Oleh : Johansyah
Selama mengenal bubuk kopi roasting, kita sering disuguhkan kopi pahit kalau ngopi di cafe maupun rumah teman. Gulanya dipisahkan dengan kopinya. Lebih mantap lagi kalau gulanya aren. Sebelumnya tidak begitu, kopi langsung diaduk dengan gulanya. Olahan bubuk kopinya masih sederhana. Kopinya diselai hingga hitam, lalu ditumbuk atau digiling hingga halus, jadilah bubuk kopi.
Dalam keseharian, kini kita begitu menikmati kopi pahit dan menjadi tren. Lidah kita sudah mulai terbiasa dengan kopi pahit dengan aroma kopi Gayo yang sangat khas. Bahkan beberapa tahun terakhir kopi Gayo telah mendunia, di kenal di mana-mana. Orang yang datang ke dataran tinggi Gayo juga banyak yang memburu kopi Gayo yang khas ini.
Kopi pahit sebagai minuman adalah kenikmatan tiada tara. Tapi kopi Gayo sebagai komoditas andalan petani di dataran tinggi Gayo kini benar-benar pahit, dan ini tentu tidak dapat dinikmati sebagaimana menikmati kopi dalam bentuk minuman. Kopi sebagai komoditas utama dan sumber penghasilan masyarakat di Gayo kini tertunduk lesu karena nilai jualnya yang terus menurun, terutama sejak wabah pandemi korona.
Tidak dapat dipungkiri, umumnya kita di Gayo dibesarkan oleh kopi karena para orangtua kita sebagian besarnya adalah petani kopi. Bahkan mereka yang berprofesi pegawai negeri, hingga agen kopi sekali pun memiliki kebun kopi. Begitulah kopi menghidupi kita. Soal harga, ini yang cukup membuat kita sedih. Seingat saya soal harga kopi sekejap saja tinggi harganya, lebih lama anjloknya.
Kenyatannya, pihak yang sering rugi dan dirugikan adalah para petani kopi. Para agen kopi punya trik tersendiri untuk dapat bertahan agar tidak ditimpa kerugian. Seburuk-buruknya kondisi mereka, masih bisa menyetok kopi kalau memang harganya anjlok. Tapi apa yang mau diandalkan oleh petani? Mereka tidak mungkin melakukan stok kopi, karena mereka menggantungkan kebutuhan hidup pada kopi. Mau tidak mau harus dijual.
Mutiara merah dataran tinggi Gayo ini hanya mampu menjadi mutiara bagi para pemodal, tapi tidak untuk orang-orang yang menanamnya. Mutiara merah ini menjadi barang bisnis yang sering dipermainkan oleh orang-orang penting tanpa memikirkan nasip penanamnya. Situasi sering dijadikan kambing hitam bagi anjloknya harga kopi. Seperti saat ini karena covid katanya. Covid dijadikan kambing hitam, seharusnya dijadikan kuda hitam untuk melejitkan harga kopi.
Kalau memang karena kondisi ini, kita dapat bayangkan seandainya korona dengan berbagai kepentingan yang ada di dalamnya, jika terus berlanjut hingga bertahun-tahun, tentu nasip petani pun semakin buruk nantinya. Sampai kapan? Sampai kapan pun selama tidak ada upaya untuk menghentikannya. Paling, yang untung hanya para agen kopi. Petani kopi tetap gigit jari.
Sebagai orang yang tidak memiliki kewenangan apa-apa, kita hanya bisa memberikan masukan kepada mereka yang memiliki kewenangan agar berusaha keras untuk mencari solusi dari persoalan ini. Siapa lagi kalau bukan pemerintah daerah, terutama Aceh Tengah dan Bener Meriah agar mengupayakan bagaimana agar harga kopi dapat stabil. Tentu tidak mudah, tapi harus diusahakan.
