Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Garuda Sedang Sakit

Jumat, 12 November 2021 | November 12, 2021 WIB Last Updated 2021-11-12T08:26:07Z



Oleh Zulfata

Terdengar kabar bahwa Garuda sedang mengindap penyakit yang sengaja dibiarkan. Tubuh Garuda yang perkasa, gagah dan kekar kini lesu dengan tidak menyebutnya sebagai bangkai bergerak. Sayapnya sebelah tak dapat lagi mengepak akibat kekacauan rawat oleh seorang yang menjabat menteri. Menteri adalah sebutan para siapapun yang diberikan wewenang untuk merawat sekaligus menghidupkan garuda. Garuda juga disebut sebagai simbol pada suatu negara, ia terlahir bukan sebagai nama hewan yang memiliki sayap atau ekor, melainkan ia hidup berangkat dari daya imajinasi, konsep yang visioner dari seseorang.

Garuda hampir memiliki akar yang sama dengan sejarah suatu bangsa yang kini disandingkan dengan negara oleng. Negara oleng adalah negara ilusi yang sekarang masih dipertahankan secara deskripsi dan penuh sandiwara. Ada yang menyebut pula bahwa Garuda bagian internal dari negara oleng itu sendiri, sebab keolengan negara menjadikan Garuda tidak mengetahui tujuan hidupnya sendiri. Ia tidak mengetahui dari mana dan untuk apa ia diciptakan, sehingga ia pasrah untuk dijadikan garuda perah sebagai nama lain dari sapi perah.
Menarik memang saat mencermati asa-muasal Garuda, selain dari sebuah daya imajinasi dan gagasan visioner, ia juga terbentuk dari sebuah gerakan masyarakat dari ujung wilayah suatu negara yang bergotong-royong untuk mengumpulkan benda berharga yang dalam kehidupan nyata disebut emas. Ada sekitar dua puluh kilogram emas yang menjadikan Garuda dikenal publik. Garuda memiliki kemiripan tujuan dengan pendahulunya yang disebut Seulawah di mana tempat Garuda mulai belajar terbang untuk pertama kalinya.

Akibat geopolitik dan kehendak para manusia yang serakah dalam negara oleng, Seulawah dan Garuda kini terpisah, berjarak kepentingan, digesek-gesek hingga memanas dan saling membakar. Akhirnya Garuda hanyalah Garuda. Seulawah hanyalah Seulawah. Garuda sedang sakit, Seulawah dengan gagahnya berdiri menunggu panggilan kapan ia kapan meletus dan memberikan manfaat bagi alam sekitarnya. Sementara Garuda, saat ini masih menunggu ajal menjemput. Ia tak sekuat Seulawah yang memiliki komposisi langsung dari alam semesta. Sementara Garuda ia sangat tergantung pada siapa yang menduduki jabatan menteri sebagai tumpuan hidupnya.

Kini menteri yang mengurus Garuda tersebut sedang aktif mengedapankan bagaimana pentingnya akhlak pada saat mengemban jabatan, nilai-nilai islami ditaburkannya, peningkatan ekonomi syariah menjadi program strategis, baik di kancah daerah, nasional maupun internasional. Jadi, kondisi Garuda yang sedang sakit bukanlah gara-gara menteri. Namun demikian, Garuda masih merasa dirinya sakit karena ulah sang menteri. Dalam hal sedemikian Garuda dan Menteri seperti main belakang, mengundang misteri berfikir. Meski menteri asyik terbang kemanapun sesuai kehendak pribadinya, tetapi tidak dengan Garuda, ia tak lagi bisa terbang kemanapun, sebab banyak hal yang perlu dipertimbangkan jika Garuda memaksa diri untuk terbang.

Memang tak pantas untuk menyalahkan menteri ketika Garuda yang terkesan brutal menyalahkan menteri. Menilai kondisi seperti ini, memang sudah sewajarnya Garuda selalu menyalahkan menteri, sebab Garuda tidak memiliki akal, tidak memiliki nurani dan tidak memiliki pengikut setia tapi buta mata hati. Beda dengan menteri, ia sangat memiliki akal nurani yang sehat, sehingga di masa tanggung jawab kerjanya dapat membuat Garuda banyak istirahat, membuat Garuda aktif parkir disangkarnya.

