran Pancasila tahun 2022 ini misalnya, selain menjadi agenda resmi negara, momentum ini juga secara tidak langsung menyeret kita untuk kembali membuka ruang nalar terkait bagaimana posisi Pancasila dan rakyat Indonesia dalam menggapai cita-cita negara.

Melalui dua aspek dialog filosofis antara Pancasila dan Rakyat dalam catatan ini senantiasa mampu membangun dan memperkuat komitmen pembaca dalam mengurus bangsa dan negara. Dialog ini dimulai saat Pancasila bertanya kepada Rakyat terkait bagaimanakah sejatinya Rakyat memahami eksistensi dirinya.

“Rakyat, apakah kehadiran saya direpublik ini benar-benar mampu menghantarkan negara menuju cita-cita negara?”. Tanya Pancasila sembari merenung nasibnya.

“Mengapa engkau bertanya sedemikian Pancasila”. Tanya Rakyat kembali secara spontan.

“Sebagai ideologi yang dibangun oleh kehendak rakyat melaui para pendiri bangsa sudah seharusnya saya merenungkan eksistensi saya terakit untuk apa saya diciptakan di Indonesia ini” Ujar Pancasila.

“Dirimu memang bijaksana, engkau diciptakan memang untuk menjadi penerang bagi kami, menjadi kompas bagi kami dalam mengarungi belantara hutan kebangsaan dan kenegaraan. Dirimu diciptakan dari fondasi filosofi yang kuat. Berangkat dari realitas empiris yang ingin melepaskan rakyat dari segala bentuk penjajahan. Denyut jantungmu hidup dari perpaduan cinta dari para pemikir revolusioner (pendiri bangsa). Meski awalnya benturan atau pandangan sikap muncul dalam proses penciptaanmu, namun semua itu justru mematangkan hidupmu. Sehingga segala perbedaan terkait jiwa ragamu mampu dirajut menjadi satu kesatuan yang utuh. Untuk itu pula, kami Rakyat tidak memandang dirimu sebagai produk dari satu orang dari pendiri bangsa saja, melainkan engkau adalah buah pikir para pendiri bangsa yang selalu hidup dalam mengawal, mengawasi serta menjadi panutan bagi kami dalam berbangsa dan bernegara. Pun kami memaklumi bahwa benar ada dialektika tajam, saat menciptakanmu, sehingga kami telah mampu melihat siapa sosok dalam sejarah bangsa yang tampak ingin menjadi pahlawan kesiangan di balik kesaktianmu, atau pihak yang berusaha untuk mengklaim dirinya paling Pancasilais. Intinya, sejarah dan arah serta tujuan dirimu diciptakan hanya semata-mata untuk mensejahterakan kami. Kami Rakyat yang masih percaya pada eksistensimu.” Jawab Rakyat dalam memberi pengantar jawaban kepada Pancasila.

Memahami dialog pembuka antara Pancasila dengan Rakyat ini, tampa isi dialog mereka masih adanya harapan dan rasa saling percaya bahwa Pancasila dan Rakyat memiliki satu tarikan nafas untuk memperkuat bangsa dan negara dalam mencapai cita-cita. Dari penghantar dialog itu pula tampak rakyat telah dewasa dan tidak menyalahkan kehadiran dan fungsi Pancasila, meskipun ada pihak-pihak tertentu yang masih terus kreatif memanipulasi Pancasila. Menarik untuk menilai dialog lanjutannya.

“Tapi aku melihat kondisi rakyat hari ini seperti masih jauh dari cita-cita kemerdekaan, jangankan mendekati, berada di jalur kemerdekaan pun belum nampak. Lihat saja bagaimana iklim perekonomian yang dihidangkan pada kalian, lihat saja potret politik dan pendidikan untuk kalian, serta lihat pula bagaimana negara ini dikelola secara kepemimpinan nasional dan daerah. Saya tidak ingin melihat nasib kalian dipermainkan di atas nama besar saya yang masih kalian yakini. Rakyat, jujur saya sedih melihat nasib kalian saat ini”. Ungkap Pancasila pada Rakyat.

