Direktur Badan Riset Keagamaan dan Kedamaian Aceh (BARKKA). Email: fatazul@gmail.com
Meningginya diskursus implementasi Qanun LKS (Lembaga Keuangan Syariah) di Aceh secara tidak langsung diikuti dengan munculnya gerakan Generasi Syariah (Gen-Sy) di tingkat nasional. Kondisi sedemikian semakin strategis ketika Bank Syariah Indonesia (BSI) sudah mulai mengembangkan sayapnya meskipun masih terus melakukan upaya pembenahan. Berangkat dari trend yang berkaitan dengan semangat syariat Islam di atas secara tidak langsung provinsi Aceh mendapatkan posisi strategis dalam memperkuat syariat Islam guna kemajuan pembangunan di berbagai sektor.
Sejatinya upaya memperkuat Aceh melalui syariat Islam sungguh banyak instrumennya dengan tidak menyebutnya “ditelantarkan”. Selain dari instrumen kearifan lokal, ada dua instrumen legal yang belum diterapkan secara maksimal yaitu qanun Pokok-Pokok Syariat Islam (Qanun Aceh No 8 Tahun 2014) dan qanun LKS (Qanun Aceh No11 Tahun 2018). Kehadiran dua instrumen legal dalam penguatan syariat Islam ini sungguh berpeluang menjadikan Aceh sebagai daerah modal pembangunan berbasis kesolehan sosial di masa akan datang.
Mencermati kondisi pemberlakuan syariat Islam di Aceh masa kini, ada dua hal yang menarik untuk disorot, yang pertama adalah praktik politik di Aceh harus sesuai dengan nilai syariat Islam sebagai wujud dari Qanun Aceh No 8 Tahun 2014, dan yang kedua memperkuat LKS sebagai salah-satu instrumen penguatan ekonomi daerah. Dua hal ini tidak dapat dipisahkan, ia ibarat dua sisi mata uang yang berbeda namun dalam satu kesatuan. Artinya bahwa implementasi LKS dapat optimal apabila praktik politik di legislatif dan eksekutif berkomintmen kuat dalam memperkuat syariat Islam di Aceh. Sehingga perkembangan syariat Islam di Aceh jauh dari praktik politisasi atas nama syariat Islam.
Tanpa mengurai kendala politik dan kendala teknis dalam penerapan Qanun Aceh No 8 Tahun 2014 dan Qanun Aceh No 11 Tahun 2018. Melalui kajian ini setidaknya dapat memicu kesadaran bersama bahwa langkah memperkuat syariat Islam harus bersifat progresif. Artinya bahwa upaya berbaikan syariat Islam tidak hanya dilihat dari sejauhmana keberpihakan anggaran dan banyaknya qanun yang dilahirkan terkait syariat Islam, tetapi progresivitas tersebut harus mampu memperbaiki mentalitas lintas birokrasi dalam pemerintahan Aceh saat menjalankan program-program pembangunan Aceh sebagai peningkatan kesejahteraan bersama.
Kita patut bersyukur bahwa Aceh hari ini masih memiliki banyak modal untuk memperkuat syariat Islam, namun demikian jangan sempat modal ini tidak dapat dipergunakan sejarah baik lantaran kendala teknis penerapannya yangbelum diselesaikan dengan cepat. Kendala teknis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kendala yang bersifat sosiologi politik dinama qanun-qanun pemberlakuan syariat Islam hanya dijadikan formalitas belaka, sehingga belum mampu menciptakan gerakan bersama dalam meneladani nilai-nilai syariat Islam.
Progresivitas penguatan syariat Islam dalam konteks ini dapat dibatasi terkait soal harus progresif dalam melakukan pembenahan dari bidang kebijakan politik, tata kelola industri perbankan dan perekonomian masyarakat, membuka lapangan kerja, hingga terus mampu meyakinkan investor bahwa Aceh sebagai daerah yang strategis untuk berinvestasi. Sehingga pola pikir saat memahami syariat Islam tidak hanya identik dengan sholat, pakaian, zakat atau cambuk. Namun demikian syariat Islam juga bicara bagaimana memberi pengaruh percepatan pembangunan Aceh dari multisektor.
Sungguh banyak sisi-sisi tantangan pembangunan yang dapat diperkuat melalui modal syariat Islam di Aceh. Syariat Islam dalam hal ini dapat dijadikan sebagai basis penguatan mentalitas birokrat dan masyarakat Aceh yang seayun selangkah untuk meningkatkan kesejahteraan di Aceh. Adanya pro dan kontra dalam sebuah kebijakan terkait penerapan syariat Islam adalah sebuah proses alamiah, namun saat pro dan kontra suatu kebijakan tidak mengarah pada proses penguatan syariat Islam di Aceh, maka dapat dipastikan Aceh akan terus tertinggal karena keliru urus penerapan syariat Islam.
Masa kini, Aceh memang terus diuji ketangguhannya dalam mengelola kebijakan syariat Islam, hengkangnya bank konvensional dan hengkangnya “beberapa” investor, serta hadirnya BSI di Aceh membutuhkan kerja keras bagi eksekutif dan legislatif Aceh. Posisi masyarakat di sini dapat menjadi sebagai pendukung atau menyampaikan aspirasi terkait apa yang terjadi di lapangan. Aspirasi masyarakat harus satu tarikan nafas dengan produksi kebijakan dan program yang dijalankan pemerintahan Aceh. Kesadaran bersama seperti ini Aceh dapat bergerak secara progresif menuju cita-citanya.
Memahami Aceh hari ini dapat disebut sebagai mutiara yang masih di dasar lautan. Belum semua hal yang potensial digarap dengan optimal, baik itu hal yang bersifat pontensi kultural religi maupun ekosistem alamnya. Atas kondisi potensial inilah sejatinya kekuatan syariat Islam harus dihadirkan sebagai panglima moral dalam memajukan Aceh. Dalam makna lain, syariat Islam adalah inti dari peraban Aceh, sehingga tidak berlebihan jika mengatakan bahwa tanpa penerapan syariat Islam, maka Aceh akan kehilangan jati dirinya sendiri.
Segenap masyarakat Aceh atau pemerintah Aceh mesti didorong terus untuk mampu mengemas kekuatan syariat Islam sebagai pintu solusi dan diplomasi politik dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Meski langkah ini tidak semudah membalik telapak tangan, melalui semangat dan kesadaran bersama untuk memperkuat syariat Islam secara berkelanjutan akan menjadikan langkah ini menjadi kenyataan secara bertahap dan terukur di kemudian hari.
Harapan untuk mencapai pelaksaan syariat Islam secara kaffah harus selalu dikejara dengan penuh sikap optimis. Tantangan yang muncul dalam proses penjemputan harapan tersebut tidak menjadikan kita batal dalam menjemput harapan. Apapun tantangan zaman dengan konsekwensi politiknya, nilai syariat Islam tidak akan pudar, ia selalu menjadi penerang bagi Aceh dari masa ke masa. Dalam proses memupuk harapan inilah kita memerlukan solidaritas secara terus menerus dalam mengembangkan narasi memperkuat syariat Islam.
Melalui narasi tersebut akan memicu kesadaran bersama bahwa dengan terus-terusan membahas syariat Islam dari berbagai sisi adalah sebuah proses penguatan yang terkadang hadir dalam bentuk kritikan dan apresiasif. Berdasarkan hasil observasi penulis ditemukan bahwa dengan modal syariat Islam, Aceh dari masa ke masa cenderung menjadi posisi yang selalu strategis dalam pengembangan daerah, baik itu posisi jika dilihat dari kancah nasional maupun internasional. Akhirnya, mari bersama-sama merawat semangat dan menjalankan progresivitas penguatan syariat Islam di Aceh sebagai salah-satu pilar dalam meningkatkan harkat dan martbat Aceh di mata internal keacehan maupun eksternal keacehan. Semoga !