Tidak ketemunya titik pikir antara Garuda dan menteri menjadikan posisi Garuda harus dimaklumi saja, sebab tidak ada kata salah untuk tuan. Tuan itu adalah menteri, dan Garuda telah dianggap sebagai alat dagangan semata, tidak perlu memandang Garuda sebagai objek historis atau sebagai simbol kedaulatan bangsa. Dalam konteks ini pula, mesti semua orang mencermati dan empati terhadap Garuda, tapi hal itu tidak dapat mengobati rasa sakitnya.

Padahal, di sekeliling Garuda berada, semuanya tidak ada yang tidak menyelesaikan program sarjana, justru dilingkar Garuda terdapat politisi hebat jebolan kampus ternama, pengusaha berbakat, harta mereka dapat membiayai hidup 24 keturunan jika ia tinggal di kawasan lembah Seulawah. Namun demikian, para mereka yang berada disekitar Garuda masih saja menganggap dirinya terbatas, sebab tolak kehidupannya bukan diukur untuk menyelamatkan negara oleng, melainkan apa yang dapat diambil dari Garuda untuk dapat hidup sesuai trend kehidupan internasional.

Kisah fiksi yang dianggap aneh dan mengada-ngada ini memang tak menarik bagi para akademisi tertentu, sebab struktur penulisannya tak sesuai dengan kaedah ilmiah, sehingga pola pikir akademisi seperti ini tidak perlu sadar bagaimana kekuatan karya ilmiah mereka dalam mencerahkan publik. Mereka justru bangga menebarkan karya tulis yang tidak mengganggu kekuasaan seperti tidak mengomentari kinerja menteri atau presiden yang bobrok misalnya. Termasuk dalam hal upaya bagaimana menyikapi Garuda hari ini. Akademisi dalam konteks ini, mereka hanya tergerak menulis jika ada anggaran, ia akan rela menulis saat objek kajian telah diorderkan oleh pemerintah. Kelompok ini dengan bangganya fokus menulis mesti tidak memiliki dampak progresif pada upaya pencerahan masyarakat dalam melawan penguasa yang munafik.

Kondisi akademisi sedemikian juga membuat Garuda terheran, bahwa Garuda pada awalnya dimulai dari sentuhan ide kaum intelektual kampus yang menjadikan Garuda pernah dibanggakan, tetapi justru mengapa kaum intelektual kini seperti tak berdaya layaknya Garuda itu sendiri. Dalam kondisinya yang sedang sakit, Garuda juga tak sampai pikir bahwa di tengah hebatnya para pengisi jabatan pembina dan penyelenggara suatu badan riset yang baru terbentuk, namun pada saat itu pula Garuda mengalami puncak kesakitannya, bahkan di tengah terbentuknya badan riset tersebut, justru tampak semakin banyak penyakit yang dialami oleh Garuda. Jika ditelusuri, kini Garuda mengalami penyakit, di antarannya adalah penyakit korupsi, kolusi, nepotisme, penjilat, oligarki, dinasti, feodal, penakut, munafik, egois, mati rasa, kebencian hingga menggadaikan martabat manusia atas nama pembangunan. Sungguh penyakit Garuda hampir mencapai kanker stadium empat, namun tidak ada yang berani memastikan hal itu untuk saat ini.

Oleh karena ini, Garuda lebih memilih menunggu kematian pada dirinya sendiri. Seiring dengan itu pula, di masa kesakitannya ia masih memilki harapan dan sikap optimis bahwa suatu saat akan ada kelompok-kelompok yang sadar untuk terus bergerak menyelamatkan Garuda mesti ia telah tiada lagi. Garuda dapat hidup dan mati kapan saja. Sebab ia bukan manusia, bukan benda, bukan hewan, bukan malaikat, bukan tuhan, tetapi Garuda sejatinya adalah kita, ya kita yang sedang berimajinasi terkait kondisi negara oleng. Apakah negara oleng tersebut bernama Indonesia? penulis hanya menerka-nerka, mungkin saja Indonesia, mungkin saja tidak.