Perlu Evaluasi Diri
Di luar trik bisnis yang barangkali dimainkan oleh pihak tertentu, kita selaku petani dan para pengelolanya juga perlu mengevaluasi diri. Terkadang kita juga tidak konsisten menjaga kualitasnya. Mencampur adukkan kopi yang kualitas wahid dengan kopi kualitas murahan. Kopi yang kita ekspor sudah ditabur dengan pasir halus, dicampur pesel, diaduk dengan kopi lain, dan berbagai praktik menyimpang lainnya.
Manakala orang tau bahwa kopi yang diekspor tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, hilang kepercayaan, dan akhirnya nilai jual kopi anjlok. Kata pribahasa; ‘gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga’. Sebagian kecil yang berbuat, tapi semua menanggung akibatnya. Akibat kenakalan satu orang yang lain terimbas hukumannya.
Saya tidak tau mekanisme sebenarnya. Apakah ada peran langsung pemerintah di sana. Minsalnya peran pengawasan terhadap kualitas kopi. Ataukah tidak berkaitan sama sekali dan soal penyaluran kopi ke wilayah lain semaunya saja. Kopi yang diekspor tergantung siapa eksportirnya. Jika dia jujur, terjagalah kualitasnya. Tapi jika dia mau bermain, berarti rusak kualitasnya. Idealnya, pemerintah memiliki peran penting dalam mengawasi kualitas kopi sehingga harganya untuk kestabilan harganya.
Biasanya, dalam bisnis itu agen juga tidak berani mempermainkan harga kalau barangnya memang benar-benar bermutu. Bahkan terkadang ditawar dengan harga yang lebih tinggi karena mereka sudah mengetahui kualitasnya. Dengan kualitas super juga biasanya pemilik barang kopi dapat mematok harga sehingga tidak mungkin ditawar pula dengan harga sembarangan.
Kalau memang ada indikasi kuat bahwa penyebab anjloknya harga kopi karena permainan petani dan pedagang kopi tingkat bawah, mestinya inilah yang menjadi fokus pemerintah daerah. Harus ada upaya investigasi secara serius soal penyebab anjloknya harga kopi dan selanjutnya dicarikan solusi terbaik untuk mengatasinya.
Terkadang dalam kondisi covid sekarang ini dan terpikir dengan kondisi anjloknya harga kopi, saya mengasumsikan lebih afdhal bagi pemerintah daerah untuk membuat tim invenstigasi penanganan harga kopi dari pada program pembuatan masker. Saya yakin upaya investigasi jauh lebih berdampak dan bermanfaat dibuat dari pada program masker yang menelan dana milyaran rupiah. Bagaimana pun, tanpa masker bantuan itu, sebagian besar warga telah memiliki masker masing-masing. Sementara anjloknya harga kopi, warga tidak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya pasrah menerima apa adanya.
Kalau ada yang bilang tim investigasi seperti itu bukan dari upaya penanganan covid sebagaimana program masker, itu adalah keliru. Justru penangan covid dari aspek penguatan ekonomi jauh lebih sekarat dari pada program masker itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh beberapa pihak, covid akan terkalahkan oleh sistem imun yang kuat, gizi yang cukup dan memadai. Bahkan dia lebih kuat dari masker itu sendiri. Lalu bagaimana sistem imun kita kuat dan gizi terpenuhi kalau dompet kita sekarat? Kita menutup mulut dengan masker, sementara kita kekurangan gizi dan imunitas terus menurun.
Dalam benak saya, saat ini kita sebenarnya ditimpa oleh covid dan kopit, atau covid ganda. Pertama adalah covid atau virus corona yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa. Kedua adalah kopit (kondisi pahit) yang kita alami bersama karena kondisi ekonomi yang semakin buruk gara-gara covid, dan ini jauh lebih mengancam keberlangsungan hidup kita semua. Inilah dilema kopit (kopi pahit). Di satu sisi kita menikmatinya sebagai minuman nikmat, namun di sisi lain kita meratapinya sebagai komoditas utama penopang hidup masyarakat. Wallahu a’lam bishawab!
Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah