Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Bendera

Selasa, 17 Agustus 2021 | Agustus 17, 2021 WIB Last Updated 2021-08-17T09:52:10Z



Oleh Zulfata

Siang menjelang sore, terdengar percakapan, “Sudah naikkan bendera?” tanya tetangga saya di hari kemerdekaan Indonesia ke-76. “Sudah” jawab lawan bicaranya. Lanjut percakapan itu, muncul satu kalimat yang menarik bagi saya. “Cepat naikkan bendera sebelum ditegur perangkat desa”. Sekilas percakapan itu memang terkesan biasa-biasa saja, namun di balik itu sungguh terdapat pembelajaran nasionalisme kewargaan. Warga yang terdesak menaikkan bendera karena takut dari perangkat desa. Pun jika menaikkan bendera hanya sekedar mengikat bendera pada salah-satu tiang penyangga teras rumah.

Padahal, menaikkan bendera merah putih bukan sekedar formalitas, jauh dari itu, tidak adanya panggilan jiwa untuk menaikkan bendera dalam rangka menyambut HUT-RI ke-76. Jika tidak bagian dari instruksi birokrasi, nyaris tidak ada yang menaikkan bendera. Memang fakta ini bukan sedang terjadi wilayah tengah atau timur Indonesia. Tetapi cerita ini adalah cerita Indonesia bagian barat, di mana tepat dua hari sebelum hari perayaan kemerdekaan Indonesia justru warganya dominan membincangkan mengapa bendera bintang bulan tidak dinaikkan.

Sejarah panjang bendera merah putih dengan bendera bintang bulan telah menghantarkan wilayah paling barat Indonesia itu untuk selalu menjadi momen kebhinekaan. Bukan saja bhinneka saat warga menaikkan bendera, juga bhinneka menafsirkan kemerdekaan. Dua di balik bendera yang disebutkan ini sama-sama pernah memperjuangkan kemerdekaan, meskipun bendera yang satunya lagi kemerdekaannya berujung pada perdamaian/kesepakatan yang berujung konflik internal. Sementara itu, bendera yang selanjutnya mencapai puncak kemerdekaan meskipun terus digrogoti dari dalam melalui praktik feodalisme dan oligarki.

Sudah 76 tahun berbangsa dilalui, nasionalisme masih merentangkan sejuta tantangan. Nasionalisme berpolitik, nasionalisme berekonomi, hingga nasionalisme beragama dan berbudaya. Di hari kemerdekaan patut semua kita bersyukur dan berdoa, tetapi di balik itu semua tanggung jawab kemerdekaan oleh setiap warga negara harus terus dikobarkan untuk membumihanguskan benalu kemerdekaan.

Satu sisi memang bendera adalah benda mati, tapi ia hidup, bagian darinya banyak pengorbanan. Darah dan mayat lenyap dimakan rayap dan tanah seiring pergulatan demokrasi. Penyokongan, kudeta, separatis, pemberontakan hingga perebutan kekuasaan meninggalkan makna dari yang disebut bendera. Keberadaan bendera tidak boleh dipandang sebelah mata, ia melambangkan kedaulatan. Pertaruhan nasionalisme ada di sana.

Kebhinekaan menjadi satu ketika ada bendera. Sebaliknya pembuktian ketidakadilan juga karena ada bendera, hingga pembodohan juga dimainkan atas nama bendera. Semua pihak menggunakan bendera dalam misi perjuangan, terlepas niat perjuangannya untuk apa.

Masih hangat dalam ingatan bangsa ini, waktu lalu, ada seorang pelajar menggunakan bendera saat berdemonstrasi. Ia ikut terlibat dalam menyuarakan tuntutan publik waktu itu, singkat cerita ia terpaksa dipenjarakan. Ia menggunakan bendera. Sebaliknya, hampir di seluruh ruangan kantor pejabat publik terpampang bendera merah putih, namun pesan bendera itu belum mampu merubah iklim birokrasi yang mengarah pada penguatan kemerdekaan dalam melayani publik yang lebih berkemanusiaan.

Jika memahami pelayanan publik dan kaitannya dengan bendera di hari kemerdekaan. Nyaris terbesit dalam kepala kita bahwa birokrasi masih hampir identik dengan keterkungkungan, terlalu protokoler/procedural akut. Celah politis lebih kuat di dalamnya dari pada spirit kemaslahatan publik. Sungguh dalam konteks ini bendera tak ubah dianggap sebagai pajangan. Ia adalah simbol seremorial bahwa Indonesia pernah merdeka dari penjajah. Bukan tanda bahwa Indonesia selamanya ingin bebas dari praktik penjajahan.

Sudah pasti hampir seluruh rakyat Indonesia di hari kemerdekaan mengibarkan bendera, terserah apakah pengibaran bendera itu dilakukan dengan tulus atau terpaksa. Yang jelas dalam pengibaran bendera secara tidak langsung menampilkan adanya gerakan seremonial yang solid. Elite dan rakyat jelata sama-sama memupuk harapan untuk memperkuat kemerdekaan Indonesia. Setelah HUT RI, jangan ditanya lagi, narasi ketidak percayaan publik terhadap elitenya kembali menganga. Lembaga yang seharusnya mendidik publik dalam berpolitik (parpol) justru terang-terangan dalam menampakkan gerakan politiknya jauh dari keinginan rakyat.

Fakta ini tidak perlu repot-repot untuk dijelaskan, cukup melihat keberadaan Baliho terkait pimpinan parpol di jalanan saat menjelang HUT RI. Lihat pula betapa gagah dan elegannya para pejabat memakai pakaian adat. Dalam hal ini tak perlu kritis bagaimana melihat sikap atau kebijakan penguasa terhadap hak tanah adat yang terkadang terus disulap oleh para pemburu tanah air (energi) di Indonesia. Sungguh di hari kemerdekaan ini kita sedang sama-sama untuk tidak ingin jujur. Hal ini terpaksa kita lakukan untuk menghormati pengibaran bendera merah putih.

Sampai kapan kita merayakan kemerdekaan dengan semangat kamuflase ini. Di satu sisi kita membanggakan Indonesia, di sisi lainnya kita berusaha untuk tidak berani mendeklarasikan bahwa hari Indonesia status kemerdekaannya sedang terancam. Terancam dari politik oligarki, terancam dari petaka demografi (bukan bonus demografi), terancam dari hutang negara, terancam kerusakan sumber daya alam, hingga terancam untuk tidak mendapat pemimpin yang diharapkan rakyat. Artinya seorang presiden bukan betul-betul muncul untuk memperjuangkan harapan rakyat, tetapi justru presiden muncul sebagai rencana dari rancangan politik oligarki untuk terus membelenggu siapapun presiden yang terpilih. Inilah bentuk kemerdekaan presiden kita.

Sungguh malu kita menghadap bendera, merasa berdosa menghormati bendera, merasa kita berdusta dengan bendera. Hal ini diibaratkan kita sedang menertawakan diri kita atas nama nasionalisme. Beginikah manusia Indonesia? Kembali ke pembicaraan tetangga saya, “ya sudahlah, kita hanya rakyat jelata, tak perlu memikirkan apa makna di balik bendera”. Dirgahayu 76 Indonesia bersandiwara terhadap bendera.

Penulis adalah Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)