Oleh Zulfata
Bersandiwara atas nama Pancasila! Pernyataan awal ini harus disarangkan di pikiran dan hati para elite, khususnya para pejabat negara, mulai dari yang berada dalam istana, lingkar istana, hingga luar istana. Jauh sebelum negara bernama Indonesia dibentuk, perumusan dan pengkristalan Pancasila sudah mulai digodok, dibentur, dirumus, dirumus ulang, dipropaganda, dipromosikan, dipoles hingga mendapat sebuah sokongan kolektif untuk dijadikan sebagai ideologi negara. Dalam perjalanannya menuju kesepakan bersama oleh para pendiri bangsa dan rakyat Indonesia, Pancasila mengalami benturan dengan ideologi yang hidup pada masanya. Pancasila disampaikan di berbagai mimbar politik internasional, masuk dalam berbagai bungkus komunikasi politik Soekarno. Masuk dalam penghayatan Mohammad Hatta, dipertegas oleh Ki Hadjar Dewantara.
Dari tiga sosok yang disebutkan di atas perlu secara face to face dihadapkan pada kepribadian para elite. Tiga nama pendiri bangsa disebutkan di atas adalah para elite rangkap negarawan. Bukan para elite rangkap perampok atau agen para perampok yang terlanjur dianggap berwibawa dan dipatuhi secara birokratis, kemudian hal ini menjadi pandangan umum bagi pelakanaan bernegara hari ini. Pemaknaan elite dalam konteks ini mengalami pembelahan disebabkan ruang, sosok dan waktu.
Para elite rangkap negarawan berjuang penuh pengorbanan dan mengakhiri jabatannya dengan pola hidup kesederhanaan dengan tidak “enak” menyebutnya sebagai miskin karena fokus menyelematkan negara. Beda halnya dengan elite rangkap perampok, belum pun bekerja optimal saat menjabat, malah dipaksa untuk melepaskan jabatannya karena di tangkap meski pengurangan masa hukuman terjadi padanya, hartanya berlimpah, bahkan setelah lepas dari label koruptor, pun masih dipercayakan untuk menjabat. Juga para elite yang semakin lincah, insting politiknya melampaui ramalan para normal, ia masih mampu menari sembari menyampaikan “Saya Pancasila, Saya Indonesia”. Kalimat itu tidak peduli dengan bagaimana nasib penuntasan kasus Hak Azasi Manusia (HAM), tak peduli dengan pembuktian kedaulatan rakyat, parahnya, tak perlu kritis untuk mengevaluasi janji-janji kampanye.
Elite, semat sosial yang ditempelkan bukan pada orang yang lucu atau polos, para elite memiliki kecakapan kolaborasi tingkat tingggi, mereka memiliki sejuta akses, bahkan wilayah Indonesia sungguh kecil bagi mereka. Indonesia bagi mereka hanya sebatas ujung jari, bisa diselesaikan dengan menunjuk-nunjuk. Berbicara Indonesia semudah mengucapkan “Saya Pancasila, Saya Indonesia”. Tak peduli dengan kondisi Indonesia sedang digrogoti sumber daya alamnya, tak peduli pembodohan modal kerakyatannya, yang penting adalah bagaimana harus mendapatkan kekuasaan dari masa ke masa. Bahkan Indonesia sudah dianggap sebagai “sapi perah” pun mereka tak percaya. Siapa yang tidak percaya itu, ya mereka, para elite rangkap perampok hingga turunan generasi yang terinspirasi dengan karakter mereka dalam penyelenggaraan negara.
Memang tak ada yang meragukan kesaktian Pancasila, ia tidak pernah lecet meski kesaktiannya dideklarasikan setelah ada kejadian pemberontakan 30 September (G30SPKI). Kini usia Pancasila telah lebih dari Indonesia. Pancasila mampu bertahan dengan berbagai pola demokrasi, dari demokrasi terpimpin hingga demokrasi reformasi-dikorupsi. Pancasila mampu bertahan untuk dari beberapa amandemen UUD 1945, hingga mencuat amandemen soal menambah jabatan presiden. Dari tidak ada salam Pancasila menjadi adanya salam Pancasila. Semua rakyat sepakat Pancasila, semua elite pun berpolitik atas nama Pancasila, tetapi bagaimana perwujudan Pancasila hari ini, lebih baik di masa kini atau tidak lebih baik dari pada saat Pancasila dibentuk?
Sebelum kemasan Pancasila untuk para elite ini dikristalkan dalam beberapa bentuk pertanyaan, dipandang penting untuk menggali makna Pancasila dari tiga sosok pendiri bangsa rangkap negarawan, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantara. Singkatnya, dari sosok Soekarno kita dapat menemukan makna Pancasila sebagai perekat politik kebangsaan, memperkuat internasionalisme demokrasi dan kesejahteraan sosial. Kemudian dari sosok Mohammad Hatta yang terus menyadarkan kita bahwa Pancasila memiliki kekuatan etis ketuhanan sebagai epistemologi mendudukkan Pancasila sebagai fondasi mewujudkan harapan rakyat. Selain itu juga diperkuat oleh Ki Hadjar Dewantara dengan dimensi kehadiran nilai kemanusiaan.
Memang Pancasila tidak dapat dipisahkan karena sosok, tetapi Pancasila dapat dijabarkan sebagai suatu konsolidasi para pendiri bangsa. Oleh karena itu, betul bahwa Soekarno adalah penggali Pancasila, tetapi Pancasila bukan untuk Soekarno, bukan untuk para pengangum Soekarno, dan bukan pula untuk keturunan Soekarno. Juga bukan untuk tameng sandiwara para elite. Pancasila adalah untuk Indonesia. Ada wilayah di sana, ada rakyat di sana, ada elite di sana, dan ada segenap bangsa Indonesia yang harus diselamatkan di sana.
Sepintas lalu memang Pancasila itu nyata, memiliki daya harapan yang panjang dan menguatkan. Ia harus dijaga dari segala praktik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan segala hal yang serumpun dengannya. Pancasila juga tidak boleh dipaksa-mesrakan dengan spirit kapitalisme, oligark, dinasti feodal atau apapun yang serumpun dengannya. Namun demikian, jika berani jujur, bagi pembaca harus mampu menjawab bagaimana kondisi negara hari ini, bagaimana pelaksanaan atau perwujudan Pancasila hari ini?
Penulis tidak ingin untuk menjawab, sebab penulis yakin pembaca memiliki gagasan dan kesimpulannya sendiri terkait bagaimana penerapan Pancasila hari ini, terutama terkait kekuatan pelaksanaan Pancasila para elite. Namun setidaknya ada kisi-kisi yang dapat dijadikan pertimbangan bahwa kondisi Indonesia hari ini dapat melihat praksis atas nama Pancasila terselip kekuatan oligarki, dinasti dan feodalisme yang menyambutnya. Ibarat membangun sebuah rumah, fondasinya memang Pancasila, namun konstruksi lanjutannya dibangun dengan spirit oligarki, dinasti hingga feodalisme dan yang serumpuan dengannya. Praktik sedemikianlah yang menjadikan dalih bahwa atas nama Pancasila, siapa pun dapat bersandiwara.
Dalam tahapan ini penulis belum berkesimpulan untuk mengatakan bahwa para elite telah bersandiwara atas nama Pancasila. Tetapi terserah bagi pembaca, apakah lebih awal menyimpulkan bahwa para elite benar telah bersandiwara atas nama Pancasila. Itu haknya pembaca. Sebagai falsafah negara, pelaksanaan Pancasila terhadap kondisi Indonesia hari ini memang mencerminkan tidak mengarah pada penguatan Pancasila itu sendiri. Mulai dari sisi praksis politik dan perwujudan politik Indonesia hari ini hingga kemampuan negara dalam menjamin hak rakyat. Belum lagi bicara praktik partai politik yang kini sulit membedakannya apakah partai politik tersebut sebagai kendaraan politik publik atau milik personal.
Yang cenderung adalah pelaksanaan Pancasila sebagai pemanis bibir justru lebih menguat, tulisan dan kajian Pancasila semakin digaungkan seiring keteladanan elite semakin merosot dengan tidak menyebutnya tidak ada sama sekali. Maka dari itu, catatan usil ini mencoba untuk merumuskan pemaknaan Pancasila untuk para elite dengan tiga pertanyaan sesuai dengan dimensi tiga tokoh elite rangkap negarawan seperti yang disinggung di atas.
Pertanyaannya adalah seberapa berpancasilanya para elite dalam mendaulatkan Indonesia di hadapan internasionalisme masa kini? Seberapa berpancasilanya para elite memupuk dan menampilkan praktik etos berketuhanan dalam berpolitik dan berkeadilan? Seberapa berpancasilanya para elite dalam menyelamatkan kemanusiaan segenap bangsa Indonesia dari Aceh hingga Papua? Jika semua jawaban ini diawali dengan kalimat “para elite tidak berpancasila” pada tiga dimensi makna di atas, maka benarlah bahwa Pancasila untuk para elite hanya sebatas wahana sandiwara.
Penulis adalah direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)