“Semua itu sudah menjadi resiko bagi kami sebagai rakyat. Segelap apapun nasib kondisi kami hari ini kami masih ingin terus bejuang hingga titik darah penghabisan. Meski saat ini konsepsi tentangmu telah purna dan kami anggap sempurna dan tidak ada idiologi lain yang mampu merubah cara pandang kami terhadap dirimu. Terkait masih kacaunya tatatan perekonomian bangsa, belum adanya tindak lanjut pendidikan yang memanusiakan manusia, semua itu bagi kami adalah wujud nyata dari permainan pihak tertentu yang ambisius untuk menyusahkan kami dengan membawa simbl-simbolmu Pancasila. Demikian pola kepempinan nasional dan daerah yang sedang dilakoni hari ini. Jujur kami katakan bahwa diri Pancasila masih digunakan sebagai topeng, belum dijadikan funsi ideologi seutuhnya. Alasannya, ideologi kapitalisme dan komunisme beserta rumpun turunannya jauh lebih apklikatif dari pada nilai-nilai dirimu Pancasila. Namun demikian janganlah engkau merasa kami Rakyat manjadikan dirimu sebagai sumber kekacauan kepemimpinan politik yang padat modal dan liberalistik hari ini. Jawab Rakyat dengan gagahnya.

Dialog lanjutan ini sudah masuk pada benang merah yang mengarah pada minimnya implementasi Pancasila di negeri ini. Pancasila berada pada posisi prihatin kepada Rakyat, namun tidak dapat berbuat banyak, sebab dalam hal pelaksanaan Pancasila, ia tidak dapat berbuat banyak. Tetapi Pancasila tampak masih mencoba menjalin kekuatan bersama Rakyat. Demikian juga rakyat. Masih berkomitmen untuk menjalankan nilai-nilai Pancasila meskipun relitas kondisi negara hari ini seperti mengkhianati nilai-nilai Pancasila.

“Tapi yang anehnya adalah mengapa semangat dan program yang membesarkan diriku tampak tak putus-putus dieksekusi dari periode ke periode. Setiap tahapan sleksi kepemimpinan atau pekerjaan, uji coba terkait pemahamanku selalu dilaksanakan. Demikian pula dengan momen hari kelahiranku selau dirayakan hingga dicantumkan sebagai hari libur nasional. Sekolah dan perkuliahan, kajian tentang diriku selalu ada. Tapi kenyataannya saya melihat diriku seperti hanya hidup di alam konsepsi, tapi mati di alam kenyataan. Seharusnya pada kondisi seperti itu sama artinya eksistensi saya itu telah mati. Bagaimana pendapatmu Rakyat?”

Rakyat menjawab “Janganlah engkau heran Pancasila. Semua itu sudah menjadi kelaziman baru di Indonesia hari ini. Siapa saja berpeluang untuk berkhianat pada negara dengan mengatasnamamu, apapun jabatannya. Janglah engkau sangka bahwa yang merasa didirinya telah lulus uji kompetisi tentang pemahaman Pancasila atau wawasan kebangsaan, itu yang paling sadar untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila di ruang masyarakat. Sebab bisa jadi kelompok seperti itu justru menjadi agen yang merusak dirimu dengan mepelajari dirimu. Demikian dengan mata pelajaran atau kajian terkait dirimu di bangku sekolah atau perguruan tinggi? Tanpa saya jawab lebih rinci, engaku boleh lihat saja bagaimana kondisi sekolah hari ini, sekolah yang memanusiakan bagi orang yang berharta. Perkualihan yang maju bagi generasi yang telah cerdas. Serta perguruan tinggi hampir taka ada ubahnya dengan manajemen partai politik atau industri tambang. Terkait semangat memperingati hari lahirmu itu sudah tidak asing lagi. Satu sisi kerena masih adanya perayaan kelahiranmu. Kami patut beryukur, meskipun apalah makna memperingati hari kelahiran tanpa ada peningkatan tidak lanjut untuk memperkuat Pancasila. Bukankah itu pertanda negara kita masih banyak bersandiwara dengan Pancasila?”

Pada tahap dialog ketiga ini semakin jelas bahwa Pancasila menggiring rakyat untuk tetap kuat melawan praktik pengkhinatan pelaksanaan negara yang mengatasnamakan Pancasila. Baik dari sisi program pemerintah, sekolah, hingga perguruan tinggi. Tetapi yang lebih menarik lagi adalah Rakyat tampak semakin dewasa dalam menilai kegamangan yang dihadapi oleh Pancasila, sehingga rakyat tidak ingin sekedar menjawab, tertapi kembali bertanya kepada Pancasilnya, sehingga proses dialog dalam mewaraskan jalannya negara Indonesia masih belum pada tanda titik, melainkan masih digantungkan tanda tanya oleh Rakyat. Tunggu dialog lanjutannya.